Berkuasanya Bill Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat dari partai demokrat memberikan kejutan bagi Indonesia yang baru saja mengalami satu tahun reformasi. Hubungan militer antara Amerika Serikat dan Indonesia yang sebelumnya mesra para era orde baru harus mengalami ketegangan. Hal ini diakibatkan pada bulan september 1939 pemerintahan Clinton menjatuhkan sanksi embargo kepada militer Indonesia yang telah disetujui oleh kongres karena militer Indonesia diduga melakukan aksi kekerasan yang melanggar HAM pasca-refrendum di Timor Leste. Partai demokrat Amerika Serikat sebelumnya memang dikenal sebagai partai yang keras memperjuangkan HAM walaupun sebenarnya tidak selalu konsisten.
Tentunya hal ini merugikan pertahanan Indonesia secara ekonomi dan keamanan. Alusista yang anda terbengkalai begitu saja karena tidak adanya suku cadang dari negara importir yaitu. Sedangkan di Indonesia pada waktu itu mengalami banyak gerakan separatisme yang mengganggu stalibitas nasional. Ketergantungan senjata sejak lama terhadap negara-negara barat dalam hal ini Amerika Serikat membuat Indonesia akhirnya kebingungan dan terus mencari alternatif dalam bidang persenjataan.
Tentunya ada upaya dari pemerintah Indonesia untuk melobi pemerintahan Amerika Serikat untuk melepaskan embargo militer tersebut. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau biasa disebut Gus Dur, ia mengirimkan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab untuk melobi pemerintahan Amerika Serikat. Ia melobi 40-50 anggota Kongres AS untuk melepaskan embargo tersebut. Menurut Alwi Shihab Pemerintahan Amerika Serikat mau melepaskan embargo tersebut namun Kongres AS lah yang tetap ngotot mengembargo. Ia mengatakan kepada para anggota kongres tersebut bahwasannya pemerintahan Indonesia yang sekarang berkuasa adalah pemerintah yang demokratis, membutuhkan alat pertahanan dalam menjaga tantangan keamanan nasional(Gatra, 20 Maret 2001).
Jatuhnya Gus Dur membuat kebijakan pemerintah berbeda. Pemerintahan Megawati yang baru saja naik jauh lebih bersikap represif terhadap gerakan separatisme terutama yang terjadi di Aceh. Megawati menggelar operasi militer besar-besaran di Aceh. Megawati mengikuti jalan pendahulunya Presiden Soeharto dalam mengatasi masalah Aceh dengan penggunaan militer. Megawati pun mulai melirik persenjataan dari Rusia untuk memodernisasi alusiste TNI. Terjadi pertemuan pada 21 April 2003 antara Presiden Megawati dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam pertemuan itu membahas kerjasama didalam banyak hal, termasuk dalam bidang militer yaitu ditandai dengan pembelian Pesawat Sukhoi Su-30KI dan SU-27 Flanker. Terlihat bahwasannya Megawati mulai membuat Indonesia melepaskan ketergantungan terhadap negara barat dalam bidang alusista(Kompas, 22 April 2003:1).
Pemilu Presiden 2004 merupakan momentum dimana Presiden Indonesia kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Presiden Megawati mencalonkan diri kembali, sayangnya ia harus kalah dengan bekas anah buahnya Susilo Bambang Yudhoyono. Bergantinya presiden tentunya bergantinya juga arah kebijakan luar negeri yang akan diterapkan. SBY terkenal dengan semboyan politik luar negeri “Thousand friends zero enemy”. Menurut Bantarto, peniliti CSIS (Center for Stragic and International Studies), menggunakan prinsip ini memang ada aspek positif yang menjadi ciri khas politik luar negeri SBY. Antara lain, terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain--seperti Jepang, Cina, India, dan sebagainya, kemampuan beradaptasi dengan perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri, serta adanya “pragmatis kreatif” dan oportunis. Artinya, Indonesia menjalin hubungan dengan siapa saja, yang membantu menguntungkan Indonesia(Dault, 2012:166)
Dalam upaya melepaskan embargo senjata Amerika Serikat pemerintah SBY tidak membuat kebijakan seperti pendahulunya yang seolah-olah menantang Amerika Serikat. SBY melakukan pendekatan dan melakukan lobi seperti yang dilakukan oleh Gus Dur. SBY dalam hal ini mengutus Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono selama tujuh hari 11-18 Maret 2005, untuk bertandang ke Amerika Serikat dalam upaya melobi pemerintahan dan kongres Amerika Serikat untuk segera mencabut embargo senjata yang telah lama terjadi dan merugikan Indonesia. Dalam misinya ia berupaya meyakinkan komitmen Indonesia sebagai negara dengan pemerintahan demokratis dengan ditandai profesionalisme TNI dalam menjelakan perananya pasca-reformasi(Gatra, 14 Maret 2005).
