Sebelumnya, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 [TZMKO 1939]. Pulau-pulau wilayah Nusantara dipisahkan laut sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Lalu pada 13 Desember 1957 dicetuskanlah sebuah deklarasi yang mengubah ordonansi warisan Belanda itu. Sebuah pernyataan pada dunia bahwa laut sekitar, laut di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah RI. Deklarasi itu bernama deklarasi Djuanda.
Pemrakarsa deklarasi itu adalah Djoeanda Kartawidjaja yang saat itu menjabat perdana menteri Indonesia. Djuanda merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School [HIS]. Ia menempuh pendidikan mula di HIS dan kemudian pindah ke Europesche Lagere School [ELS] dan tamat pada 1924. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Hogere Burger School [HBS] Bandung hingga lulus tahun 1929. Selepas itu, ia segera masuk Technische Hoogeschool [THS] di Dago Bandung mengambil jurusan teknik sipil dan lulus pada 1933.
Tawaran menjadi asisten dosen di THS dengan gaji yang lumayan, ditolaknya. Ia memilih untuk menjadi guru pada Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah di Jakarta walaupun dengan gaji yang kecil. Beberapa waktu kemudian, ia diangkat menjadi direktur sekolah tersebut. Di samping itu, ia giat pula dalam organisasi Paguyuban Pasundan. Setelah empat tahun berkecimpung di bidang pendidikan, pada 1937 Djuanda menjadi tenaga ahli di Jawatan Pengairan Jawa Barat. Selain itu, ia duduk pula sebagai anggota Dewan Daerah Batavia.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambilalihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan objekobjek militer di Gudang Utara Bandung. Selepas itu, Pemerintah RI segera mengangkatnya menjadi Kepala Jawatan Kereta Api seluruh Jawa dan Madura, kemudian menjadi Menteri Perhubungan.
Saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, ia ditangkap, tetapi kemudian dapat bebas dan terlibat dalam perundingan KMB, ia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Selepas itu, saat terbentuk RIS yang menguntungkan Belanda, dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Akan tetapi, ia menolak duduk dalam pemerintahan negara boneka ciptaan Belanda itu.
Djuanda merupakan tokoh yang paling sering duduk dalam kabinet, yakni sebanyak 17 kali mulai dari Menteri Muda Perhubungan sampai menjadi perdana Menteri. Ia seorang abdi negara yang bekerja tanpa kenal lelah hingga banyak orang menjulukinya, “menteri marathon”. Sebagai pejabat ia selalu berusaha menyehatkan perekonomian negara, dan memajukan pertanian, peternakan dan perikanan, agar hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat banyak
Pengabdian Djuanda harus berakhir saat usianya menginjak 52 tahun. Ia meninggal karena serangan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya yang besar bagi negara, pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1963.
0 comments:
Post a Comment