Pasar budak merupakan bisnis yang sukses pada awal abad 17. Berawal dari bangsa Belanda yang datang ke Jayakarta ( nantinya menjadi Batavia ) untuk pembangunan setelah berhasil ditaklukan oleh Jan Pieterzoon Coen. Kala itu kondisi kependudukan Jayakarta sangatlah kosong karena penduduk aslinya, orang Jawa dan Sunda, pergi ke pelosok Selatan untuk menghindari penjajah. Hal ini tentunya berdampak kepada kurangnya tenaga kerja yang diperlukan pihak Belanda.
Akhirnya, mereka pun mendatangkan para tawanan perang berdasarkan aneka macam wilayah, misalnya Manggarai, Bima, Makassar, Bali, dan lainnya. Mereka dijadikan tenaga kerja untuk melakukan proyek-proyek pembangunan. Hal ini sebagai cikal bakal tumbuhnya usaha pasar budak di Batavia.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775), setiap tahun terdapat sekitar 4000 budak yg didatangkan ke Batavia buat dijual. Lokasi penjualan budak berpusat dalam daerah yang kini dikenal dengan nama Manggarai, di Jakarta Selatan. Nama Manggarai sendiri didapat karena mayoritas budak yg dibawa buat dijual pada Batavia berasal berdasarkan Manggarai, NTT.
Perlahan-huma, bisnis penjualan budak pun melebar tidak hanya di bidang energi kerja saja. Budak wanita yang dijual untuk keperluan pemuasan nafsu pun mulai didatangkan, mayoritas dibawa menurut Bali karena baik dari pembeli bangsa Belanda, Tionghoa, Melayu, & Arab mempunyai minat yang tinggi terhadap paras elok wanita Bali.
Penjualan budak wanita buat di"kawini" terjadi karena hampir nir ada wanita orisinil Belanda, Tionghoa, Melayu, & Arab yg sanggup dikawinkan di Hindia Belanda, sebagai akibatnya mereka pun berujung membutuhkan wanita pribumi.
Penjualan budak wanita dianggap menguntungkan, lantaran dalam abad ke-18 harga budak wanita menjadi tiga kali lipat lebih mahal dibanding budak pria.
Akhirnya, jumlah budak yg dimiliki pun dijadikan ajang gengsi bagi kaum priyai. Semakin banyak budak yg beliau punya, maka tingkatan sosialnya makin tinggi. Ketika sang priyai pulang jalan-jalan, dia akan membawa 3 - 5 budak untuk mendampinginya dengan masing-masing tugas tertentu: Memayungi, membawa barang, menggendong anak, dan sebagainya. Sayangnya, budak yang mereka beli tidak pernah menerima perlakuan yg baik.
Hukuman tidak manusiawi yg diberikan lantaran kesalahan yg dilakukan budak mereka tidak sporadis melibatkan kekerasan fisik yang berujung pembunuhan. Seorang pendeta bernama Luteran Jan Brandes mencatat bahwa terdapat 12 orang Eropa dibunuh budak mereka sendiri pada akhir tahun 1782.
Ketika oleh majikan pergi ke negri asalnya, budak-budaknya akan dijual kembali ke pasar budak atau dibebaskan. Budak perempuan yang dikawininya akan ditinggal begitu saja, tidak peduli dia sedang mengandung atau bahkan telah mempunyai anak output perkawinannya. Namun, tidak sporadis pula oleh majikan membawa budak perempuannya buat ikut pulang.
Pada tahun 1681, berdasarkan 30.740 penduduk Batavia yg tercatat sensus, 15.785 orang merupakan budak. Pada tahun 1814, tercatat terdapat 14.239 manusia yang menjadi budak. Sebelum akhirnya penjualan budak secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda, sayangnya hal tadi permanen tidak menghentikan penculikan & arus penjualan budak secara illegal.
- Admin Masamune (yg ngilang usang)
source: OA Historypedia
0 comments:
Post a Comment