Perang Yom Kippur merupakan salah satu perang paling sengit dalam sejarah peperangan. Kedua belah pihak telah diperlengkapi dengan senjata-senjata termutakhir, sekalipun mereka juga masih menggunakan banyak senjata lama. Mesir dan Suriah masing-masing memulai peperangan dengan 1.700 dan 1.200 tank. Dari keseluruhan angka itu, mereka kehilangan 2.250 tank, kebanyakan akibat tembakan meriam tank Israel. Sebaliknya, 1.000 dari 1.700 tank Israel berhasil dilumpuhkan pasukan Arab dalam pertempuran, sekalipun 600 di antaranya kemudian dapat diperbaiki dan digunakan kembali sehingga Israel hanya kehilangan 400 tank yang benar-benar hancur. Mesir dan Suriah masing-masing kehilangan sekitar 250 pesawat terbang dari ke- 800 pesawat terbang gabungan mereka, kebanyakan dalam pertempuran udara. Sementara itu, Israel hanya kehilangan 115 dari 500 pesawat terbangnya, hampir semuanya akibat tembakan meriam penangkis serangan udara maupun rudal permukaan ke udara—banyak di antaranya tertembak dalam misi-misi dukungan serangan darat. Pihak Arab kehilangan 770 meriam, sementara Israel kehilangan 25 buah. Dua belas kapal rudal Arab ditenggelamkan; pihak Israel tidak kehilangan satu pun kapal.
Mesir dan Suriah masing-masing kehilangan 8.000 prajurit yang tewas, sementara 35.000 orang terluka dan 8.700 lainnya ditawan. Israel kehilangan 2.687 tentara yang terbunuh sementara 7.251 terluka dan 314 lainnya ditawan. Dalam hal jumlah penduduk, bahkan sekalipun saat itu Israel memiliki tiga juta penduduk, jumlah kematian yang dideritanya tidak bisa dikatakan besar. Namun dengan rata-rata 115 orang terbunuh setiap hari, hal itu memang tampak besar.Selama 19 hari pertempuran, orang Arab telah menghancurkan mitos keperkasaan Israel; dan mereka memperoleh kembali kebanggaan dirinya. Namun hanya sedikit sekali menurut mereka yang menyadari bahwa mereka nir akan memiliki rasa bangga dalam ketika lama bila Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak memaksakan penghentian perang. Orang Arab memang sudah membentuk keajaiban waktu mereka bersatu melawan Israel. Namun orang Israel juga menciptakan keajaiban ketika mereka balas menyerang sehabis nyaris kalah dan berhasil mencengkeramkan kekuatannya secara fisik pada wilayah Mesir pada sebelah barat Terusan Suez. Mereka menghancurkan pola perang & bertekad bulat buat tidak menyerah. ?Kami bermaksud menghancurkan tentara mereka dan menyebabkan tewasnya sebanyak mungkin prajuritnya yang masih muda,? Demikian istilah seseorang perwira senior Israel dengan muram. ?Merupakan hal yang fundamental buat menanamkan pada pikiran para perwira belia Arab?Orang-orang yg selamat menurut perang ini dan akan sebagai para pemimpin generasi mendatang?Bahwa perang sahih-sahih bukanlah jalan keluar.? Namun asa Israel buat menimpakan kekalahan militer lainnya yg menghancurkan sebagai sirna lantaran negara-negara adidaya nir bisa menanggung risiko melihat orang Arab dipermalukan kembali.
Perang Yom Kippur sendiri sangat mengejutkan bangsa Israel. Segera setelah perang berakhir muncul desakan publik agar diadakan penyelidikan mengenai kegagalan yang menyebabkan Israel benar-benar tidak siap menghadapi serangan Arab. Komisi Agranat, yang menyelidiki berbagai kejadian yang terjadi sebelum dan selama tahap awal perang, terutama menimpakan kesalahan kepada pihak militer—di mana sejumlah jenderal seperti Eli Zeira, David Elazar, dan Shmuel Gonem dicopot dari jabatannya. Sekalipun pada mulanya para politisi kelihatannya tidak terjamah, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Pemerintah telah salah menilai ancaman Arab dan hal ini membuat rakyat Israel meninjau ulang kemampuan pemerintahan Partai Buruh untuk dipercayakan dengan keamanan negara. Bahkan, empat tahun setelah perang bangsa Israel kemudian memilih untuk mencabut mandat kekuasaan dari Partai Buruh dan memilih sebuah pemerintahan Partai Likud yang dipimpin oleh Menachem Begin. Hal ini, setelah hampir 30 tahun Partai Buruh berkuasa, bersifat lebih dari sekadar suatu perubahan pemerintahan—sebuah revolusi gaya Israel, dan terutama dikarenakan oleh penampilan buruk kepemimpinan Partai Buruh dalam periode menjelang Perang Yom Kippur.
Sementara itu, atas dorongan Sadat, negara-negara produsen minyak di Timur Tengah terlibat konfrontasi menggunakan Barat, di mana pihak pertama memakai ancaman penghentian suplai & suatu kenaikan harga yg drastis guna memaksa Amerika Serikat, Eropa Barat dan negara-negara yang herbi mereka melakukan tekanaan terhadap Israel untuk memenuhi tuntutan-tuntutan Arab. Hal ini memperlebar perpecahan antara Amerika Serikat dan beberapa sekutu Eropanya, yang dituduhnya gagal mendukungnya selama perang lantaran risi akan efek terhadap suplai minyak mereka. Suatu imbas lebih lanjut berdasarkan perang adalah meningkatnya kekecewaan baik di pihak Israel juga Mesir terhadap pendukung mereka, terutama Amerika Serikat & Uni Soviet. Keduanya merasa bahwa mereka telah diabaikan selama perang & sesudahnya, & bahwa pendukung mereka sebenarnya bisa & seharusnya melakukan banyak hal bagi mereka.
Dari sudut pandang militer, tujuan perang Arab sendiri boleh dikatakan terbatas, di mana tujuan primer Perang Yom Kippur mereka bersifat politis. Setelah Mesir berhasil mengokohkan diri menjadi kekuatan militer yg cakap (bila bukan pemenang) pada Timur Tengah, Sadat akhirnya bisa mencapai cita-citanya un tuk merundingkan suatu penyelesaian tenang dengan Israel yang memenuhi aspirasi bangsa Mesir. Penampilan militer pada tahun 1973 memulihkan pamor mereka & memperbarui kebanggaan bangsa Mesir terhadap angkatan bersenjata mereka.
Ahmad Isma’il ‘Ali yang sekarat karena kanker kemudian diangkat menjadi marsekal, sementara para komandan lainnya entah dinaikkan pangkat atau dicopot dengan kompensasi menerima jabatan lainnya untuk mencegah ketidakpuasan. Kekalahan Mesir dituduhkan sebagai akibat intervensi Amerika, sementara serangan balasan Sharon tidak diungkit-ungkit. Sadat telah meyakinkan bangsanya bahwa suatu kemenangan besar telah diraih dan menunggangi keberhasilan terbatas tentaranya untuk merundingkan pengembalian Sinai kepada Mesir. Usaha itu menghasilkan perjanjian damai pertama antara Israel dan sebuah negara Arab, yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Menachem Begin dari Israel dan Presiden Anwar el-Sadat di Camp David pada tahun 1978—di mana kedua pemimpin negara yang pernah menjadi musuh bebuyutan itu mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.Kelompok Islamis Mesir, kecewa dengan keputusan damai. Hal tersebut merupakan salah satu faktor utama pembunuhan terhadap Sadat yang di lakukan oleh kelompok militan Takfir wa’l-Hijra, sebuah sempalan Ikhwanul Muslimin, dalam se buah parade militer yang mera yakan perang tersebut pada tahun 1981.
Pengganti Sadat, Marsekal Hosni Mubarak, tetap memegang kesepakatan perdamaian antara Mesir dan Israel. Selain itu, sejak Perjanjian Camp David, Mesir mengalihkan persekutuannya dari sebuah negara klien Uni Soviet menjadi sekutu Amerika. Negeri itu menjadi salah satu penerima bantuan dan pelatihan militer Amerika terbesar serta membangun suatu kemitraan dengan NATO. Bahkan pasukan Mesir bertempur bersama tentara Amerika dalam sebuah koalisi yang disponsori oleh PBB melawan Irak pada saat Perang Teluk 1990–1991.
Sementara itu, sekalipun harga perdamaian ini merupakan pengembalian Semenanjung Sinai pada Mesir, Israel menerimanya tanpa poly protes. Ironisnya, perjanjian damai dengan Mesir, yg mengakibatkan ancaman penghancuran terhadap Israel sang suatu pencaplokan Arab menjadi semakin jauh, malah menciptakan ketahanan negara Zionis tersebut mengalami rongrongan yg merusak secara halus dari pada. Apabila sebelumnya rakyat Israel yg terpecah-belah bisa bersatu dan sebagai para pejuang yg tangguh selama bertahun-tahun lantaran disatukan sang ancaman dari luar yang mematikan, sesudah Perjanjian Camp David banyak di antara mereka dibandingkan masa sebelumnya yang enggan mengangkat senjata.
Sumber: Perang Demi Perdamaian Kisah Perang Yom Kippur 1973 oleh Nino Oktorino
Jangan lupa untuk membeli bukunya
Bourbon
0 comments:
Post a Comment