Kemunduran yang dialami oleh Kekhalifahan Utsmaniyah pada sepanjang abad ke-19 hingga pada berdirinya Republik Turki pada awalan abad ke-20 pada tahun 1924. Perjalanan ini diwarnai sang intrik dinasti, ketelatan dalam memodernisasi birokrasi & industri, perang pada setiap daerah perbatasan daerah kekuasaan, & pemberontakan yg terjadi pada wilayah jajahannya misalnya pada Yunani yang terjadi di antara tahun 1821 sampai 1830.
Merupakan sebuah keharusan bagi penulis buat merangkai artikel ini menggunakan niatan menghadirkan bahan pertimbangan dan argumentasi kepada para pembaca tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar kemerosotan perlahan yang terjadi pada Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini penulis lakukan untuk menaruh anti-tesis terhadap liputan-informasi yang banyak didistribusikan dalam ketika peringatan pembubaran Khilafah Utsmaniyah yg terjadi setiap tanggal 3 dalam bulan Maret.
Informasi-informasi yang tersebar menyediakan narasi yang bias dengan penjabaran yang condong menghadirkan pembahasan adanya sebuah konspirasi besar terhadap Kekhilafahan Utsmaniyah dan menyalahkan kemunduran tersebut secara keseluruhan kepada kekuatan-kekuatan Barat, Gerakan Turki Muda, gerakan-gerakan nasionalis, dan Mustafa Kemal Atatürk sebagai penyebab utama; terkadang sebagai penyebab satu-satunya yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini meninggalkan sedikit ruang untuk penalaran dan pendalaman multi-dimensional untuk mencari dan mempertimbangkan penyebab yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah yang berasal dari dalam Kekhilafahan itu sendiri. Atas dasar ini, penulis didorong untuk menghadirkan artikel ini.
Ketika diadakan kajian dan pendalaman mengenai 124 tahun terakhir kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, wajib dipertimbangkan bahwa Kekhilafahan ini menghadapi aneka macam permasalahan yang datang dari internal Khilafah maupun eksternal, misalnya: ketidakmampuan Negara Utsmaniyah buat melakukan reformasi birokrasi & modernisasi buat menyamai kecepatan langkah perkembangan teknologi dan politik saingannya pada Eropa, perang yg terjadi secara monoton selama tujuh atau delapan abad?Jika menghitung jarak di antara Perang Krimea & Perang Rusia-Turki yg terjadi dalam tahun 1877 hingga 1878, pemberontakan yg terjadi lantaran ketidakpuasaan terhadap kemunduran birokrasi dan ekonomi misalnya yang dikobarkan oleh Mesir pada bawah gubernur Muhammad Ali; atau lantaran disparitas mazhab kepercayaan seperti yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saud & Muhammad bin Abdul Wahab dalam Perang Wahabi yang terjadi dalam tahun 1811 hingga 1818, kebangkitan nasionalisme di daerah-daerah jajahan-jajahannya seperti pada daerah Balkan & Levant, dan tuntutan reformasi pada bentuk konstitusi serta republikanisme oleh kalangan kaum belia yg berkeinginan buat memperkuat Negara Utsmaniyah dan menghentikan kemacetan yang terjadi.
Perjalanan berdasarkan kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah awalnya adalah bangkitnya pencerahan bangsa Arab di Mesir & Suriah akan kondisi mereka yang bodoh dibanding negara-negara Eropa pada bidang sosial dan saintek. Kesadaran ini muncul waktu pasukan Perancis yg dipimpin oleh Napoleon Bonaparte menyerbu Mesir pada yahun 1798 & mengikutsertakan sebuah Misi Kebudayaan buat mengembangkan semangat Revolusi Perancis. Nilai-nilai kemanusiaan dan ide-pandangan baru pencerahan yang dibawa sang Napoleon disambut menggunakan pertentangan dari masyarakat dan cendekiawan Mesir karena tidak sinkron dengan ajaran Islam, meski demikian, para cendekiawan muslim misalnya Abdurrahman al-Jabarti dan Al-Thahthawi menyadari urgensi dunia Islam & bangsa Arab buat mengejar tingkat saintek & perkembangan ilmu sosial yg dicapai sang bangsa Eropa supaya tetap sanggup bersaing.
