Ia seorang sarjana produk pendidikan kolonial, tapi dia tidak begitu saja menerima seluruh contoh barat, terutama soal peradilan. Ia membongkar undang-undang warisan kolonial yang dianggapnya telah usang dan nir sinkron lagi menggunakan negara Indonesia. Ia membuat undang-undang baru. Mengganti simbol-simbol peradilan kolonial menggunakan simbol yang lebih bernuansa asli Indonesia.
Saharjo lahir di Surakarta dan menamatkan SD di kota kelahirannya. Ia kemudian pindah ke Batavia untuk meneruskan pendidikan hingga AMS. Selepas itu, dia masuk STOVIA [Sekolah Dokter], tetapi nir menyelesaikannya hingga lulus. Ia menentukan bekerja sebagai pengajar pada Perguruan Rakyat, sebuah perguruan partikelir nasional di Batavia. Dalam kedudukan sebagai pengajar, ia turut berjuang menghadapi tekanan-tekanan yg dilakukan sang Pemerintah Belanda terhadap pendidikan nasional.
Di masa pergerakan, PNI sudah pecah menjadi PNI baru dan Partindo. Saharjo terjun ke global politik dengan masuk sebagai anggota Partai Indonesia [Partindo]. Ia lalu diangkat sebagai anggota pengurus akbar Partindo. Ia kemudian tertarik menggunakan bidang hukum & masuk sekolah aturan, Rechtshogeschool di Batavia. Gelar sarjana hukum diperolehnya dalam 1941. Sejak itu mulailah kegiatannya pada bidang aturan. Sesudah Indonesia merdeka, berkalikali beliau diserahi jabatan penting antara lain Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Kerja I & Menteri Kehakiman pada Kabinet Kerja II. Jabatan terakhirnya merupakan Wakil Menteri Pertama Bidang Dalam Negeri.
Sebagai seorang sarjana hukum, Saharjo banyak mengeluarkan butir pikiran yang bermanfaat. Hasil-output pemikiran itu antara lain, Undang-undang Warga Negara Indonesia Tahun 1947 dan tahun 1948 dan Undang-undang Pemilihan Umum tahun 1953. Ia berusaha jua menyesuaikan aturan dengan kepribadian Indonesia & menolak aturan kolonial yang tidak sinkron lagi menggunakan kehidupan bangsa yang sudah merdeka pada tahun 1962
Tindakan paling penting dilakukan saat ia mengusulkan lambang keadilan yg berbentuk Dewi Justita, satu lambang peradilan dunia barat, diganti menggunakan lambang pohon beringin. Lambang ini lebih sinkron menggunakan kepribadian bangsa lantaran pohon beringin menyimbolkan perlindungan & kesejukan bagi yang memerlukan. Usulannya diterima sang Seminar Hukum Nasional pada 1963 dan sejak itu belum pernah diganti lagi.
Masih dalam dunia peradilan, Saharjo juga mengganti istilah penjara menjadi lembaga kemasyarakatan khusus dan mengganti istilah orang hukuman dengan narapidana. Ia berpendapat, penjara bukanlah tempat memberikan penderitaan pada si terhukum, tetapi untuk membimbing dan mendidik mereka agar menjadi orang yang berguna dalam masyarakat.
Saharjo tewas dunia di Jakarta dalam usia 54 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan peradilan Indonesia, pemerintah memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Saharjo pada tahun 1963.
0 comments:
Post a Comment