Setelah mengirimkan lobinya, maka SBY mengunjungi Amerika Serikat pada 24-27 Mei 2005 sebagai upaya dalam menekankan kerjasama dalam berbagai bidang dan upaya lebih lanjut ke arah pencabutan embargo senjata. Presiden SBY mengatakan bahwasannya pertemuan dia dengan Presiden Bush membahas pemulihan hubungan militer antara kedua negara, 13 tahun setelah hubungan itu dibekukan setelah pelanggaran HAM oleh TNI. Bush mengatakan ada upaya dikedua belah pemimpin untuk menghidupkan kembali latihan militer bersama(VOA Indonesia, 26 Mei 2005). Pembicaraan antar kedua belah pihak pemimpin negara masing-masing, semakin menguatkan upaya tercapainya hasil positif yaitu dengan dicabutnya embargo senjata AS. Walaupun nantinya keputusan apakah akan dicabut atau tidaknya berada di tangan Kongres AS.
Normalisasi sebenarnya sudah terlihat ketika ditandatanganinya UU Aprosiasi AS H.R 3507 oleh Presiden George Bush pada 14 November 2005(Gatra, 19 November 2005). Setelah terjadi proses yang panjang akhirnya pada pertemuan Presiden SBY dan Presiden AS George W Bush 19 November 2005 di Busan, Korea Selatan, Pemerintah AS dan kongres setuju untuk menormalisasi hubungan militer dengan Indonesia yang terganggu sejak terjadinya kekerasan di Timor Timur 1999(Kompas, 25 November 2005:6). Normalisasi dalam hal ini termasuk pencabutan embargo merupakan puncak perjuangan diplomasi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Alusista AS yang sempat terbengkalai akhirnya bisa dihidupkan kembali karena adanya suplai kembali dari pabrikan senjatan AS.
Ada pelajaran berharga yang mampu dipetik dari embargo senjata tersebut yang mana nantinya akan mempengaruhi kebijakan pemerintahan Indonesia kedepannya. Bergantung kepada satu negara dalam hal pengadaan senjata bukanlah langkah yang tepat. Ketika negara Indonesia diembargo secara militer, tentunya hal ini menurunkan daya pertahanan nasional. Oleh Sebab itu, Pemerintah Indonesia kedepannya hingga saat ini membeli alusista pertahanan nasional tidak melulu dari Amerika Serikat, namun dari negara-negara lainnya juga ada. Embargo yang terjadi selama beberapa tahun membuat belakangan ini membuat Indonesia memikirkan pentingnya kemandirian produksi alusista TNI. Hal ini ditandai dengan bergeraknya cepatnya industri pertahanan nasional yang di gerakan oleh perusahaan BUMN yaitu PT.Pindad, PT.Dirgantara Indonesia, dan PT.PAL. TNI dari tahun ketahun mulai mengalami kemandirian dalam pengadaan alusistanya.
Sumber Refrensi:
(Arsip Online Media Nasional)
Ø Gatra, 20 Maret 2001. “Indonesia Lobi Kongres AS Agar Embargo Senjata Dicabut”.
Ø Gatra, 14 Maret 2005 No.18. Wawancara: “Terserah Tuan-tuan di Amerika”.
Ø Gatra, 19 November 2005. “AS Siap Cabut Embargo Senjata Terhadap RI”.
Ø Kompas, 22 April 2003. “Indonesia-Rusia Sepakatai Kerja Sama Militer”, hal 1.
Ø Kompas, 25 November 2005. “Tajuk Rencana: PR Setelah Embargo AS Dicabut”, hal 6.
(Buku)
Ø Dault, Adyaksa. 2012. Menghadang Negara Gagal Sebuah Ijtihad Politik. Jakarta: renebook.
(Berita Online)
Ø VOA Indonesia, “Presiden SBY dan Presiden Bush Bicarakan Hubungan Militer dan Bantuan Tsunami”, diakses pada 29 Mei 2018 https://www.voaindonesia.com/a/a-32-2005-05-26-voa1-85072437/6388.html
0 comments:
Post a Comment