Setelah pasukan Perancis berhasil dikalahkan sang pasukan Utsmaniyah menggunakan donasi Inggris, Mesir dipimpin oleh gubernur yg dipilih secara populer oleh masyarakat Mesir, yaitu seorang pria asal Albania yang bernama Muhammad Ali. Mesir ketika itu meski adalah jajahan Utsmaniyah, adalah wilayah Arab pertama yg berada pada bawah jajahan Utsmaniyah yg memodernisasi & berhasil dalam melaksanakan hal tersebut. Pencerahan iptek yg dibawa sang Misi Kebudayaan Perancis menghilangkan agama diri bangsa Arab & masyarakat pada bawah kekuasaan Utsmaniyah yang selama ini menggangap bahwa diri mereka adalah peradaban paling maju pada bumi. Hilangnya kepercayaan diri ini mendorong Muhammad Ali buat mengirim pelajar ke negara-negara Eropa buat mempelajari teknologi, ilmu pengetahuan, strategi militer, & secara tidak sengaja pula membawa ilham-inspirasi sosial-politik yg nantinya akan memulai 'Al-Nahda' atau renaisans kebudayaan yg terjadi di daerah jajahan Utsmaniyah di Suriah, Mesir, & dunia Arab.
Antara 1813 sampai 1849, Muhammad Ali mengirimkan mahasiswa ke negara-negara Eropa dan menghabiskan biaya sebesar ?E 273.360. Para mahasiswa memelajari secara khusus: taktik militer, teknik mesin, kedokteran, farmasi, kesenian, dan kerajinan; para cendekiawan seperti Al-Thahthawi meneliti tanda-tanda sosial yang sedang melanda negara-negara Eropa yg dalam waktu itu sedang mengalami perubahan kekuasaan berdasarkan absolutisme raja-raja sebagai monarki konstitusional dan republikanisme. Al-Thahthawi menerjemahkan Konstitusi Perancis 1814 sebesar 74 pasal dan menuliskan jurnal yg memihak pada pengikutsertaan bunyi masyarakat yg diatur oleh konstitusi dan hukum pada urusan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan negara. Para mahasiswa membawa pulang berdasarkan negara-negara Eropa buku-kitab berbahasa asing, & Muhammad Ali mendirikan sebuah biro penerjemahan buat menerjemahkan dan mempermudah sosialisasi ilmu-ilmu baru ini pada masyarakat Mesir. Tindakan-tindakan ini membuka balik pintu ijtihad, yang nantinya akan menginspirasi Tanzimat.
'Al-Nahda' yang menjalar ke global cendekiawan dan akademisi Arab ini nir diterima dengan baik oleh kaum penguasa Utsmaniyah yang nir menggangap latif prospek ijtihad. Hal ini menghambat laju modernisasi & restrukturisasi birokrasi Negara Utsmaniyah sehingga mampu dibilang tertinggal oleh Mesir. Bangsa Arab sudah mencicipi bumbu-bumbu konstitusionalisme, aturan yang terkodifikasi & egaliter, birokrasi yang tersusun, & semangat kemanusiaan serta sikap menghargai seluruh bangsa tanpa diskriminasi, tentunya mereka tidak akan terus membuktikan sikap jinak mereka terhadap Konstantinopel dan perlahan menuntut konsesi yang adil di bawah kekuasaan Utsmaniyah, hal ini akan mencapai puncaknya saat Pemberontakan Arab Besar diproklamasikan sang Wangsa Hasyimiyah di Hijaz dalam tahun 1916.
Abad ke-19 bukanlah abad yg ringan bagi Kekhilafahan Utsmaniyah, propagasi wangsit-pandangan baru baru seperti nasionalisme dan pelaksanaan kepercayaan yang puritan mengancam integritas daerah Utsmaniyah. Dimulai berdasarkan abad ke-18, daerah jajahan Utsmaniyah di Arab & Afrika Utara diberi swatantra lebih berdasarkan masa-masa sebelumnya, hal ini dimaksudkan buat menambah efisiensi birokrasi, pemungutan pajak, & perekrutan tentara. Tetapi para penguasa Arab lokal belum siap secara mental buat diberikan otonomi, hal ini mengakibatkan ketidakstabilan politik & kebobrokan ekonomi misalnya di Mesir. Perseteruan ini nantinya akan sebagai bibit kemerosotan impak dan wilayah Utsmaniyah di Timur Tengah dan Afrika Utara ketika pemerintah pusat Utsmaniyah yg diberi nama 'Porte Agung' tidak bisa mengatasi kasus ini. Permasalahan ini diperparah dengan skema-skema politik yang ambigu mengenai kebijakan geopolitik wilayah vasal mereka pada Timur Tengah.
Pada tahun 1821 kaum revolusioner Yunani memberontak terhadap kekuasaan Utsmaniyah, Porte menjanjikan kepada penguasa Mesir, gubernur Muhammad Ali wilayah kekuasaan di Suriah jika bersedia membantu upaya perang Utsmaniyah di Yunani. Meski memperoleh hasil yang memuaskan di awal-awal perang, intervensi Inggris dan Perancis atas desakan dari rakyat mereka yang–merasa miris dengan kekejaman koalisi Utsmaniyah-Mesir– berhasil mengalahkan pasukan Utsmaniyah dan menghancurkan angkatan laut Mesir. Ketika perang berakhir, Muhammad Ali menuntut kembali janji yang diberikan oleh Sultan Mahmud II untuk memberi wilayah Suriah. Sultan Mahmud II menolak permintaan sang gubernur dan membawa negara beliau ke dalam api peperangan kembali. Dalam keadaan marah dan kecewa, Muhammad Ali mengutus anaknya; Ibrahim Pasya untuk memimpin 30.000 pasukan dengan persenjataan modern untuk menyerang Utsmaniyah, peperangan ini merupakan keberhasilan besar bagi pasukan Mesir. Sultan Mahmud II menyerah kepada tuntutan Muhammad Ali ketika beliau mendengar bahwa pasukan Mesir sudah mencapai Kota Konya.
Keberhasilan Mesir pada Perang Mesir-Utsmaniyah 1831-1833 tidak memuaskan ambisi Muhammad Ali. Beliau memimpikan sebuah Kerajaan Mesir merdeka yang merembet dari Sudan ke Suriah beserta penguasaan penuh atas wilayah Hijaz yang merupakan tempat dua kota suci; Makkah dan Madinah. Dalam rangka memenuhi ambisi beliau, Muhammad Ali kembali mengobarkan perang melawan Sultan, namun kali ini Inggris yang khawatir akan runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah dan menyaksikan hadirnya kekuatan modern yang baru yaitu Mesir yang dekat dengan saingannya yaitu Perancis, membantu Kekhilafahan Utsmaniyah dan dengan koalisi ini, Muhammad Ali berhasil dikalahkan. Dalam Konvensi London yang diadakan pada tahun 1840, Muhammad Ali diberikan kuasa penuh atas Mesir dan Sudan serta diberikan hak untuk mendirikan dinasti yang diberi hak khusus untuk memerintah Mesir yang semi-merdeka mewakili Porte.
Perang Mesir-Utsmaniyah Kedua yg berkobar pada tahun 1839-1841 sangat melemahkan pemerintahan & wibawa Kekhilafahan Utsmaniyah. Kekuatan-kekuatan pada Eropa menaruh penamaan "Sick Man of Europedanquot; menggunakan melihat kondisi miris yang dihadapi sang pemerintahan Utsmaniyah. Menghadapi pertarungan ini, pemerintahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abdulmejid I memulai Tanzimat atau 'reorganisasi' buat memperkuat dan memodernisasi Kekhilafahan Utsmaniyah. Dokumen pertama Tanzimat berisi tujuan-tujuan dasar yaitu: memastikan "Keamanan yang paripurna bagi kehidupan, kehormatan, dan properti" bagi semua masyarakat Utsmaniyah; menciptakan "Sebuah sistem evaluasi pajak regulerdanquot;: dan reformasi dinas militer.
Tanzimat dilakukan untuk memperkuat birokrasi dan administrasi Kekhilafahan Utsmaniyah yang bobrok. Sudah merupakan keharusan bagi negara-negara yang mengupayakan modernisasi waktu itu buat jua mengenalkan reformasi administrasi misalnya penyederhanaan & pemerataan hukum, & pendataan penduduk buat menciptakan birokrasi yg efisien, dengan ini hukum yg terkodifikasi & egaliter beserta konstitusi dikenalkan pada kehidupan Utsmaniyah.
Tentunya reformasi-reformasi tersebut ditentang oleh kaum agamawan dan warga beragama Suni Utsmaniyah yang relijius. Hal ini terjadi dampak minimnya sosialisasi dan perencanaan matang yg kemudian reformasi-reformasi ini diperkenalkan secara spontan pada rakyat yg dogmatis & sudah lama tidak berijtihad dan berinovasi pada bidang sosial-politik Tidak sampai tahun 1850an dan 1860an dampak menurut Tanzimat mulai terasa waktu muncul gerakan-gerakan pemuda yang progresif misalnya 'Utsmani Muda' & mencapai puncak konvoi reformasi menggunakan munculnya 'Turki Muda' yang menggulingkan Sultan Abdul Hamid II?Yang memerintah menggunakan absolutisme?Dalam tahun 1908
Organisasi-organisasi pemuda ini beranggotakan mahasiswa-mahasiswa Utsmaniyah yg memelajari kedokteran & ketentaraan, para elit-elit muda ini sesudah belajar ke Eropa beranggapan bahwa rahasia pada balik kesuksesan negara-negara pada Eropa adalah pemerintahan yg bertenaga yg ditopang sang organisasi politik yg teratur dan terorganisir dan hadirnya kekuasaan yang konstitusional. Mereka kecewa dengan ketidakstabilan politik yg terjadi dalam masa pemerintahan Sultan Abdulaziz. Pergerakan reformis beranggapan bahwa Sultan pengganti Sultan Murad yaitu Sultan Abdul Hamid II akan bekerjasama menggunakan 'Utsmani Muda', & dia dalam masa awal-awal pemerintahan memang berhubungan menggunakan para reformis pada mendirikan pemerintahan yang konstitusional dan memiliki parlemen, namun beberapa ketidaksepakatan beliau menggunakan parlemen dan dihadapkan menggunakan disintegrasi daerah Utsmaniyah akibat pemberontakan nasionalis & peperangan dengan Rusia?Atas polemik minoritas Kristen pada Lebanon dan Palestina yg di mana Utsmaniayah dibantu oleh Perancis & Inggris?Menciptakan beliau membubarkan parlemen dan menangguhkan konstitusi.
Hal tersebut & peralihan pada absolutisme pada bawah Sultan Abdul Hamid II mengecewakan kaum reformis dan berujung menggunakan Kudeta Turki Muda dalam tahun 1908 yang digerakan sang 'Komite untuk Persatuan & Kemajuan' yang berisikan anggota-anggota Turki Muda dan 'Partai Kebebasan dan Kesesuaian' yg dipimpin sang keliru satunya anggota berdasarkan Dinasti Osman sendiri yaitu Sultanzade Sebahaddin. Dua kekuatan ini beserta konvoi kecil lainnya yg tergabung di bawah 'Uni Liberal' beraspirasi buat mengembalikan konstitusi dan mendirikan parlemen pulang yang sudah ditangguhkan sang Sultan Abdul Hamid II.
Nasionalisme adalah sebuah pedang yg menghunus ke dua arah bagi Kekhalifahan Utsmaniyah; di satu sisi harus dipahami bahwa Utsmaniyah pada perjalanannya menjadi kekuatan imperial memiliki daerah kedaulatan plural yang multi-etnis dan multi-nasional, didiami bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Armenia, bangsa Kurdi, bangsa Slavia, & aneka macam minoritas misalnya minoritas Druze pada Lebanon. Nasionalisme merupakan ilham yg menginspirasi bangsa-bangsa ini buat memberontak melawan Utsmaniyah dan menciptakan rasa kebangsaan sendiri. Hal ini menjadikan daerah Balkan yang didiami oleh bangsa Slavia; sehabis menemukan jati diri bangsa mereka, manunggal melawan Utsmaniyah pada Perang Balkan Pertama pada tahun 1912-1913.
Di sisi yang lain, bangsa Turki yang mempunyai pemikiran misalnya Tiga Pasya: Talaat, Djemal, dan Enver menyadari bahwa buat memperkuat Negara Utsmaniyah & mempertahankan dominasi bangsa Turki dalam perpolitikan Utsmaniyah maka harus menyuarakan pula semangat kebangsaan Turki. Gerakan Turki Muda yg dipimpin sang Triumverat Pasya di awal abad ke-20an melalui Komite buat Persatuan dan Kemajuan bekerja buat mensentralisasi kekuasaan politik ke Istanbul & secara perlahan men-"Turkifikasi" penduduk multi-budaya di daerah Utsmaniyah.
Upaya Turkifikasi budaya mereka yang berada di wilayah jajahan membangkitkan kembali semangat Al-Nahda yang dimulai di Mesir. Aspirasi nasionalisme dan modernisasi bangsa Arab yang diwariskan oleh tokoh-tokoh seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh beserta ingatan akan pemberontakan tokoh-tokoh reformis seperti Saad Zaghlul di Mesir kembali bergema di kalangan bangsa Arab. Namun pada awal masa pergerakannya, para nasionalis Arab terpaksa berkumpul secara rahasia dan dengan memperhatikan kehati-hatian yang tinggi, karena Utsmaniyah di bawah pimpinan Triumverat Pasya gencar membungkam oposisi-oposisi politik bahkan sekutu lamanya di Partai Kebebasan dan Kesesuaian; para nasionalis Arab tidak lepas dari pembungkaman dan sensor pemerintah. Membutuhkan sebuah percikan agar pergerakan nasioanl Arab dapat naik ke permukaan dinamika politik. Percikan ini adalah pecahnya Perang Dunia 1 dan bergabungnya Utsmaniyah di sisi Kekuatan Poros.
Kengerian yg membayangi peristiwa humanisme di Armenia & tindakan Djemal Pasya di Suriah dan Lebanon terhadap tokoh-tokoh pro-kemerdekaan Arab menjadikan sensasi paranoia dan kekhawatiran di kalangan bangsa Arab pada Levant, Mesopotamia, & Hijaz. Djemal menjatuhkan tuduhan penghianatan tingkat tinggi pada sejumlah tokoh pada Suriah & Lebanon. Sebuah pengadilan militer didirikan di Lebanon dalam tahun 1915, dalam ketika setahun, puluhan orang digantung pada Beirut & Damaskus, serta menjebloskan ratusan orang lainnya ke penjara, & ribuan orang diasingkan. Tindakan ini yang memberikan gelar "al-Saffah" atau "penumpah darah" pada Djemal Pasya meyakinkan lebih poly orang Arab buat memerdekakan diri.
Sebuah ucapan disampaikan sang Presiden Liga Progres Lebanon, Naroum Mokarzel pada tahun 1913 pada Kongres Arab pada Paris bahwa revolusi yang akan terjadi harus merupakan revolusi literasi & reformasi, dan bahwa kekerasan hanya adalah pilihan terakhir. Tetapi pada tahun 1916, Wangsa Hasyimiyah pada Hijaz dipimpin oleh Sharif Hussein bin Ali yg dibantu sang Inggris melalui Korespondensi Hussein-McMahon; didorong oleh rasa takut terhadap prospek akan terjadinya pembantaian terhadap orang Arab seperti yg terjadi di Armenia menentukan untuk mengobarkan perang & mengambil pilihan pertumpahan darah. Wangsa Hasyimiyah juga melakukan hal tadi karena menggangap bahwa Turki Muda dan Triumverat Pasya dalam upaya mereformasi Utsmaniyah telah melenceng dari Islam.
Di waktu yg sama seseorang perwira asal Thessaloniki yg merupakan veteran Perang Italia-Utsmaniyah di Italia dalam tahun 1911-1912 mencetak prestasi militer pada medan pertempuran, dia adalah tokoh instrumental dalam kemenangan Utsmaniyah di Galipoli melawan Sekutu & waktu Utsmaniyah mulai kalah dalam perang, dia mengupayakan evakuasi pasukan Utsmaniyah berdasarkan Mesopotamia dan Suriah menuju Anatolia. Beliau nantinya akan menjadi Presiden Republik Turki yang petama, nama dia merupakan Mustafa Kemal. Seorang ahli strategi militer & negarawan, beliau nir berdiam diri saat Sultan Utsmaniyah melewati delegasi yg dikirim ke S?Vres menyetujui pengucilan daerah Utsmaniyah & memaksakan Utsmaniyah buat membayar biaya yang mahal akibat keikutsertaan mereka dan agresi mereka dalam tahun 1914. Perjanjian S?Vres membagi daerah Asia Minor sebagai zona yang diadministrasi sang Yunani, Perancis, dan Italia; menyisihkan wilayah buat Armenia & Negara Kurdi. Utsmaniyah hanya dibatasi pada kantong mini di utara Anatolia; & keuangan Utsmaniyah dikendalikan oleh para pemenang perang melewati OPDA?Yg diperkuat, Administrasi Utang Umum Utsmaniyah yg didirikan pada masa Sultan Abdul Hamid II untuk mengurus pembayaran utang Utsmaniyah ke negara-negara & perusahaan di Eropa.
Mustafa Kemal mendirikan Majelis Agung Nasional bersama kaum nasionalis dan mengobarkan perang kemerdekaan melawan tentara asing di wilayah Turki dan Kekhilafahan Utsmaniyah yang tidak berdaya yang tergabung dalam koalisi tentara sekutu selama tiga tahun. Beliau berhasil mengusir tentara Yunani dsri Izmir, hal ini merupakan kemenangan penting bagi kaum nasionalis, kemudian pada tanggal 3 Maret 1924 memasuki Istanbul dan membubarkan Negara Utsmaniyah dan mengasingkan Dinasti Osman. Keberhasilan Mustafa Kemal dalam mengupayakan kemerdekaan Turki memberikan kepada beliau nama kehormatan "Atatürk" atau "Bapak bangsa Turki" dan memaksa para pemenang Perang Dunia 1 untuk kembali ke meja perundingan. Perjanjian Lausanne yang dirumuskan setelah Perang Kemeedekaan Turki membentuk perbatasan Turki modern dan menghapus banyak dari sanksi yang dijabarkan sebelumnya dalam Perjanjian Sèvres. Meski sesama kaum nasionalis, Atatürk melarang Turki Muda dan Enver Pasya untuk kembali ke perpolitikan Turki.
Sebagai kalimat terakhir dari penulis, bepergian yg mengiringi kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah merupakan perjuangan panjang yg nir bisa dinafikan segmen dan bagian-bagian eksklusif, Mustafa Kemal Atat?Rk adalah paku terakhir yang dipalukan ke peti mangkat Utsmaniyah, lonceng kematiannya telah berbunyi semenjak Utsmaniyah tidak sanggup menyaingi kemajuan negara-negara saingannya di Eropa, & tidak ada Imperium yang bisa bertahan selamanya.
Penulis: Lee Kuan Yew
OA: Historypedia Line
0 comments:
Post a Comment