Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. "Saya saat itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri. "Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi 3 batalyon komunis pada wilayah Wonosobo, Pak."
"Nah, yg memberontak sekarang ini merupakan anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu seluruh! D.N. Aidit ada pada Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah. Percakapan pada Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang sang Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia beserta pasukannya baru saja datang di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi pada Kisaran, Sumatera Utara. Lantaran mendengar peristiwa G-30-S, mereka balik .
Di hari pertemuan itu, dua Oktober 1965, tentara sudah mulai mengejar orang-orang Partai Komunis Indonesia yg dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee PKI, menghilang.
Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk pada keliru satu tempat tinggal tahanan. Orang itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah tempat tinggal pada Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.
Rencana pun disusun. Dan sahih, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul pada rumah itu, menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brifif IV menggerebek tempat tinggal milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya berdasarkan jauh.
Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian Republika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang menemukannya. "Mau apa kamu?" Aidit membentak anak buah Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.
Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, diantaranya, hanya dia yg bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, dari Yasir, Pangdam Diponegoro lalu membakar dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News pada Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil menerima bocoran pengakuan Aidit buat korannya.
Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya wajib bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu menggunakan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. "apabila diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan keterangan sehingga persoalannya akan jadi lain," istilah Yasir seperti dikutip Abdul Gafur pada bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada pada jip terakhir beserta Yasir. Saat terperinci tanah iring-iringan itu datang pada Boyolali.
Tanpa sepengetahuan 2 jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. "Ada sumur?" tanyanya pada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.
Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak buah murka . Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.
24 November 1965, pukul tiga sore. Yasir bertemu Soeharto pada Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya: "Apakah yg Bapak maksudkan dengan bereskan itu misalnya sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.
Sumber: Dua Wajah Dipa Nusantara Seri Buku TEMPO Orang Kiri Indonesia
Bourbon
0 comments:
Post a Comment