Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, lahir di Magetan pada 9 Juli 1898. Setelah menyelesaikan studi dari Hollandsch-Inlandsche School atau HIS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan sekolah ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, yang tak lain adalah sekolah pendidikan bagi calon pegawai-pegawai bumiputra. Setelah tamat pada 1918, ia bekerja sebagai pamong praja di Ngawi. Dua tahun kemudian dipindahkan ke Madiun sebagai Mantri Veldpolitie. Pada tahun 1922 Ario Suryo mendapat kesempatan menempuh pendidikan polisi di Sukabumi. Setelah menjalani masa kerja sebagai asisten wedana di beberapa tempat, ia kembali mendapat kesempatan belajar, kali ini di Bestuurs School di Batavia.
Pengalaman pendidikan Aryo Suryo menunjang karier dalam pemerintahan selama tiga periode. Ia diangkat sebagai wedana dan berpindah-pindah berdasarkan satu loka ke loka lain. Kemudian menjadi Bupati Magetan pada tahun 1938 sampai berakhirnya masa pemerintahan Belanda. Di era pendudukan Jepang, ia dipercaya memegang jabatan Syucokan (Residen) Bojonegoro. Paska Kemerdekaan Republik Indonesia, Aryo Suryo didapuk menjadi Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Surabaya.
Sebagai Gubernur Jawa Timur, Aryo Suryo menghadapi situasi kritis paska pendaratan pasukan Inggris pada Surabaya pada tanggal 23 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Inggris buat melucuti tentara Jepang. Akan namun, bersamaan pasukan Inggris masih ada Netherland Indies Civil Administration (NICA) bentukan Belanda yang berupaya menguasai balik daerah Indonesia. Hal tersebut menyebabkan friksi hebat pada tanggal 28-30 Oktober 1945 dan Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Inggris sangat murka . Tanggal 9 Nopember 1945 mereka mengeluarkan ultimatum agar seluruh orang Indonesia bersenjata barah harus menyerahkannya pada Inggris selambat-lambatnya pukul 18.00 lepas 9 Nopember 1945. Jika ultimatum itu tidak dipenuhi, Surabaya akan digempur menurut darat, laut, & udara.
Aryo Suryo sebagai perwakilan pemerintah RI di Jawa timur diberi kebebasan untuk melakukan kebijakan apa pun oleh pemerintah sentra pada Jakarta. Setelah berunding dengan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pukul 23.00 malam lepas 9 Nopember 1945, ia berpidato pada depan corong radio menolak ultimatum Inggris. Keesokan harinya, meletus pertempuran dahsyat antara arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Peristiwa tadi dikenal dengan Pertempuran Surabaya, & lepas terjadinya bentrok diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Selepas Pertempuran Surabaya, tahun 1947, Aryo Suryo diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Takdir merenggut nyawanya tatkala mengadakan perjalanan dinas di desa Bago, Kedunggalar (Ngawi) pada 10 September 1948. Ia dicegat & dibunuh sang grup Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun tadi kondisi pada negeri sedang terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan PKI berbasis pada Madiun yang dikomando Muso dan Amir Syarifuddin. Jenazahn Aryo Suryo ditemukan empat hari lalu, dan dimakamkan di Magetan.
0 comments:
Post a Comment