Dalam menjalankan pemerintahannya, Panembahan Senopati selaku raja Mataram menghadapi banyak rintangan. Di mana para bupati di pantai utara Jawa misalnya Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk kepada Pajang masih terus melakukan pemberontakan lantaran ingin melepaskan diri berdasarkan Pajang & menjadi kerajaan yg merdeka.
Panembahan Senopati yang bercita-cita menguasai tanah Jawa, terus melakukan berbagai persiapan di daerah dengan memperkuat pasukan Mataram. Pada saat Panembahan Senopati mengadakan perluasan wilayah kerajaan dan menduduki daerahdaerah pesisir pantai Surabaya, adipati Surabaya menjalin persekutuan dengan Madiun dan Ponorogo untuk menghadapi Mataram. Sayangnya, Ponorogo dan Madiun justru dapat dikuasai oleh Mataram. Tidak berselang lama, Pasuruan, Kediri, dan akhirnya Surabaya juga berhasil direbut. Dalam waktu yang cukup singkat, Mataram berhasil merebut semua wilayah yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di masa pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Mas Jolang (1602-1613 M), Kerajaan Mataram semakin diperluas dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa Krapyak kemudian dimakamkan pada pasar Gede dan diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak. Yang menggantikan Mas Jolang selesainya wafat merupakan Mas Martapura. Tetapi karena kesehatan Mas Martapura seringkali sakit-sakitan, ia turun dari tahta kerajaan & digantikan oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman. Mas Rangsang adalah raja pertama di Mataram yang menggunakan gelar Sultan sebagai akibatnya dia lebih dikenal menggunakan sebutan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M) inilah Kerajaan Mataram mencapai masa kejayaannya.
Selain menjabat sebagai seseorang raja, Sultan Agung juga sangat tertarik dengan ilsafat, kesusastraan, dan seni. Ia pun kemudian menulis buku ilsafat yg berjudul Sastro Gending. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataran telah dua kali melakukan penyerangan ke Batavia (tahun 1628 M dan 1629 M), namun seluruh serangan itu gagal. Alasan penyerangan itu adalah karena Sultan Agung memiliki tujuan buat mempertahankan semua tanah Jawa dan mengusir orang-orang Belanda yang berada di Batavia. Dengan demikian, dia merupakan galat satu penguasa yang secara akbar-besaran memerangi VOC yang kala itu telah menguasai Batavia. Setelah mengalami kegagalan itu, Sultan Agung kemudian memperketat penjagaan di daerah perbatasan-perbatasan yg dekat menggunakan Batavia supaya pihak Belanda sulit buat menembus wilayah Mataram.
Pada saat pemerintahan Sultan Agung, daerah Kerajaan Mataram hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Wilayah kerajaan pun dibagi sebagai 2: Wilayah Pusat dan Mancanegara.
1. Wilayah pusat dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Kutanegara atau Kutagara sebagai pusat pemerintahan dengan pusatnya adalah istana atau keraton yang berkedudukan di ibukota kerajaan.
b. Negara Agung, merupakan wilayah yang mengitari Kutanegara. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, wilayah Negara Agung di bagi menjadi empat daerah dan masing-masing daerah dibagi menjadi dua bagian:
1. Daerah Kedu, dibagi sebagai Siti Bumi dan Bumijo yg terletak pada sebelah barat & timur sungai Progo,
2. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, dibagi menjadi Siti Ageng Kiwa & Siti Ageng Tengen,
3. Daerah Bagelen, dibagi menjadi Sewu yg terletak antara sungai Bogowonto & Sungai Donan di Cilacap dan Numbak Anyar yang terletak antara sungai Bogowonto & sungai Progo,
4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumpin yang mencakup daerah Sukowati & Panekar.
