Pada awal tahun 1940-an terjadi perubahan politik di Cirebon. Sejak Maret 1942 militer Jepang merogoh alih Cirebon dari pihak Belanda. Perubahan politik ini terjadi berkait dengan situasi perpolitikan pada taraf internasional. Pada tanggal 8 Desember 1941 terjadi Perang Asia-Pasifik antara Sekutu (adonan tentara Amerika Serikat, Inggris, Belanda, & Perancis) melawan Jepang. Dalam perang ini Jepang berhasil menguasai tempat Asia Tenggara (Birma, Malaysia, Filipina, dan Hindia Belanda [Indonesia]). Peristiwa menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada Balatentara Jepang terjadi dalam lepas 8 Maret 1942 di Pangkalan Udara Militer Belanda di Kalijati Subang. Penyerahan itu ditandai menggunakan penandatanganan oleh ke 2 pihak; pihak Pemerintah Hindia Belanda diwakili sang Letnan Jenderal Ter Poorten dan pihak Jepang diwakili sang Letnan jenderal Hitosyi Imamura
Pasukan Jepang yang menyerbu Jawa Barat merupakan Staf Tentara Keenambelas dan Divisi II. Mereka mendarat pada lepas 1 Maret 1942 pada 2 daerah, yaitu pada daerah Banten (pada kota kecil Bojonegara, dekat Merak, & di Teluk Banten) & di Eretan Wetan (wilayah Cirebon).2 Pasukan yang mendarat di Eretan Wetan merupakan Detasemen Syoji. Pada hari itu juga mereka berhasil menduduki Subang di mana Batalyon Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti menurut Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.
Sementara ini belum diperoleh liputan kapan & bagaimana persisnya tentara Jepang masuk ke Cirebon. Tetapi demikian, patut diduga bahwa tentara Jepang masuk ke Cirebon tidak lama sesudah terjadi peristiwa menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda tanpa kondisi pada Balatentara Jepang lepas 8 Maret 1942. Dugaan ini didasarkan dalam faktor geografis, jarak antara Kalijati (Subang) dengan Cirebon itu relatif dekat, juga arti strategis Cirebon yang mempunyai pelabuhan dan berbatasan dengan Jawa Tengah.
Sambutan rakyat Cirebon terhadap kedatangan Balatentara Jepang nir jauh tidak selaras dengan warga pada daerah-daerah lainnya. Umumnya mereka menyambutnya menggunakan kegembiraan. Setidaknya, hal tadi ditimbulkan sang dua hal, internal dan eksternal. Faktor internal merupakan kondisi masyarakat sendiri yg merasa sudah terlalu usang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda dengan segala dukanya. Faktor eksternal merupakan dari pihak Jepang sendiri yg melalui berbagai propogandanya menamakan diri menjadi ?Saudara tua?, ?Pelindung?, ?Penyelamat?, & sebagainya yg ingin membebaskan ?Saudara mudanya? Berdasarkan cengkeraman penindasan penjajah berkulit putih.
Sumber: Makalah Cirebon Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) sang Mumuh Muhzin Z.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment