Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Awal berdirinya Kerajaan Pasai, yang juga dikenal sebagai Samudera Darussalam atau Samudera Pasai, belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, dalam sebuah catatan Rihlah ila I-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) dari Ibnu Batutah dapat ditarik kesimpulan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibandingkan dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu dinasti terbesar di dunia. Jika dinasti Turki Usmani mulai menancapkan kekuasaanya pada tahun 1385 M, maka Kerajaan Samudera Pasai lebih dahulu menebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara kira-kira pada tahun 1297.Catatan Ibnu Batutah tersebut bertuliskan “Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” ketika menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada 1345 M. pendapat bahwa kerajaan Samudra Pasai lebih tua dari dinasti Usmani di Turki dikuatkan dengan catatan dari Marco Polo, seorang penjelajah asal Venezia (Italia), yang telah mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M. Marco Polo bertandang ke Samudera Pasai saat menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari Cina ke Persia. Bersama dua ribu orang pengikutnya, Marco Polo singgah dan menetap selama lima bulan di bumi Serambi Makkah itu. Dan perjalanan dari Marco Polo tersebut dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul Travel of Marco Polo.
Sejumlah ahli sejarah Eropa pada masa pendudukan Kolonial Hindia Belanda seperti Snouck Hurgronje, J.P Moquette, J.L. Moens, dan J. Hulshof Poll yg sudah beberapa kali memeriksa dari-usul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai menyebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai muncul lebih kurang pertengahan abad ke-13 M menggunakan Sultan Malik al-Saleh (kadang ditulis Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh) sebagi raja pertamanya.
Nama Samudera Pasai sendiri sebenarnya adalah “Samudera Aca Pasai” yang berarti “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai.” Meski pusat pemerintahan kerajaan itu sekarang tidak diketahui secara pasti, tetapi para ahli sejarah memperkirakan lokasinya berada di sekitar Blang Melayu. Konon, nama “Samudera” yang dipakai sebagai nama kerajaan itulah yang kini menjadi nama pulau Sumatera karena adanya pengaruh dialek oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama pulau tersebut adalah Perca. Berbeda dengan orang Portugis, seperti yang bisa dilihat dalam tulisan-tulisan I’tsing, para pengelana Tiongkok menyebut Sumatera dengan “ChinCou” atau pulau emas. Sementara Raja Kertanegara dari Singosari yang terkenal itu menyebut pulau ini dengan sebutan “Suvarnabhumi” atau “Swarnabumi” yang artinya pulau emas.
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih terletak di kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Beberapa kitab atau catatan yang digunakan untuk melacak sejarah Kerajaan Samudera Pasai antara lain adalah Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Meski nuansa mitos yang masih kental di dalamnya tak jarang menjadi kendala ketika karya ini hendak ditafsirkan, Hikayat Raja Pasai tercatat sudah memberikan andil yang cukup besar dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai.Sementara terkait penamaan Samudera Pasai, J.L. Moens menyatakan bahwa kata “Pasai” berasal dari kata “Parsi.” Menurut Moens, pada abad ke-7 banyak pedagang yang berasal dari Parsi atau Persia yang mengucapkan kata Pasai dengan kata Pa’Se. Pendapat J.L Moens ini mendapatkan dukungan dari beberapa peneliti sejarah lainnya, seperti oleh Prof. Gabriel Ferrand melalui bukunya yang berjudul L’Empire Sumatranais de Crivijaya dan oleh Prof. Paul Wheatley dengan buku the Golden Khersonese. Baik Gabriel maupun Paul menyandarkan datadatanya pada keterangan dari para pengelana Timur Tengah yang melakukan perjalanan ke Asia Tenggara. Mereka berdua juga meyakini bahwa pada abad ke-7, pelabuhan atau bandar-bandar besar di Asia Tenggara dan di kawasan Selat Malaka telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Asia Barat. Data tersebut diperkuat oleh fakta bahwa di setiap kota dagang tersebut sudah ada permukiman-permukiman pedagang Islam yang singgah dan menetap di sana.
Di tempat lain, H. Mohammed Said, seorang penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku perihal Aceh, termasuk meneliti kerajaan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, menyatakan bahwa kata “Pasai” dalam Samudera Pasai berasal dari para pedagang Cina. Menurutnya, kata “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 M identik dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai”. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa “Pasai” berasal dari kata “Tapasai” yang berarti “tepi laut.” Kata “Tapa” sendiri masih banyak ditemui dalam bahasa Polinesia yang berarti “tepi”, sedangkan kata “Sai” berarti “pantai”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” memiliki arti yang hampir sama yaitu “negara yang terletak di tepi laut.”
Seorang pencatat berasal Portugis, Tome Pires, yang pernah menetap di Malaka pada kurun ketika 1512-1515, menjelaskan bahwa Pasai merupakan kota terpenting untuk semua Sumatera pada zamannya. Menurut Pires, penduduk Pasai ketika itu kurang lebih berjumlah 20.000 orang. Sementara itu, Marco Polo dalam lawatannya berdasarkan Tiongkok ke Persia dalam tahun 1267 M yang kemudian singgah ke Pasai dalam tahun 1292 M menuliskan bahwa saat itu telah terdapat kerajaan Islam di Nusantara yang tidak lain merupakan Samudera Pasai.
Kala itu Marco Polo ikut dalam rombongan Italia yang mendapatkan undangan dari Kubilai Khan, raja Mongol yang menguasai daerah Tiongkok. Menurut Marco Polo, penduduk Pasai waktu itu belum banyak yang memeluk Islam, namun komunitas orang-orang Arab atau Saraceen sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut daerah tersebut sebagai Giava Minor atau Java Minor (Jawa Kecil).
Sementara itu, dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang diselengarakan di Medan, Sumatera Utara pada 17-20 Maret 1963, maupun dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh” yang diselenggarakan pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang dihadiri di antaranya adalah Prof. Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer, telah menemukan perbedaan pada cara pandang sejarah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Berdasarkan petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari para musair Arab dan Tiongkok yang pernah ke Asia Tenggara dan ditambah dengan dua catatan lokal, yaitu Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karya Abu Ishak Al-Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh karya Yunus Djamil, para pakar sejarah nasional itu menyimpulkan bahwa Kesultanan Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11 (tahun 433 H/1042 M), dengan pendiri dan sultan pertamanya adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H/1042-1078 M.
Menurut G.P. Roufaer, sejarawan Belanda yang serius mendalami sejarah Kerajaan Samudera Pasai, menyimpulkan bahwa letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai sementara Samudera berada pada sebelah kiri sungai. Kemudian lambat laun ke 2 loka tersebut sebagai satu menjadi Samudera Pasai. Jelasnya, Kerajaan Samudera Pasai merupakan daerah genre sungai yg hulunya berada jauh pada pedalaman daratan tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah.
Ada banyak teori yang berkembang tentang perkiraan asalusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Salah satu pendapat menyatakan bahwa Kerajaan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan pra-Islam yang sudah ada sebelumnya. Hal ini seperti tang tertuang dalam buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara karya Slamet Muljana yang menyatakan bahwa Nazimuddin Al-Kamil, Laksamana laut dari Dinasti Fatimiyah di Mesir berhasil menaklukkan kerajaan HinduBuddha yang berada di Aceh dan menguasai salah satu daerah subur yang ada di sana yaitu Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan kerajaan kecil di Pasai pada tahun 1128 M dengan nama Samudera Pasai.
Alasan Dinasti Fatimiyah melakukan penaklukan terhadap Pasai sendiri adalah karena memang ingin menguasai bandar dagang yang waktu itu sangat ramai di Selat Malaka. Bukan hanya itu, Dinasti Fatimiyah pula sudah mengerahkan armada perangnya buat merebut kota Kambayat pada Gujarat Arab & menyerang pembuat lada, yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi tersebut, Nazimuddin Al-Kamil gugur & lalu dalam tahun 1168 Dinasti Fatimiyah Mesir dikalahkan sang tentara dari Dinasti Salahuddin yg menganut mazhab Syai?I. Dengan runtuhnya Dinasti Fatimiyah tadi, maka secara otomatis interaksi antara Samudera Pasai dan Mesir terputus. Kafrawi Al-Kamil kemudian melanjutkan kepemimpinan Nazimuddin Al-Kamil yg telah gugur. Tetapi tahun 1204 M, kekuasaan Samudera Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani berdasarkan pulau We. Di bawah kekuasaan Laksamana Johan Jani, kekuasaan Samudera Pasai sebagai kekuatan maritim yang bertenaga pada Nusantara dalam masa itu.
Di Mesir sendiri sesudah dikuasai sang Dinasti Salahuddin, muncul Dinasti Mamaluk yang menggantikan Dinasti Fatimiyah. Sama dengan pendahulunya, Dinasti Mamaluk jua berniat menguasai perdagangan di Pasai. Niat tadi pun dilancarkan menggunakan mengirim pendakwah yg sudah menimba ilmu pada Makkah, yaitu Syaikh Ismail & Fakir Muhammad yang sebelumnya telah berdakwah di Pantai Barat India. Di Pasai, ke 2 utusan tersebut bertemu dengan Marah Silu (Meurah Silu) yg ketika itu sebagai salah satu anggota angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail & Fakir Muhammad lalu berhasil membujuk Marah Silu buat memeluk Islam & menciptakan kerajaan tandingan untuk kerajaan Pasai yg akan dibantu sang Dinasti Mamaluk pada Mesir & berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh. Akhirnya Marah Silu dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Samudera yang berada di kiri berdasarkan Sungai Pasai menggunakan letak menghadap ke arah Selat Malaka. Tetapi demikian, ternyata kedua kerajaan tersebut justru bersatu sebagai Kerajaan Samudera Pasai.
Keislaman Marah Silu juga disinggungkan dalam catatan Hikayat Raja Pasai dengan memberikan penjelasan bahwa Nabi Muhammad Saw. telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan menyuruh agar daerah tersebut diislamkan oleh sahabat Nabi. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan Islam telah masuk ke Nusantara tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat yakni (abad pertama Hijriah atau abad ke 7-8 M) atau bahkan muncul kemungkinan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah.
Marah Silu merupakan keturunan menurut suku Imam Empat atau yang lebih dikenal sebagai Sukee Imuem Peuet, yaitu sebuah suku berdasarkan Champa yang merupakan pendiri kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum berkembangnya agama Islam. Di antara empat kerajaan Hindu-Buddha yang didirikan sang Sukee Imuem Peuet adalah Peureluak (Perlak) yg terletak pada Aceh Timur, Jeumpha (Champa) pada Bireun, Kerajaan Sama Indra pada Pidie, dan Indra Purba pada Aceh Besar/Banda Aceh.
Ultan Malik al-Saleh kemudian menikah dengan putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi menurut kerajaan Perlak. Dari pernikahan ini Sultan Malik al-Saleh dikaruniai dua orang putra yaitu Muhammad & Abdullah. Kelak, Muhammad dianggap buat memimpin kerajaan Pasai menggunakan gelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik al-Tahir), berdampingan menggunakan ayahnya yg masih memimpin kerajaan Samudera. Sementara Abdullah lebih menentukan keluar menurut keluarga akbar kerajaan Samudera Pasai & mendirikan kerajaan sendiri yaitu Kerajaan Aru Barumun yg kurang lebih berdiri dalam tahun 1295 M.
Menurut catatan Ibnu Battutah, kerajaan Samudera mengalami perkembangan pesat, bahkan bisa dikatakan berada dalam masa kejayaan di bawah kepemimpinan Muhammad Malikul Zahir. Hal ini ditandai dengan aktivitas perdagangan yang sudah maju, ramai, dan sudah menggunakan koin emas sebagai alat pembayaran. Ditambah lagi, posisi Kerajaan Pasai yang berada di aliran lembah sungai juga membuat tanah pertanian menjadi subur sehingga padi yang ditanam oleh penduduk Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 14 bisa dipanen dua kali setahun.
Masih dalam catatan Ibnu Battutah, dijelaskan bahwa Muhammad Malikul Zahir adalah raja yang sangat tertarik menggunakan ilmu pengetahuan, bahkan Muhammad Malikul Zahir sempat mendirikan sentra studi Islam pada lingkungan kerajaan yg dijadikan loka diskusi para ulama dan elit kerajaan. Maka tidak berlebihan apabila kemudan Ibnu Battutah memasukkan nama Muhammad Malikul Zahir menjadi keliru satu berdasarkan tujuh raja di global yg memiliki kemampuan luar biasa menggunakan kepribadian yg sangat rendah hati.
Sultan Muhammad Malikul Zahir dikaruniai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat karena sakit, kerajaan dipegang oleh ayahnya, Sultan Malik Al Salih, yg jua memimpin kerajaan Samudera. Lantaran masih terlalu muda, maka kedua putra Muhammad Malikul Zahir dititipkan sang Sultan Malik al-Salih pada pakar kenegaraan dan keagamaan, Malikul Mahmud dititpkan pada Sayid Ali Ghitauddin sedangkan Malikul Mansur dititipkan dalam Sayid Semayamuddin.
Setelah kedua putra tersebut dianggap layak untuk memimpin kerajaan, maka Sultan Malik al-Salih menyerahkan tampuk kekuasaan kepada kedua putra Muhammad Malikul Zahir, di mana diputuskan Malikul Mahmud memimpin kerajaan Pasai dan Malikul Mansur memimpin kerjaan Samudera, sesuai dengan hasil musyawarah para ulama dan para petinggi kerajaan. Dalam perjalanannya, disebutkan bahwa hubungan antara keduanya tidak berlangsung harmonis karena diam-diam Malikul Mansur tertarik kepada istri Malikul Mahmud. Malikul Mansur kemudian diusir dari kerjaan dan meninggal ketika berada dalam perjalanannya. Akhirnya kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai pun menjadi satu kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan Samudera Pasai dengan Malikul Mahmud sebagai rajanya.
Pada tahun 1346 terjadi pergantian kekuasaan berdasarkan sultan Malikul Mahmud pada putranya yaitu Ahmad Permadala Permala dengan gelar kehormatan Sultan Ahmad Malik al-Zahir. Dalam sebuah catatan dituliskan bahwa Sultan Ahmad Malik al-Zahir mempunyai 5 orang anak, 3 putra & 2 putri. Ketiga putra itu adalah Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil dan Tun Abdul Fadil, ad interim ke 2 putrinya adalah Tun Medam Peria & Tun Takiah Dara.
Sultan Ahmad Malik al-Zahir dikenal sebagai raja yang memiliki citra buruk di mata masyarakatnya karena Sultan Ahmad Malik al-Zahir menaruh birahi pada kedua putrinya sendiri. Tak pelak sikapnya yang demikian itu membuat marah para petinggi kerajaan Samudera Pasai, termasuk Tun Beraim Bapa. Tun Beraim Bapa kemudian berusaha melindungi kedua saudara perempuannya dari jeratan nafsu ayah kandungnya dengan menyembunyikan kedua saudarinya di sebuah tempat. Merasa mendapat pertentangan dari putra sulungnya sendiri, Sultan Ahmad Malik al-Zahir murka dan menyuruh utusan untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Sang putra mahkota yang seharusnya mewarisi tahta kerajaan itu pun meninggal karena diracun oleh utusan ayahnya. Merasa terharu dan tidak terima dengan perlakuan biadab sang ayah, Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun yang telah membunuh kakaknya.
Kebiadaban Sultan Ahmad Malik al-Zahir ternyata tidak berhenti sampai di situ. Mengetahui bahwa putri dari kerajaan Majapahit yaitu Radin Galuh Gemerencang jatuh cinta pada Tun Abdul Jalil, Sultan Ahmad al-Zahir yg jua memberikan hati kepada kecantikan dari putri raja Majapahit itu balik menyuruh anak buahnya buat menghabisi nyawa putra keduanya tadi & membuang jenazah Tun Abdul Jalil ke tengah laut.
Radin Galuh Gemerencang yang sangat merindukan pujaan hatinya, Tun Abdul Jalil, lalu pulang bersama para pengawal menuju ke Pasai. Sesampainya pada Pasai, Radin Galuh Gemerencang terkejut selesainya mendengar keterangan bahwa oleh putra mahkota meninggal menggunakan tragis di tangan ayahnya sendiri. Lantaran nir kuasa menahan kesedihan, sang putri kemudian ikut menenggelamkan diri pada loka jenazah Tun Abdul Jalil ditenggelamkan.
Rombongan pengawal Radin Galuh Gemerencang yang tersisa kembali ke Jawa dan melaporkan kematian sang putri kepada Raja Majapahit. Mendengar berita tragis dan kebiadaban dari Raja Pasai, Raja Majapahit geram dan mengirim pasukan untuk menggempur kerajaan Pasai. Dalam peperangan itu, kerajaan Pasai akhirnya kalah dan Sultan Ahmad al-Zahir mengungsi ke daerah bernama Menduga yang berjarak kurang lebih lima belas hari perjalanan kaki dari Pasai. Sementara itu pasukan Majapahit yang telah menaklukan kerjaan Pasai dan mengambil harta rampasan kemudian berlayar kembali ke Jawa. Dalam perjalanannya, pasukan Majapahit juga sempat menaklukkan kerajaan Jambi dan Palembang.
Menurut sejarah, dalam silsilah kerajaan Pasai terdapat nama Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir, raja wanita pertama pada kerajaan Islam Nusantara yg bertahta dari tahun 1420 sampai 1428. Sultanah Nahrasiyah mempunyai penasehat kontroversial bernama Ariya Bakooy yg bergelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy pernah diperingatkan sang para ulama supaya nir mengawini puterinya sendiri tapi peringatan itu ditentangnya. Bahkan, lantaran nir terima cita-cita dirinya ditentang, Ariya Bakooy hingga membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya mati pada tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yg nir lain merupakan suami Sultanah Nahrasiyah menggunakan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah berdasarkan Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah Nahrasiyah dalam catatan sejarah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan dengan hiasan di makamnya yang dibuat dengan sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: “Inilah kubur wanita bercahaya yang suci, ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.”
Berikut ini merupakan silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai:
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
dua. Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Mahmud (1326-1345 M)
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M)
6. Sultan Zain al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah (1420-1428)
8. Sultan Sallah al-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik al-Zahir (1455)
10. Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477)
11. Sultan Zain al-Abidin (1477- 1500)
12. Sultan Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513) 13. Sultan Zain al-Abidin (1513-1524)
Kehidupan Sosial Politik Kerajaan Samudera Pasai
Pada masa Kerajaan Samudera Pasai, para pedagang telah menggunakan ceitis atau mata uang berbentuk uang kecil, sedangkan yang terbuat dari emas disebut dengan dramas (mata uang emas dibuat dari emas sebenarnya tidak murni dari emas semua tetapi terbuat dari serbukan emas dan perak). Jika ibandingkan dengan nilai mata uang portugis crusade, maka perbandingannya adalah 9 dramas = 1 crusade = 500 cash.
Di samping seseorang sultan yg sebagai pimpinan kerajaan, terdapat juga beberapa jabatan pada kerajaan seperti: Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), Bendahara, Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yg lebih dikenal menggunakan gelar Laksamana, Sekretaris Kerajaan, Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kotakota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat menjadi penghubung antara sultan menggunakan para pedagang asing. Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Samudera Pasai terhadap agama Islam menurut madzhab syai?I & Sultan Samudera Pasai selalu dikelilingi sang ahli-ahli Islam. Kesultanan Samudera Pasai adalah kerajaan besar , pusat perdagangan & perkembangan kepercayaan Islam.
Sebagai sebuah kerajaan besar, Samudera pasai juga menghasilkan banyak karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai yang mana bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. Hikayat Raja Pasai ini juga sekaligus menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu itu juga yang kemudian digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Bersamaan dengan berkembangnya sastra Melayu klasik, di Pasai juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum karya Maulana Abu Ishak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu atas permintaan dari Sultan Malaka, Makhdum Patakan. Kitab inilah yang kemudian dijadikan rujukan dalam melihat posisi Kerajaan Samudera Pasai dalam perannya sebagai pusat Tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
Perkembangan dan Masa Keemasan
Pada masa kejayanya, kerajaan Samudera Pasai adalah pusat perniagaan krusial di daerah Nusantara. Samudera Pasai memiliki poly bandar yang dikunjungi sang para saudagar menurut aneka macam negeri seperti Cina, India, Siam, Arab & Persia. Alasan mengapa Kesultanan Samudera Pasai tergabung & ikut andil dalam jaringan perdagangan antar bangsa adalah letaknya yang berada pada daerah Selat Malaka yg menjadi jalur perdagangan internasional. Jarak pelayaran yang begitu jauh antara Arab dan Cina membuahkan Kerajaan Samudera Pasai sebagai loka singgah para pedagang, terlebih karena pelayaran mengharuskan para pedagang menunggu angin demam isu yg cocok buat berlayar meneruskan bepergian.
Dalam kurun abad ke-13 sampai awal abad ke-16, Pasai merupakan daerah produsen rempah-rempah terkemuka pada global, menggunakan lada menjadi galat satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai bisa mengekspor lada dengan produksi yg cukup akbar. Tak hanya itu, Pasai juga menjadi produsen komoditas lainnya misalnya sutra, kapur barus, dan emas. Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dianggap dirham & lalu digunakan secara resmi pada kerajaan tadi.
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai pula merupakan sentra perkembangan kepercayaan Islam. Komposisi masyarakat pada Kerajaan Pasai sendiri terbagi dalam beberapa lapis, mencakup Sultan, golongan abdi kerajaan, alim ulama, para pedagang & hamba sahaya. Pada lapisan abdi kerajaan terbagi lagi sebagai perdana menteri, menteri, tentara, pegawai & pesuruh. Kendati orang Arab yg tinggal pada Pasai tidak sebanyak orang menurut India, tapi orang Arab menaruh efek yg sangat kuat ke dalam sistem kerajaan, bahkan pada menentukan kebijakan sang raja.
Semasa Sultan Malik Al-Saleh menjabat menjadi penguasa pertama kerajaan Pasai, masih ada orang-orang akbar di negeri itu, di antaranya merupakan Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Kedua orang akbar ini pula ikut berperan dalam mengontrol jalannya pemerintahan dengan gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin.
Kemajuan Kerajaan Samudera Pasai dapat dilihat dari adanya aktivitas perdagangan yang semakin maju dan ramai ditambah dengan sudah mengenal penggunaan koin emas sebagai alat pembayaran, Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah.
Ibnu Batutah juga mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil menggunakan mengendarai kuda menurut pelabuhan yg dianggap Sahra buat sampai ke pusat kota. Pusat pemerintahan kota itu relatif besar dan indah dan dilengkapi dengan menaramenara yang terbuat dari kayu-kayu yang kokoh. Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, masih ada tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan. Bangunan yg terpenting artinya Istana Sultan & masjid.
Masih menurut catatan Ibnu Battutah, di bawah kepemimpinan Muhammad Malikul Zahir, Pasai menjadi kerajaan yg begitu latif, bukan hanya saja karena estetika & kesuburan alamnya namun pula karena mempunyai raja yang sangat rendah hati, mengasihi rakyatnya, & begitu menyayangi ilmu pengetahuan.
Seperti yang sudah disinggung diawal, Ibnu Batutah sempat memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa itu menurut Ibnu Batutah adalah: Sultan Muhammad Malikul Zahir (Raja Melayu) yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, dan Raja Turkistan yang bijaksana.
Pergolakan dan Runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai mulai mendapat ancaman dari Kerajaan Majapahit pada saat Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 M oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara dan kemudian naik pangkat menjadi Mahapatih pada 1331 ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya janjinya yang dikenal dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar mengenai kebesaran Kerajaan Samudera Pasai. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang memiliki jalur perdagangan strategis di selat Malaka. Karenanya, kemudian Gadjah Mada mulai mempersiapkan planning buat menyerang kerajaan Islam pada pulau Sumatera tersebut. Desas-desus tentang akan adanya agresi tentara Majapahit, yg menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan masyarakat pada Aceh.
Armada perang Kerajaan Majapahit pada bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya dalam 1350 menggunakan beberapa tahapan. Serangan pertama Majapahit diarahkan ke perbatasan Perlak tapi mengalami kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Gadjah Mada kemudian mundur ke laut & mencari loka lapang di pantai timur yg tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya & mendirikan benteng di atas bukit, yang sampai kini dikenal menggunakan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.
Gadjah Mada kemudian menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan ke daerah pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air, sedangkan penyerbuan jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara daerah Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata tidak seperti yang telah direncanakan dan mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru bisa mencapai istana.
Penyerangan kerajaan Majapahit atas Samudera Pasai dilataribelakangi oleh faktor politis sekaligus kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan menggunakan ramainya bandarbandar yang berada pada wilayah kerajaan & kemakmuran rakyat Kerajaaan Samudera Pasai membuat Mahapatih Gadjah Mada berkeinginan buat merebutnya. Meskipun perluasan kerajaan Majapahit pada rangka menguasai daerah Samudera Pasai sudah dilakukan berulangkali tetapi Kesultanan Samudera Pasai masih mampu bertahan, hingga akhirnya perlahan-lahan perlawanan yg diberikan sang kerajaan Samudera Pasai mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Runtuhnya kekuatan Kerajaan Pasai sangat berkaitan dengan perkembangan yg terjadi pada luar kerajaan Pasai itu sendiri. Munculnya pusat politik dan perdagangan baru pada Malaka pada abad ke-15 merupakan keliru faktor yg menyebabkan Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran. Hancur dan hilangnya peranan Pasai pada jaringan perdagangan antar bangsa bertambah menggunakan lahirnya suatu sentra kekuasan baru di ujung barat pulau Sumatera yakni Kerajaan Aceh Darussalam dalam abad ke-16.
Pasai ditaklukan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Raja Cina untuk Kerajaan Islam Samudera Pasai, dipindahkan ke Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Hingga menjelang abad ke-16, Kerajaan Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Tetapi, lalu peranan Kerajaan Samudera Pasai yg sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan pada daerah Asia Tenggara dan global mengalami kemerosotan menggunakan munculnya bandar perdagangan Malaka pada Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera menjadi primadona pada bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama selesainya Malaka dibangun, kota itu pada waktu singkat segera dibanjiri perantau-perantau berdasarkan Jawa. Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka itu, posisi dan peranan Kerajaan Samudera Pasai semakin tersudut, nyaris seluruh aktivitas perniagaannya sebagai kendor & akhirnya sahih-sahih patah pada tangan Malaka sejak tahun 1450.
Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut adalah Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaankerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum akhirnya benar-benar runtuh dan berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.
0 comments:
Post a Comment