2. Wilayah Mancanegara adalah daerah yang berada di luar wilayah Negara Agung tapi tidak termasuk daerah pantai. Mancanegara meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga dibagi menjadi Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) dan Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Sedangkan wilayah kerajaan yang terletak di tepi pantai disebut Pasisiran yang kemudian dibagi lagi menjadi Pesisir Timur (Pasisiran Wetan) dan Pesisir Barat (Pasisiran Kilen). Sebagai batas kedua daerah pasisiran adalah sungai Tedunan atau sungai Serang yang mengalir di antara Demak dan Jepara.
Setelah Sultan Agung mangkat dalam tahun 1645 M, kekuasaan dipegang sang putranya yang bergelar Amengkurat I (1645-1677 M). Berbeda menggunakan ayahnya yang sangat membeci orang-orang Belanda, Amengkurat I justru membiarkan orang-orang Belanda masuk ke wilayah Kerajaan Mataram. Bahkan Amengkurat I menjalin hubungan yg sangat erat dengan Belanda & mereka diperkenankan buat membentuk benteng pada Kerajaan Mataram.
Setelah diizinkan menciptakan benteng pada daerah Kerajaan Mataram, ternyata tindakan Belanda semakin sewenangwenang. Akhirnya muncullah pemberontakan yg dipimpin sang pangeran Trunajaya menurut Madura. Berbekal koneksi dengan bupati pada daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya hampir menguasai mak kota Mataram. Namun lantaran perlengkapan persenjataan pasukan Belanda jauh lengkap, pemberontakan itu berhasil dipadamkan.
Pada ketika terjadi pertempuran di pusat Ibukota Kerajaan Mataram, Amengkurat I menderita luka-luka & dilarikan sang putranya ke Tegalwangi dan mati global di sana. Amengkurat II pun menggantikan ayahnya memimpin Mataram (1677-1703 M). Ternyata di bawah pemerintahannya, Mataram sebagai semakin ringkih sehingga daerah yang dikuasainya semakin sempit karena sudah dikuasai oleh Belanda. Lantaran merasa bosan tinggal di ibu kota kerajaan, Amengkurat II lalu mendirikan sebuah ibu kota baru pada Desa Wonokerto yg diberi nama Kartasura.
Di Kartasura, Amengkurat II menjalankan pemerintahan nya menggunakan sisa-residu Kerajaan Mataram & tewas di sana dalam tahun 1703 M. Setelah Amengkurat II tewas, Kerajaan Mataram sebagai semakin suram dan sudah tidak mungkin buat merebut pulang daerah-wilayah yg telah direbut oleh Belanda. Naik menggantikan Amengkurat II, Sunan Mas (Sunan Amengkurat III) menuruni sifat kakeknya yg sangat menentang kegiatan VOC. Karena mendapat pertentangan menurut Amengkurat III, VOC tidak menyetujui pengangkatan Sunan Amengkurat III menjadi Raja Mataram sebagai akibatnya VOC mengangkat Pangeran Puger yang adalah saudara termuda dari Amangkurat II (Paku Buwono I) sebagai calon Raja tandingan. Maka pecahlah perang saudara (memperebutkan mahkota I) antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Puger. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram menggunakan gelar Sunan Paku Buwono I.
Paku Buwono I mati tahun 1719 & diganti oleh Sunan Prabu (Amangkurat IV) dalam tahun 1719-1727 M. Di masa pemerintahan Amengkurat IV terjadi banyak pemberontakan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh para bangsawan. Di sini, lagi-lagi VOC ikut campur sebagai akibatnya balik terjadi perang antar saudara (memperebutkan mahkota II). Sepeninggal Sunan Amangkurat IV pada tahun 1727, Kerajaan Mataram dibagi sebagai dua wilayah melalui Perjanjian Giyati. Wilayah pertama merupakan Daerah Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) menggunakan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I menjadi rajanya. Mangkubumi menjabat sebagai raja pada Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan tahun 1755-1792 M. Sedangkan daerah yang kedua adalah Daerah Kesuhunan Surakarta yg diperintah sang Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1749-1788 M.
