Perjuangannya berawal berdasarkan hak hukum Tawan yg menyatakan bahwa kapal manapun jika terdampar di perairan Bali maka sebagai milik kerajaan Bali. Saat itu, kapal dagang Belanda terdampar pada wilayah Jembrana hingga disita kerajaan Buleleng. Belanda menuntut penghapusan aturan tawan karang serta meminta kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belanda. Tuntutan ini bagi patih Buleleng, Ketut Jelantik, sangat meremehkan. Ia bersumpah selama hidupnya tidak akan pernah tunduk pada kekuasaan Belanda. Ia menentukan berperang dibandingkan mengakui Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik diangkat sebagai Patih Agung Kerajaan Buleleng pada 1828. Sebagai Patih Agung, ia membina kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain di Bali. Berkaitan dengan itu, ia juga dipaksa berhadapan dengan pihak Belanda yang ingin menguasai Bali, termasuk Buleleng.
Perang akhirnya tidak dapat dihindari. Tentara Belanda menyerbu Buleleng & pada 28 Juni 1846, sentra kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Patih Jelantik bersama raja Buleleng sudah mengambil keputusan buat mengundurkan pasukannya ke Buleleng Timur memasuki desa Jagaraga dan menetapkan Jagaraga menjadi benteng konsolidasi kekuatan dan menjadi ibu kota kerajaan yg baru. Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi persenjataan pasukannya tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda sehingga akan sia-sia melanjutkan pertempurannya waktu itu. Untuk menghindari hal inilah akhirnya Patih Jelantik memerintahkan pada sisa-sisa laskar dan masyarakat yg masih setia terhadapnya buat mengundurkan diri ke desa Jagaraga.
Pembangunan benteng di Jagaraga dilakukan dengan cepat. Untuk mengantisipasi penyerbuan Belanda di Jagaraga, pasukan disiagakan. Pembangunan benteng itu menyebabkan Gubernur Jenderal Belanda mengerahkan kekuatan besar -besaran pada bawah pimpinan Jenderal van der Wijk sekaligus menuntut supaya Patih Jelantik menyerahkan diri. Menjelang akhir tahun 1846 di Jagaraga sudah berkumpul laskar 7.000-8.000 orang lengkap dengan persenjataannya.
Pada bulan Juni 1848, Belanda kembali mengirim pasukannya untuk membongkar benteng-benteng Jagaraga dan menangkap I ketut Jelantik. Perang Jagaraga pertama terjadi. Kekuatan pertahanan dan kegigihan para prajurit Buleleng membuat Belanda tidak mampu merebut Benteng Jagaraga. Serangan itu pun gagal. Bahkan, pihak Belanda kehilangan 14 perwira dan 242 prajuritnya.
Masih pada tahun 1848, pertempuran ke 2 pulang meletus. Untuk ke 2 kalinya, tentara Belanda yang dipimpin Jenderal van der Wijk juga tidak bisa menunda gempuran Patih Ketut Jelantik. Tentara Belanda pun mundur ke arah pantai. Kemenangan Buleleng itu disusul dengan peperangan ketiga pada 31 Maret 1849. Tentara Belanda yang dipimpin sang Jenderal Michels melancarkan tembakan meriam pada atas kapal. Pertempuran sengit berkobar di Jagaraga selama 2 hari. Prajurit Bali mempertahankan Jagaraga sekuat tenaga. Lantaran Belanda sudah mengetahui kekuatan Benteng Jagaraga maka pada 16 April 1849, Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik pun wajib mundur ke Pegunungan Batur Kintamani. Selanjutnya, Ketut Jelantik pergi ke Karangasem mencari donasi. Ternyata istana Karangasem pula telah diduduki Belanda. Ketut Jelantik akhirnya bertahan di perbukitan Bale Pundak, ad interim Belanda terus memburunya. Ia tetap bertarung hingga tetes darah penghabisan. Akhirnya Jelantik gugur pada pertempuran dalam akhir April 1849. Atas jasa-jasanya dalam usaha melawan colonial Belanda, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional dalam patih Buleleng ini tahun 1993.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
0 comments:
Post a Comment