Ungkapan" hening sebelum badai" menggambarkan suasana kehidupan ekonomi yg baik & hening di Hindia Belanda sebelum depresi global melanda daerah ini. Hindia Belanda menikmati "zaman normal". Sebetulnya, sejak pertengahan 1920-an sudah terdapat indikasi-indikasi harga komoditi ekspor andalan Hindia Belanda mulai merosot. Tetapi, tidak seorangpun memperkirakan bahwa harganya akan sahih-sahih terjun bebas pada akhir 1929 menggunakan akibat buruk yg berkepanjangan bagi kehidupan pada negeri ini.
Pada bulan Oktober 1929, harga saham di Bursa New York jatuh. Macam-macam rumor, tetapi yang fatal adalah berita bahwa ada sejumlah uang yang tidak bisa membayar uang simpanan nasabahnya. Masyarakat panik, takut kehilangan uang, mereka menyerbu bank-bank untuk mengambil simpanannya. Ini mengakibatkan kesulitan likuiditas berantai pada operasi perbankan dan akhirnya menyebabkan banyaknya bank tutup atau bangkrut. Krisis perbankan pun terjadi. Pembiayaan dan pelayanan bayar membayar yang biasanya disediakan oleh perbankan mandek. Akibatnya, kegiatan perdagangan dan produksi (sektor riil) macet dan tidak terlalu lama kemudian diikuti oleh PHK besar-besaran. Banyak orang kehilangan mata pencaharian dan penghasilan. Tiba-tiba saja daya beli mereka turun. Barang-barang yang sudah diproduksi oleh pabrik pabrik tidak laku, stok menumpuk. Mendapati barang yang tidak laku para produsen mengurangi volume produksinya. Mereka terpaksa mengurangi karyawan dan selanjutnya mengakibatkan daya beli masyarakat semakin merosot. Stok barang tidak laku, produsen mengurangi laju produksi dan kemudian melepas karyawannya siklus ini terus berlanjut, proses spiral ke bawah ini disebutdeflasi. Apabila tidak ada langkah penyelamatan ia akan berlanjut dan membawa seluruh perekonomian semakin dalam di kubangan depresi ekonomi. Spiral tidak berhenti di suatu negara karena adanya keterkaitan antar negara dibidang perdagangan, keuangan, dan informas, proses yang sama dengan cepat merambat dari Amerika ke Eropa dan negara-negara lainnya, termasuk Hindia Belanda. Deflasi Amerika mendunia menjadi deflasi global yang melahirkan depresi ekonomi global.
Source: Kumparan
Hindia Belanda ikut terkena imbas depresi itu tanpa harus menunggu terlalu lama. Komoditi ekspor andalan yang sulit mendapatkan pembel, harganya anjlok. Proses spiral ke bawah yang kita gambarkan tadi pun terjadi disini. Ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi pada ekspor menyebabkan dampak nya terasa berat dan cepat dirasakan oleh masyarakat luas.Mulai tahun 1930, PDB Hindia Belanda terus merosot mencapai titik terendahnya pada pertengahan dasawarsa 1930-an dan baru setelah itu sedikit demi sedikit mulai membaik. Dampak depresi di Hindia Belanda Ternyata lebih panjang daripada di negara-negara lain. Salah satu penyebabnya pemerintah mengambil kebijakan yang salah yaitu mempertahankan sistem standar emas yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara pesaing Hindia Belanda sampai tahun 1936. Kebijakan ini membuat harga komoditi ekspor kita mahal dan kalah bersaing.
Di dalam negeri, dampaknya dalam dan luas. Penghasilan penduduk, dari semua kelompok etnis turun tajam, tinggal kira-kira separuh tingkat sebelum depresi. Karena lemahnya daya beli masyarakat, harga-harga di dalam negeri pun ikut turun. Harga beras misalnya, turun 36%, dengan konsekuensi pada penghasilan petani -- sektor ekonomi tradisional yang tidak terkait dengan ekspor pun terkena dampak! PHK besar-besaran terjadi khususnya di sektor ekonomi modern, lebih khususnya di perkebunan. Banyak dari mereka yang terkena PHK kembali ke kampung mereka, mencari pekerjaan seadanya atau menjadi bagian dari pengangguran terselubung. Masa depresi ini diingat oleh penduduk negeri ini sebagai "zaman malaise" atau "zaman meleset".
Asal: Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Prof. Dr. Boediono
Bourbon
0 comments:
Post a Comment