Mulanya, di Minangkabau, Sumatra Barat terjadi selisih paham antara kaum adat & kaum padri atau ulama. Kerenggangan tadi ada lantaran golongan padri menentang pelbagai aktivitas yg kerap dilakukan kaum adat. Kegiatan tadi dianggap tidak sinkron menggunakan nilai kepercayaan , seperti sabung ayam, madat, minuman keras, dan lain-lain. Kon? Ik mengembang sampai dua golongan saudara tersebut saling serang pada 1815. Kaum tata cara terdesak & memilih lari. Enam tahun kaum tata cara terusir berdasarkan tanah asalnya, guna merebut kembali mereka kemudian meminta donasi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada April 1821 golongan istiadat plus pasukan Belanda versus kaum padri kembali bentrok.
Dalam fase ini ada nama Tuanku Imam Bonjol yang merupakan pimpinan tinggi dalam Perang Padri periode 1821- 1837. Gelar Tuanku adalah sebuah jabatan yang diberikan pada guru-guru atau pemangku agama pada Sumatra Barat. Nama orisinil Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. Dia adalah pemimpin yang paling terkenal pada gerakan padri, Tuanku Imam Bonjol menentang pendudukan Belanda di Sumatra Barat & sekitarnya.
Lantaran sama-sama bertenaga, Belanda, kaum tata cara dan padri setuju melakukan gencatan senjata yang ditandai dengan maklumat ?Perjanjian Masang? Pada tahun 1824. Paska perjanjian ini orang padri dan tata cara balik , namun Belanda malah melanggar perjanjian dengan menyerang Negeri Pandai Sikat. Sejak 1833 perang berubah sebagai perang antara kaum Adat & kaum Paderi yg di pimpin Tuanku Imam Bonjol & daerah sentra pada Bonjol melawan Pemerintah Hindia Belanda.
Perang berkecamuk, pada bulan September 1832 Bonjol diduduki Belanda, namun tiga bulan kemudian direbut pulang sang orang-orang Paderi. Lagi-lagi pasukan Belanda menyerang Bonjol dari 3 jurusan, namun gagal. Pertempuran pasukan Imam Bonjol menggunakan Belanda berlangsung sengit sampai-hingga pihak Belanda menciptakan blockade dari deretan pasukan. Berikut laporan G. Teitler yg berjudul Akhir Perang Padri: Pengepungan & Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi sebagian besar pasukan terdiri atas pelbagai bagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz , dan seterusnya. Adapun nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai agresi terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada pada bagian depan menyerang pertahanan Padri.
Begitu kuatnya pertahanan Imam Bonjol hingga Belanda wajib mengerahkan banyak bala pasukan. Pada 1834 daerah Bonjol dikepung & diisolasi berdasarkan pelbagai arah. Kedudukan Imam Bonjol bertambah sulit, tetapi beliau masih sanggup bertahan hingga sekira tiga tahun. Tanggal 16 Agustus 1837, Imam Bonjol diundang ke Palupuh buat berunding. Tiba di loka tadi, dia pribadi ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipindahkan ke Ambon & akhirnya ke Lotan dekat Manado. Di tempat terakhir itu, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia tepatnya tanggal 8 November 1864 dan dimakamkan pada sana. Di Jakarta, namanya diabadikan pada poros utama Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro menggunakan Bundaran HI.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
0 comments:
Post a Comment