Kekuasaan VOC yang lalim di Maluku telah membuat rakyat pribumi marah. Sementara residen van den Berg yang kejam membuat rakyat menuntut balas. Benteng Duurstede menjadi saksi betapa gigihnya perjuangan rakyat melawan Kompeni. Satu pagi, 14 Mei 1817, para pemuda dan pemimpin perjuangan berkumpul di Saparua. Terompet kerang dibunyikan tiga kali lalu mereka berembug. Waktu telah tiba untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Subuh 16 Mei 1817, semua pejuang telah berkumpul kembali dan mengangkat Matulessi sebagai pemimpin perjuangan. Mereka bergerak menyerbu benteng, bertempur melawan tentara VOC dan menangkap residen van den Berg. Dalam satu kesempatan, Matulessi segera menyeret residen ke sebuah tiang, menyiapkan 12 prajurit bersenjata api, lalu mengangkat pedang memberi aba-aba dan hari itu juga sang residen dieksekusi mati. Benteng Duurstede akhirnya dikuasai pejuang Saparua dibawah Tomas Matulessi.
Matulessi adalah turunan bangsawan menurut Nusa Ina. Ayahnya bernama Antoni Mattulessy keturunan Kasimiliali Pattimura Mattulessy, seorang pangeran dari raja Sahulau yang berkuasa atas sebuah negeri pada Seram Selatan. Versi lain bertutur bahwa beliau bernama orisinil Ahmad Lussy, atau sering dipanggil Mat Lussy dalam bahasa orang-orang Maluku. Dia bangsawan menurut kerajaan Islam Sahulau, yang waktu itu diperintah Sultan Abdurrahman. Sultan ini dikenal dengan sebutan Kasimillah, kemudian orang-orang Maluku menyebutnya Kasimiliali.
Matulessi mengalami masa pergantian pemerintahan dari tangan VOC [Belanda] ke tangan [EIC] Inggris pada 1798, tepat saat kongsi dagang Belanda itu mengalami kebangkrutan. Pada masa pemerintahan Inggris, dia masuk dinas militer & memperoleh pangkat sersan. Tahun 1816, Belanda pulang berkuasa pada Maluku. Penduduk Maluku balik mengalami penderitaan. Mereka dipaksa bekerja rodi, wajib membayar pajak tanah [landrente]dan menyerahkan output rempah-rempah kepada Pemerintah Belanda. Rakyat Saparua mengalami tekanan & penderitaan bertubi-tubi hingga akhirnya melakukan perlawanan.
Puncak perlawanan adalah perebutan benteng Duurstede, sebuah benteng warisan Portugis, yang dijadikan pusat politik Belanda di Saparua. Dalam penyerbuan itu, Matulessi diangkat menjadi panglima perang, pemimpin perjuangan dan menggunakan nama Pattimura. Orang-orang Belanda segera menjuluki sang panglima ini dengan sebutan Kapitan. Namanya lalu terkenal sebagai Kapitan Pattimura.
Atuhnya benteng Duurstede pada tangan masyarakat Saparua mengakibatkan kedudukan VOC di Ambon & Batavia goncang. Mereka segera mengirim pasukan yang besar buat merebut benteng balik . Ekspedisi segera dikirim pada bawah pimpinan mayor Beetjes menggunakan serdadu sebanyak 350 orang. Pada bulan Juni 1817, mereka sudah berada di Saparua dan segera merebut benteng. Akan tetapi, ekspedisi ini dapat menggunakan mudah dihancurkan pasukan Pattimura. Jadilah Pattimura & rakyat Saparua menguasai benteng selama berbulan-bulan tanpa terkalahkan.
Akhirnya Belanda mengirimkan pasukan yg lebih besar menggunakan persenjataan yg lebih lengkap. Pada November 1817, Gubernur van Middelkoop mengirimkan armada yg berjumlah 1500 orang dipimpin pribadi Komisari Jendral A. A Buyskers. Strategi yg dilakukan sang Buyskers adalah menguasai pulau-pulau pada lebih kurang Saparua, dan selanjutnya menguasai daerah kekuasaan Pattimura. Strategi tersebut ternyata cukup berhasil, Pattimura bersama pasukannya terdesak dan harus mengundurkan diri keluar benteng. Akhirnya serdadu Belanda berhasil menguasai kembali benteng Duurstede.
Sesudah itu, Belanda melancarkan operasi besar-besaran untuk memadamkan perlawanan Pattimura. Karena kekuatan yang tidak seimbang, lama kelamaan perlawanan menjadi berkurang. Pattimura akhirnya tertanggap di wilayah Siri Sori. Ia segera dibawa ke Ambon. Belanda membujuknya untuk bekerja sama, tetapi bujukan itu ditolak. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung kepada Pattimura. Sehari sebelum hukuman itu dijalankan, Belanda masih membujuk, tetapi ia tetap menolak. Pada hari Selasa 16 Desember 1817 hukuman gantung dilaksanakan di depan benteng Victoria Ambon. Jenazah Pattimura dimasukkan dalam kurungan besi lalu dibawa ke pojok timur kota Ambon. Maksud Belanda adalah agar rakyat melihat Pattimura dan takut untuk melawan Belanda. Akan tetapi, faktanya, kematian Pattimura tetap tidak menyurutkan perang perlawanan melawan Belanda di Saparua Maluku. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan Belanda di wilayah Maluku, Pattimura mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia pada 1973.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
0 comments:
Post a Comment