Kehidupan ekonomi di Indonesia dalam dasawarsa 1940-an dapat dirangkum dalam satu ungkapan, yaitu kehidupan "ekonomi perang". Memasuki dasawarsa ini, dunia mengalami peristiwa besar yang intensitas pengaruhnya jauh lebih dahsyat dari pada depresi ekonomi, dan Indonesia kali ini pun tidak dapat menghindarinya. Perang dunia II pecah di daratan Eropa, satu demi satu negara jatuh ke tangan Jerman. Di Asia, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara, satu demi satu negara jatuh ke tangan Jepang. Pada tahun 1942, Singapura benteng pertahanan andalan Inggris jatuh dan Indonesia tidak berselang lama juga jatuh ke tangan Jepang. Pada Maret 1942, Belanda menyerah. Berakhirlah masa kekuasaan Belanda yang panjang di Indonesia -- hanya diganti oleh kekuasaan yang jauh lebih keras dan lebih eksploitatif.
Selama tiga setengah tahun di bawah pendudukan Jepang, ekonomi Indonesia beroperasi dengan modus darurat perang. Salah satu ciri utama dari sistem ekonomi ini adalah bawah hampir semua segi kehidupan diatur dengan peraturan peraturan penguasa perang; institusi-institusi masa damai dibekukan; kepentingan "bersama", yaitu memenangi perang, di atas segalanya; ruang gerak individu sangat dibatasi. Ekonomi dioperasikan berdasarkan "perintah" (command economy); transaksi sukarela (mekanisme pasar) hanya terjadi di celah-celah sempit (dan semakin sempit) dalam perekonomian yang tersisa, yang kebetulan tidak diatur oleh penguasa.
Kepentingan ekonomi utama penguasa perang adalah menjadikan Indonesia sebagai penyangga kegiatan perang Jepang. Artinya ekonomi dioperasikan terutama untuk menghasilkan barang-barang dan bahan pendukung perang, bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Produksi minyak bumi, hasil hasil pertambangan, bahan pangan di genjot untuk mendukung pasukan Jepang di garis depan. Penduduk Indonesia memperoleh apa yang tersisa atau residu dari kegiatan ekonomi utama itu. Secara prinsip, sistem ini tidak berbeda dengan sistem kolonial, yaitu ekstraksi semaksimal mungkin "surplus ekonomi" dari Indonesia untuk kepentingan "Ibu negeri". Yang berbeda adalah cara ekstraksinya-- Pada zaman Belanda dengan sistem tanam paksa dan kemudian sistem "liberal"-nya, pada zaman Jepang dengan perintah dan peraturan penguasaan perang. Sistem kerja paksa yang disebut "romusa" jauh lebih brutal bahkan dibanding sistem tanam paksa. Pada masa pendudukan Jepang, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia merosot drastis, jauh lebih buruk dibanding sewaktu "malaise" mencapai puncaknya. Kelangkaan kebutuhan sehari-hari dan bahkan kelaparan sudah menjadi berita sehari-hari.
Ciri utama lain dari sistem ekonomi perang adalah keterisolasian dari dunia luar. Ekonomi Indonesia yang sebelum yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan dunia luar serta merta menjadi ekonomi tertutup karena perang menutup jalur hubungan normal dengan negara lain. Alat transportasi laut di mobilisasi untuk tujuan perang. Lebih dari itu, sarana dan prasarana produksi yang semula diarahkan untuk pasar luar negeri harus diubah fungsinya dalam waktu singkat menjadi sarana dan prasarana sarana untuk memenuhi semua kebutuhan dalam negeri. Mengubah ekonomi terbuka menjadi ekonomi tertutup adalah proses menyakitkan dan bernilai ekonomi tinggi.
0 comments:
Post a Comment