Ia seorang pangeran pemberani. Memimpin perang dalam usia muda. Saat usianya 19 tahun ia telah diangkat menjadi senopati perang bergelar Pangeran Prangwedana. ia lalu dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena menyebar maut bagi musuh. Kehebatannya dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya, tapi juga disegani lawannya. Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff, menyanjungnya, “Pangeran yang satu ini sudah sejak muda terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman”. Ia membangun pasukan yang solid dengan motto, tiji tibeh [mati siji, mati kabeh, mukti siji, mukti kabeh]. Ia menjaga kebersamaan dengan semboyan itu, jika gugur satu, gugur semua dan jika sejahtera satu, sejahtera semua.
Pangeran dari Mataram ini bernama asli Raden Mas Said. Ia putra Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dengan R.A Wulan. Ketika Said masih berusia dua tahun, ayahnya ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV [Paku Buwono I] yang dilindungi VOC dan dibuang ke Sri Langka. Saat itu, kekuasaan Mataram memang telah berada dalam kendali VOC. Mungkin karena itulah, Said membenci mati-matian kepada VOC.
Perlawanannya dimulai saat terjadi pemberontakan laskar Tionghoa di ibu kota Mataram, Kartasura, pada 30 Juni 1742 dipimpin Raden Mas Garendi [Sunan Kuning]. Saat itu Said baru berumur 19 tahun dan segera bergabung dengan pemberontak untuk menuntut keadilan rakyat [baik pribumi maupun Tionghoa] yang ditindas Kumpeni Belanda [VOC]. Said membangun pertahanan di Randulawang, utara Surakarta dan diangkat sebagai panglima perang.
Gerakan perlawanan ini semakin besar saat Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Said yang bergerilya melawan VOC di pedalaman Yogyakarta. Saat usianya 22 tahun ia lalu bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Mereka terus berjuang melawan VOC yang telah menguasai Mataram. Tapi kebersamaan kedua pangeran itu terhenti saat Mangkubumi memisahkan diri. Jadilah Said berperang sendirian melawan Mataram dan VOC.
Said telah berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan VOC. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan VOC. Kemudian bersama dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda pada 1743-1752. Tiga tahun berselang, Said menentang perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Pada 1756, ia bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol di hutan Sitakepyak Rembang. Besarnya pasukan musuh tercatat “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Meski pasukan Said jauh lebih kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Said hanya kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Bahkan Said berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya. Selanjutnya pasukannya menyerbu benteng Vredeburg dan menyerang Keraton Yogyakarta. Penguasa Yogyakarta di bawah kendali VOC gagal menangkap Said. VOC yang tidak berhasil membujuk Said ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuhnya.
Tidak seorang pun yang berhasil menjamah Said. Akan tetapi, kemudian sunan Paku Buwono III berhasil mengajaknya berunding. Said bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Said menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sejak itu genjatan senjata tercapai melalui perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Said kemudian diangkat sebagai Adipati Miji [penguasa mandiri]. Ia lalu bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I. ia memerintah praja Mangkunegara yang meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang utara hingga Kedu. Akhirnya VOC juga harus mengakui kekuasaan Mangkunegara I dan harus menjunjungnya sebagai raja ketiga di Jawa Tengah, setelah Sunan di Surakarta dan Sultan di Yogyakarta. Atas kepemimpinannya dalam mengobarkan perlawanan melawan VOC selama 16 tahun, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I ditahun 1988.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional
0 comments:
Post a Comment