Struktur birokrasi Kerajaan Mataram disusun secara hirarki mengikuti sistem pembagian daerah kerajaan. Adapun sistem pemerintahannya dibedakan sebagai berikut:
1. Pemerintahan Dalam Istana (Peprintahan Lebet). Tugasnya adalah mengurusi pemerintahan dalam istana dan diserahkan pada empat orang pejabat Wedana Dalam (Wedana Lebet) yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Adapun tugas Wedana Gedong adalah mengurusi masalah keuangan dan perbendaharaan istana, sedangkan tugas Wedana Keparak adalah mengurus keprajuritan dan pengadilan. Gelar yang digunakan oleh para wedana adalah Tumenggung, atau Pangeran jika pejabat itu merupakan keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon (Papatih atau Lurah Carik) yang memakai gelar Ngabehi. Di bawahnya lagi terdapat Kebayan dan 40 orang Mantri Jajar. Sebelum tahun 1744, di atas jabatan Wedana terdapat jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dengan tugas untuk mengoordinasikan wedana-wedana tersebut. Namun sejak tahun 1755 jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dihapus.
Pemerintahan pada Kutagara diurusi sang dua orang Tumenggung yang langsung mendapat perintah dari raja. Kedudukan Tumenggung bersama empat Wedana Lebet cukup krusial, yaitu sebagai anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Berbeda menggunakan Kartasura yang pada tahun 1744 menugaskan 4 orang pejabat buat mengurusi daerah Kutagara, di mana galat satu antara lain diangkat menjadi kepala.
Wilayah Negara Agung termasuk bagian dari pusat kerajaan, di mana setiap daerah dipimpin oleh Wedana Luar (Wedana Jawi). Sesuai dengan nama daerah masing-masing, maka terdapat sebutan: Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Panumping dan Wedana Panekar. Para wedana ini juga dibantu oleh Kliwon, Kebayan dan 40 orang Mantra Jajar. Sedangkan yang mengoordinasi para wedana ini adalah seorang Patih Luar (Patih Jawi) dengan tugas mengurusi wilayah Negara Agung dan Wilayah Daerah (Mancanegara). Sedangkan di tanah-tanah lungguh (tanah garapan), para bangsawan mengangkat seorang Demang atau Kayi Lurah.
2. Pemerintahan Luar Istana (Pemerintahan Jawi). Tugasnya adalah mengurusi daerah-daerah di wilayah mancanegara baik Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) maupun Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Untuk mengurusi daerah Mancanegara ini, raja mengangkat seorang Bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati. Adapun tugas Wedana Bupati adalah mengoordinasi dan mengawasi semua bupati yang menjadi kepala di daerah masing-masing, serta bertanggung jawab langsung kepada raja atas pemerintahan daerah dan kelancaran pengumpulan hasil-hasil daerah yang harus diserahkan pada pusat.
Untuk daerah pesisir, daerah Pesisir Timur (Pesisiran Wetan) dipimpin oleh Wedana Bupati yg berkedudukan di Jepara, ad interim wilayah Pesisir Barat (Pesisiran Kilen) dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan pada Tegal. Dalam bidang kemiliteran (keprajuritan) juga disusun gelar kepangkatan secara hierarkis menurut atas ke bawah: Senapati, Panji, Lurah, dan Bekel Prajurit. Selain itu juga terdapat petugas mata-mata (telik sandi) dan semacam petugas kepolisian buat menjaga keamanan umum pada kerajaan.
Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Islam ialah:
1. Danang Sutawijaya (Raden ngabehi Loring Pasar) atau Panembahan Senopati (1586-1601 M).
Dua. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1602- 1613 M)
3. Mas Rangsang yg bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
lima. Amangkurat II dikenal jua menjadi Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7. Pangeran Puger yg bergelar Paku Buwono I (1703-1719 M)
8. Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727 M)
9. Paku Buwono II (1727-1749 M)
10. Paku Buwono III dalam 1749 M pengangkatannya dilakukan sang VOC
11. Sultan Agung
Bourbon
0 comments:
Post a Comment