Antara tahun 1614 sampai 1622, Sultan Agung mendirikan keraton baru di Kartasura, sekitar 5 km dari Keraton Kotagede. Di sana, ia memperkuat militer serta mengembangkan kesenian dan pertukangan. Selain itu, ia pun membangun komplek pemakaman raja-raja Mataram di Bukit Imogiri. Kalender Jawa ia ganti dengan sistem kalender Hijriah. Pada tahun 1639, Sultan Agung mengirim utusannya ke Mekkah. Setahun kemudian, utusan Mataram itu membawakan gelar baru bagi Sultan Agung dari syarif di Mekah. Gelar baru itu adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.
Seperti halnya ibu kota kerajaan Islam lainnya, ibu kota Mataram memiliki ciri khas kota dengan memakai arsitektur gaya Islam. Posisi istana atau keraton sengaja didekatkan dengan bangunan masjid dan letak keraton biasanya dikelilingi benteng dengan beberapa pos pertahanan di berbagai penjuru angin. Di luar pagar benteng terdapat parit buatan yang berfungsi sebagai barikade pertahanan ketika menghadapi lawan. Parit buatan ini berfungsi juga sebagai kanal, tempat penampungan yang memasok air ke dalam kota.
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal (dikuasai oleh kaum bangsawan) sehingga raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Kehidupan masyarakat di Kerajaan Mataram tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam namun tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh (tanah garapan). Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan digarap atau dikerjakan oleh rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, maka lahirlah para tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya.
Selain memiliki kedudukan yang tinggi, Sultan juga dikenal sebagai penatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Sementara dalam bidang pengadilan, di istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, maka diciptakanlah peraturan yang harus dipatuhi oleh penduduk di kerajaan Mataram yang dinamakan angger-angger. Angger-angger disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta & Kasunanan Surakarta pada tahun 1817. Kitab ini terdiri dari lima/ enam buku yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir, dan Angger Ageng. Khusus untuk Angger Pradoto Akhir hanya diberlakukan di Kasultanan Yogyakarta. Angger-angger tersebut di kemudian hari digantikan oleh Burgerlijk Wetboek & Wetboek van Strafrecht seiring dengan berdirinya landraad Yogyakarta.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment