Setelah menganeksasi Manchuria dalam tahun 1931 & ikut dalam beberapa permasalahan perbatasan melawan China serta Uni Soviet, Kekaisaran Jepang secara formal berperang melawan Republik China semenjak 1937. Semenjak itu, walaupun Republik China & Tentara Revolusioner Nasional-nya bertempur menggunakan gigih, baik Shanghai, Nanjing, dan Wuhan, kota-kota yang penting bagi pemerintah Kuomintang/Guomindang jatuh ke tangan Jepang. Kemenangan-kemenangan Jepang ini memaksa Chiang Kai-shek untuk memindahkan ibukota China secara sementara ke Chungking, yang akan dibombardir tanpa henti sampai 1945.
Meski Rikugun, atau Tentara Kekaisaran Jepang, telah merebut Wuhan, kota terbesar di pedalaman China, Chiang & pemerintahannya menolak buat menyerah. Ditambah menggunakan kekalahan Jepang melawan Tentara Merah Uni Soviet pada Nomonhan, tertandatanganinya Pakta Non-Agresi Jerman-Uni Soviet, & serbuan sukses Wehrmacht terhadap Polandia, sebuah agresi akbar terhadap China dipercaya perlu buat memulihkan semangat. Provinsi Hunan dan ibukota provinsialnya, Changsha, pun dipilih sebagai target serangan tersebut, sebab Hunan & Changsha merupakan wilayah yang vital bagi pergerakan dan sumber daya pasukan-pasukan Kuomintang.
Pertempuran bagi Changsha akhirnya dimulai dalam pertengahan September 1939, hanya dua minggu sehabis mulainya perang di Eropa dengan pencaplokan Jerman terhadap Polandia. Daerah di lebih kurang utara dan timur Changsha menyaksikan serbuan 100 ribu prajurit Dai-Nippon Teitoku Rikugun yg dibagi sebagai 6 divisi, semuanya di bawah pimpinan Jenderal Yasuji Okamura menggunakan dukungan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Tentara Revolusioner Nasional pada Wilayah Perang No-9 mengumpulkan sejumlah 200 ribu sampai 400 ribu Tentara Revolusioner Nasional Kuomintang yg dipimpin Jendral Xue Yue buat menunda dan memukul mundur tikaman pasukan pendudukan Jepang ke arah Changsha.
Okamura membagi pasukannya sebagai tiga, satu dengan empat divisi atau lebih kurang 60-70 ribu prajurit buat menyerang berdasarkan utara, & masing-masing satu divisi buat menyerang berdasarkan arah timur-bahari dan timur Changsha.
Sementara itu, rencana Yue buat menangani ofensif ini merupakan menggunakan membagi pasukannya, menggunakan sebagian akbar menghadapi gempuran 4 divisi Jepang yang akan datang berdasarkan utara dan sisanya buat melawan serangan berdasarkan timur & timur-laut.
Pada awalnya, pasukan Jepang memang relatif sukses dalam agresi mereka dan hingga di pinggiran kota Changsha pada akhir September. Akan namun, strategi Xue Yue yang membiarkan pasukan Kuomintangnya untuk mundur secara perlahan kemudian memerangkap & menyerang kembali pasukan Jepang berakibat jelek bagi pasukan Jenderal Okamura. Meski sampai ke pinggiran Changsha, jumlah korban pasukan Rikugun sudah mencapai 40 ribu prajurit dan agresi balasan Yue mematahkan semangat tentara Showa-Tenno & akhirnya Okamura memberi perintah buat mundur.
Pertengahan Oktober 1939 dan sebagian besar berdasarkan wilayah yang direbut Jepang sejak sebulan sebelumnya telah pulang lagi ke tangan Guomindang. Selama lima tahun ke depan, Changsha akan menjadi batu sandungan bagi sebuah serbuan Jepang ke pedalaman China tengah. Dua kali lagi Jepang akan ditendang keluar dari Changsha. Meski kota tadi akan direbut dalam 1944, harga yg dibayar Jepang dengan korban-korban yang ditanggungnya amat tinggi.
Asal: OA 20th Century History Line
0 comments:
Post a Comment