Ia seorang perwira yg baik. Pada 1 Oktober 1965, masih dengan seragam tentara, dia baru kembali dari Pekalongan untuk urusan dinas. Ia sempat mampir ke Semarang terlebih dahulu dan merasakan suasana yg aneh. Ia belum mengetahui aksi klandestin Gerakan 30 September pada bunda kota. Ia hanya tahu bahwa dibulan-bulan September situasi memang sedang panas, pada mak kota ada desas-desus adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Sebuah berita yg tidak kentara & dia hanya perwira pada daerah yg tidak tahu dengan urusan perwira tinggi Ibu kota. Ia segera pulang ke Yogyakarta, menuju ke tempat tinggal Katamso, kemudian ke markas Korem. Itulah ketika terakhirnya. Ia kemudian diculik dan terbunuh.
Sugiono Mangunwiyoto putra wilayah Gunung Kidul, wilayah yang dianggap tandus dan kemarau pada tenggara Yogyakarta. Ia anak kesebelas dari 14 bersaudara. Ayahnya, Kasan Sumitrorejo seseorang petani sekaligus Kepala Desa Gedaran. Awalnya dia bercita-cita sebagai guru hingga selepas sekolah dasar, beliau masuk sekolah guru di Wonosari. Selepas lulus dia malah nir sekalipun mengajar. Kedatangan Jepang ke Hindia Belanda dalam 1942, membarui hasrat Sugiono. Ia tertarik buat terjun pada global militer.
Sugiono segera masuk pendidikan PETA [Pembela Tanah Air]. Ia lulus dan diangkat menjadi Budanco [Komandan Peleton] di tanah asalnya, Wonosari. Saat kemerdekaan tercapai, lalu terbentuk BKR [Badan Keamanan Rakyat], Sugiono ikut bergabung. Awalnya beliau bertugas menjadi Komandan Seksi dengan pangkat letnan 2, lalu dalam 1947 diangkat sebagai ajudan Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Soeharto. Di masa krisis Agresi Militer II pada Yogyakarta, Sugiono turut serta dalam aksi agresi umum yang dilancarkan pada 1 Maret 1949. Serbuan selama 6 jam yg mengubah sejarah dan pandangan kalangan barat terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Semenjak itu kariernya menanjak. Ia berganti-ganti daerah dinas. Pertama, ia masih di Yogyakarta menjadi Perwira Operasi Brigade C, lalu menjadi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo, diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang dengan pangkat kapten, lalu meningkat menjadi komandan Batalyon 441/Banteng Raiders III dengan pangkat Mayor. Selepas itu, ia menjadi Komandan Komando Distrik Militer [Kodim] 0718 di Pati dan terakhir menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer [Korem] 072 Komando Daerah Militer [Kodam] VII Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel.
Ia menduduki pos barunya itu pada bulan Juni 1965. Beberapa bulan setelah mengemban tugas itu, situasi negara dalam keadaan krisis. Di pusat pemerintahan terjadi permasalahan antara ABRI pada bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI yg lalu merambat hingga ke wilayah. Bahkan pada dalam internal Angkatan Darat sendiri muncul masalah internal, antara perwira belia menggunakan perwira senior yang terdapat pada Jakarta. Dalam situasi misalnya ini, Sugiono masih terlibat aktif pada membina Resimen Mahasiswa dengan menaruh latihan-latihan militer. Resimen ini terdiri atas organisasi GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia] & PMKRI [Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia].
Saat meletus peristiwa 1 Oktober 1965, Dewan Revolusi segera dibentuk. Di daerah-daerah juga muncul Dewan Revolusi yang ratarata dijalankan oleh beberapa perwira Angkatan Darat. Di Yogyakarta, pembentukan dewan ini disiarkan melalui RRI dan diketuai Mayor Muyono, Kepala Seksi Teritorial Korem 072/Yogyakarta. Saat itu, Sugiono belum mengetahuinya Karena masih dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta. Akan tetapi, sesampainya di markas Korem, ia segera ditangkap oleh pasukan Dewan Revolusi. Ia dibawa menuju Kentungan Condongcatur, utara Yogyakarta. Dini hari, pukul 02.00, pada 2 Oktober 1965, Sugiono dipukul hingga tewas. Jenazahnya kemudian dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Lokasi lubang ini baru ditemukan pemerintah tanggal 21 Oktober 1965. Esoknya, 22 Oktober 1965, jenazah perwira ini kemudian dibawa ke selatan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Pemerintah segera menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Kolonel dan mengangkatnya menjadi Pahlawan Revolusi.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional
Pengarang: Kuncoro Hadi
0 comments:
Post a Comment