Kemunduran kerajaan Aceh diawali masa waktu sepeninggal Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636, sepeninggal Sultan Iskandar Muda tampuk keuasaan digantikan sang menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani yang kemudian memerintah selama 5 tahun pada kurun 1636-1641. Sultan Iskandar Tsani mempunyai sikap yg tidak sama dengan Sultan Iskandar Muda dalam menanggapi kaum Kolonialis atau bangsa asing. Sultan Iskandar Tsani bersikap sangat terbuka & kompromistis terhadap kaum Kolonialis atau bangsa asing, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis.
Semenjak Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani, indikasi-indikasi kemunduran mulai tampak. Hal ini tidak lepas dari adanya impak campur tangan bangsa asing yg mendapat kesempatan dari sultan secara longgar dalam urusan perdagangan & politik dengan pemerintahan Aceh. Kemunduran Aceh ini semakin terlihat selesainya Sultan Iskandar Tsani wafat yang lalu digantikan isterinya yaitu Sultanah Tajul Alam Syaituddin Syah, yg memerintah pada tahun 1641-1675. Dalam pemerintahan yang relatif usang selama kurang lebih 34 tahun kekuasaan Aceh sebagai sangat lemah dimata wilayah bawahannya. Wilayah Aceh yang meliputi wilayah-daerah tidak bisa lagi dikuasai sang Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak terdapat lagi kekuatan buat mempertahankannya. Hingga dalam akhirnya poly daerah bawahan yg melepaskan diri menurut kekuasaan Aceh.
Masalah yg lain pun mulai bermunculan. Seperti halnya pada kasus ekonomi yg semakin terpuruk dampak ulah pedagang-pedagang asing yg semakin berkuasa & sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi pada negeri sudah nampak nir sehat karena para kapitalis semakin meraja lela pada penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yg sedang dilanda resesi berat.
Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kolaborasi menggunakan Belanda. Langkah ini dilakukan semata-mata buat mempertahankan Aceh berdasarkan gilasan & serbuan kaum Kolonialis Portugis sebagaimana yg terjadi di Malaka. Tanpa diperhitungkan terlebih dahulu bahwa niat buat memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya pada bumi Nusantara ini, maka perilaku Sultanah tadi dijadikan suatu momentum buat lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialisme Belanda yg dimulai pada Aceh. Hal ini terbukti menggunakan aneka macam fasilitas dan kesempatan yang diberikan secara leluasa kepada mereka. Maka akhirnya Belanda mendirikan kantor dagang mereka pada Padang & Salida.
Walaupun tindakan Belanda itu akhirnya diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan peringatan tersebut. Sultanah Tajul Alam Syaiatuddin Syah wafat tahun 1675 dan digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin (tak jelas asal usulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya Sultanah belum bisa mengentaskan kerajaan Aceh dari berbagai kemelut dan permasalahan internal maupun eksternal yang ada. Begitu pula ketika digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan. Baru setelah ulamaulama dan tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar dan ïsterinya, Cik Di Tiro. Panglima Polim dan lain-lain, kerajaan Aceh mulai naik lagi kharismanya.
Dari konflik yang terjadi setelah kematian dari Sultan Iskandar Muda bisa disimpulkan bahwa terdapat dua faktor krusial yang mengakibatkan kemunduran kerajaan Aceh Darussalam: kedua faktor tersebut merupakan faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, yang pertama diakibatkan sang lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda pada mengendalikan jalannya pemerintahan, yang berimbas lepasnya wilayah-daerah yang berada pada bawah pengaruh Aceh & berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar buat memecah belah persatuan. Kedua, banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yg tidak pedulikan lagi kesulitankesulitan yg dialami sang kerajaan terutama di bidang ekonomi akibat dan sistem perekonomian yg diterapkan kaum kolonial. Kenyataan ini lalu menyeret Aceh mengambil sikap kompromi menggunakan Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan dari pihak Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. hal ini berawal dari kegagalan kerajaan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagai akibatnya para penerus Sultan Iskandar Muda terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam penerangan Malaka. Campur tangan ini akhirnya berlanjut terus menerus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment