Dalam perkembangan kerajaan Mataram islam meninggalkan bekas-bekas peradabannya, baik pada bentuk bangunan maupun kasusastraan. Dalam peninggalan bangunan dapat ditemukan pada Surakarta maupun pada Yogyakarta sendiri, peninggalan bangunan yg bisa ditemui di Surakarta adalah Benteng Vastenburg Pasar Gedhe Hardjonagoro Rumah Sakit Kadipolo Masjid Agung Kraton Surakarta Masjid Laweyan Dalem Poerwadiningratan Taman Sriwedari dan masih poly lagi, buat peninggalan peninggalan sejarah kerajaan Mataram Islam pada Yogyakarta bisa ditemui bangunan misalnya Taman sari, banteng Vredeburg, Kota Gede, Bank Indonesia, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan masih poly lagi. Berikut uraian singkat tentang bangunan peninggalan sejarah menurut kerajaan Mataram Islam baik pada Surakarta maupun pada Yogyakarta.
Benteng Vastenburg
Pasar Gedhe Hardjonagoro
Ir. Thomas Karsten adalah Arsitek Belanda yang mendesain Pasar Gede Hardjanagara dan diperkirakan pasar gede tersebut selesai pembangunannya pada tahun 1930. Arsitektur Pasar Gedhe kemudian dilakukan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional pada tahun 1947. Sedangkan pemberian nama Pasar gede dikarenakan terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu dank arena letaknya yang berdekatan dengan Balai kota dan Keraton Kasunanan Surakarta pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta.
Abdi dalem Kraton Surakarta mula-mula adalah personil yang ditugaskan buat memungut pajak (retribusi) di Pasar Gede yang lalu pungutan pajak akan diberikan ke Keraton Kasunanan.Pemunggutan retribusi dilakukan menggunakan mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang berdasarkan bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon (topi tradisional)
Pasar Gedhe pernah mengalami kerusakan karena agresi Belanda. Dan direnovasi kembali pada tahun 1949 sang Pemerintah Indonesia. Perbaikan atap terselesaikan dalam tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengubah atap yg lama menggunakan atap berdasarkan kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, dipakai buat kantor DPU yang sekarang digunakan menjadi pasar butir.
Rumah Sakit Kadipolo
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X didirikanlah sebuah tempat tinggal sakit. Yang kemudian dikenal menggunakan Rumah Sakit Kadipolo, bangunan rumah sakit tersebut mempunyai luas huma kurang lebih 2,5 Ha & terletak di jalan Dr. Radjiman.
Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus untuk poliklinik para abdi dalem kraton. Kemudian pada tahun 1948 pengolahannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen dan Rumah Sakit Jebres. Perpindahan pengelolaan ini disebabkan oleh karena masalah biaya, perpindahan tersebut memiliki sarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Dan baru pada tahun 1960 pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta.
Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo menggunakan Rumah Sakit Jebres dan Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutedjo. Kemudian masing-masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS. Jebres untuk anak-anak, RS. Kadipolo buat penyakit dalam dan kandungan dan RS. Mangkubumen buat korban kecelakaan. Seiring berjalannya saat bangunan tempat tinggal sakit tersebut mengalami kerugian & akhirnya pada tahun 1985 bangunan tadi menjadi milik klub sepak bola Arseto sebagi loka tingal & mess bagi para pemain Arseto Solo. Tetapi sekarang sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tak terawat.
Masjid Agung Keraton Surakarta
Pada masa prakemerdekaan adalah Masjid Agung Kerajaan (Surakarta Hadiningrat). Semua pegawai mesjid tadi merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.
Taman sari
source: wisatapedi.Com
Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana milik Keraton Yogyakarta, Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuk lah Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun, Tumenggung Prawirosentiko, besrta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun bebrapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang oleh musuh.Taman yang mendapat sebutan “The Fragrant Garden” ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan antara lain berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun dalam Taman Sari yang membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan digunakan secara efektif hanya antara 1765-1812. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja. Dulunya kebun tersebut memiliki keindahan dan dapat dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor sebagai kebun Istana Bogor.
Benteng Vredeburg
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan keraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran dari pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mulai mendekati sultan dan mengusulkan kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda sebenarnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.
Letak benteng yang hanya satu jeda tembak meriam dari kraton & lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton sebagai indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan menjadi benteng taktik, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan buat berjaga-jaga mengantisipasi bila sewaktu-ketika Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
source: kratonjogja.Id
Beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 Sultan Hamengku Buwono I membangun Keraton Yogyakarta. Sebelum membangun dan pada akhirnya menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.Lokasi tempat keraton ini didirikan konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini dulunya digunakan untuk istirahat iringiringan jenazah raja-raja Mataram yang akan dimakamkan di Imogiri, waktu itu Mataram masih di Kartasura dan Surakarta saja. Sedangkan dari versi lain menyebutkan lokasi keraton Yogyakarta merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO karena selain memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Dengan nilai-nilai ilosoi yang masih dipangku dengan sungguh-sungguh oleh penghuni dalam keraton, belum lagi dengan mitologi-mitologi yang menyelubungi dalam Keraton Yogyakarta yang membuat masyarakat tetap mengenal tentang kearifan lokal mereka.
Kasusastraan
Pada masa Paku Buwono II, di istana Surakarta terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan besar Jawa. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatyudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. Selain menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan Dewa Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia menerjemahkan Taj al-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. Selain buku keagamaan dan sastra, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat Cabolek dan Babad Giyanti.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment