Salah satu gagasan mengenai politik etis yg dikemukakan oleh C.TH Van Deventer merupakan emigrasi. Emigrasi disini berarti mengajak penduduk buat bertransmigrasi meninggalkan daerahnya yg padat ke wilayah yang lowong misalnya Sumatera dan Kalimantan, buat mendirikan sebuah koloni baru. Dalam diberlakukannya politik emigrasi ini, penduduk Jawa lah yang sebagai objek pemindahan pemerintah Hindia Belanda kala itu. Jawa sendiri merupakan simbol kekuasaan secara politik & ekonomi pada saat itu. Ide mengenai pemindahan penduduk di Jawa, bermula dari keyakinan bahwasannya ada kelebihan penduduk pada Pulau Jawa.
Dengan adanya acara ini kepadatan dan kelebihan penduduk sendiri dapat ditekan. Dengan mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa maka meminimalisir bahaya kelaparan dan kemelaratan, yg pada akhirnya keduanya mampu menyebabkan keguncangan & ketidakstabilan terhadap jalannya Pemerintah Hindia Belanda dalam saat itu.
Tepatnya, pada bulan November 1905, sebesar 155 ketua famili (KK) dari Jawa diberangkatnya berdasarkan Kabupaten-Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purwerejo, Keresidenan Kedu, ke Gedong Tataan, Keresidenan lampung, pada rangka acara kolonialisasi sang Pemerintah Hindia Belanda. Keberangkatan 155 KK sebagai kelompok kolonis pertama dipimpin sang Asisten Residen Sukabumi H.G Heyting yg ditunjuk sang Pemerintah Hindia Belanda sebagai pelaksana acara percobaan yg penuh tantangan itu. Asisten Residen Heyting dibantu sang Asisten Wedana Ronodimedjo menurut Kutuarjo dan dua orang mantri ukur. Demikianlah 3 nama, yaitu Gedong Tataan, H.G Heyting dan 155 KK berdasarkan Kedu, membuka lembaran pertama sejarah kolonialisasi resmi yg diselenggarakan oleh pemerintah. Desa kolonialisasi pertama ini diberi nama Bagelen sesuai menggunakan kabupaten-kabupaten dari mereka yg berada pada ?Daerah? Bagelen.
Pada dasarnya acara Emigrasi ini beritikad baik terhadap masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu, tetapi Pemerintah Hindia Belanda dalam acara emigrasi ini pada praktiknya tidak lebih berdasarkan sarana buat pendistribusian buruh murah bagi pengembangan perusahaan-perusahaan perkebunan asing yang bercokol pada luar Jawa. Sederhananya pemerintah menyediakan tenaga-energi murah bagi para pengusaha pada waktu itu. Mereka yg didatangkan menurut Jawa dijadikan kuli kontrak. Untuk mencegah para transmigran itu lari, dibuatlah anggaran tentang Poenale Sanctie yg dimuntahkan sang Pemerintah Hindia Belanda yang berisikan pekerja yg melarikan diri akan diburu & ditangkap kemudian dikembalikan pada majikannya lagi. Walaupun demikian, acara Emigrasi ini tetap berlangsung dan sebagai kebijakan tetap pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Sumber: Swasono, Sri-Edi. Transmigrasi Di Indonesia 1905-1985
Bourbon
0 comments:
Post a Comment