Siapa bilang sebagai pegawai pemerintah harus diammenunduk mengikuti perintah atasan. Seorang menurut Negeri Cendrawasih bernama Mathen Indey membuktikannya. Sebagai anggota Polisi Hindia Belanda dia malah mengompori beberapa kawannya buat menangkap atasannya. Meski gagal dan mendapat sanksi, ia permanen berusaha secara underground maupun terangterangan, melalui usaha senjata ataupun otak. Dia bisa!
Marthen Indey lahir pada 14 Maret 1912 di Doromena, Jayapura, Irian Jaya. Pendidikan yang ditempuhnya antara lain; Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Pelayaran, Sekolah Polisi (Sukabumi, Jawa Barat). Kemudian ia masuk anggota kepolisian Hindia Belanda. Pada tahun 1941 ia bertugas di Digul untuk mengawasi pejuang-pejuang Indonesia dibuang di tempat tersebut. Dari situlah, ia berkenalan dengan beberapa tahanan politik, antara lain Sugoro Atmoprasojo, bekas guru Taman Siswa.
Ternyata, ta’aruf menggunakan Sugoro menyadarkan Mathen tentang nasionalisme. Ia bahkan merencanakan membelot bersama kurang lebih 30 orang kawannya dan menangkap aparat pemerintah Hindia Belanda. Tetapi, niat Marthen cs gagal lantaran diketahui atasannya, ia pun dipindah tugaskan ke sebuah loka terpencil pada hulu sungai Digul.
Tatkala Jepang menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda pada Irian Barat 1942, Marthen ikut dibawa ke Australia menjadi pelarian Hindia Belanda. Tahun 1944, ia balik ke tanah kelahirannya beserta pasukan Sekutu waktu pecah Perang Dunia II. Marthen di pihak Belanda ikut bertempur menghadapi Jepang di Irian. Pemerintah Belanda kemudian mengangkatnya menjadi pelatih dalam Batalyon Papua. Turut serta dalam pasukan Belanda membuat ia diangkat jadi Kepala Distrik Arso Yamai & Waris. Meski menerima posisi nyaman, jiwa nasionalis Mathen tidak pernah padam, beliau bergerak underground, secara membisu-membisu berkomunikasi menggunakan para mantan tahanan politik kolonial Digul?Para eks tapol tersebut banyak yang bekerja menjadi pengajar di kota Kampung Harapan. Ia pun berusaha menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh Maluku pro Indonesia saat mendapat perlop pada Ambon dalam bulan Januari 1946.
Marthen memutuskan untuk berjuang terbuka pada bulan Oktober 1946 melalui jalur politik. Ia bergabung dalam anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM), lalu berganti nama menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM), malahan Marthen kemudian menjadi ketua. Melalui PIM, ia berhasil membujuk 12 kepala suku di Papua untuk bersama menyampaikan protes kepada Pemerintah Belanda. Tuntutannya adalah memisahkan Irian Barat untuk bergabung dengan Indonesia. Karena gerakannya tersebut, Martin terpaksa masuk bui selama tiga tahun.
Pada Januari 1962, saat itu Jakarta mengadakan ekspedisi pembebasan Papua melalui Tri Komando Rakyat (Trikora). Marthen tidak ingin ketinggalan, dia menyusun kekuatan gerilya dan membantu beberapa anggota RPKAD yang didaratkan pada Irian Barat. Ia juga ia mengungkapkan Piagam Kota baru kepada Presiden Soekarno. Piagam tadi berisi penegasan tekad masyarakat Irian Barat buat tetap setia pada NKRI. Pada bulan Desember 1962, Marthen bersama E.Y. Bonai diberangkatkan ke New York sebagai anggota delegasi Indonesia mewakli Irian Barat buat membicarakan tuntutan pada PBB agar sesegera mungkin masa Irian Barat segera dimasukkan ke dalam daerah RI.
Sesudah Irian Barat resmi menjadi daerah RI, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili Irian Jaya, terhitung dari tahun 1963 hingga 1968. Ia pula mengampu jabatan sebagai kontrolir berpangkat mayor tituler dibawah Residen Jayapura. Marthen Indey mangkat global dalam 17 Juli 1986 dalam usia 74 tahun.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Nasional
0 comments:
Post a Comment