Pemerintahan Suharto yang dinamakan Orde Baru ada menjadi gerakan pembaharuan bagi Indonesia. Orde baru diharapkan memunuhi ekspektasi warga Indonesia pada ketika itu yg sudah tercabik konflik politik & krisis ekonomi. Gaya kepemimpinan Suharto sendiri berbeda dengan Sukarno, Suharto dalam awal berkuasa menekankan kepada politik pembangunan & politik ekonomi perbaikan. Mengingat krisis yg ditingglakan Orde usang tersisa pada masa awal Orba.
Orde Baru yang diharapkan membrangus sistem politik otoriterian Orla, malah bersikap sebaliknya Orde Baru ternyata melakukan sistem politik model yang cendrung militeristik, tepatnya dinamakan bereucratic-authoritian atau sering diterjemahkan dengan birokratik otoriter, merupakan lawan demokrasi, yaitu sistem yang diterapkan oleh suatu rezim yang kekuasaannya dan proses politik dipusatkan pada satu orang atau satu kelompok. Termasuk di dalamnya adalah bergabungnnya kelompok militer. Kekuasaan kelompok tersebut sangat besar, terutama untuk mengontrol dan menindak masyarakatnya.
Sama halnya dengan sistem otoriterian Orla, tidak ada kontrol masyarakat sipil terhadap kekuasaan yang berlaku. Sistem otoriterian sendiri cendrung menekankan pada stabilitas politik dan kemanan. Militer begitu memainkan peranan penting ini dalam menjaga keamanan dan stabilitas politik. Pemilihan sistem ini sebenarnya bisa dipahami mengingat kondisi Indonesia pasca G30S mengalami kondisi kekacauan sosial dan ekonomi. Selama pada masa demokrasi liberal sampai pada masa demokrasi terpimpin masyarakat sudah amat disibukkan oleh konflik politik para elite atau pun pada tingkatan akar rumput.
Bentuk negara Indonesia merupakan Republik, namun dibawah kekuasaan Orde Baru bentuk negara ini bisa dibilang menyerupai negara kekuasaan(machtstaat). Ciri negara republik adalah kekuasaan berada di tangan rakyat(respublica), oleh sebab itu disebut negara kerakyatan. Kekuasaan penguasa(pemerintah) di negara republic bersifat terbatas, tidak seumur hidup dan diatur oleh konstitusi.
Kenyataannya Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto melakukan praktik yg bertentangan dengan bentuk negara itu sendiri. Orde Baru bersifat totalitarian, seolaholah negara pada perintahkan sang segelinter gerombolan saja. Dimana kekuasaanya tersebut mementingkan kroni-kroninya sendiri terutama pada kalangan militer yang loyal terhadap Presiden Soeharto. Bisa dibilang Pemerintahan Indonesia dibawah rezim Orde Baru dikuasai oleh geng militer eksklusif yang tidak segan menghabisi dan menghilangkan lawan-lawan politiknya apabila menentang kekuasaannya.
ABRI membangun suatu institusi-institusi territorial yang merupakan “ pemerintahan bayangan” bagi institusi jaringan pemerintahan dalam negeri, dari tingkat kodam(provinsi), korem(kabupaten), kodim(kecamatan), koramil(kelurahan) sampai ke babinsa/bintara pembina desa(desa). Melalui “Politik Ketakutan” (The Politics of Fear) dan represi politik, ABRI berupaya untuk menciptakan stabilitas politik melalui penetrasi dari atas. Pada masa ini pula ABRI mendudukan orang-orangnya di jabatan birokrasi pemerintahan, dari menteri, sekretatis jendral, departemen pemerintahan, gubernur, bupati, diplomat sampai ke kepala-kepala judikatif dan legislatif.
Bisa dibilang bahwasannya pemerintahan Orde Baru menjalankan “sistem politik tunggal” yang agak persis dengan yang diceritakan oleh George Orwell dalam novelnya yang berjudul 1984. Dimana sistem politik tunggal diberlakukan, dimana kebenaran-kebenaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh para penguasa. Kebenaran tunggal hanya milik penguasa saja. Barang siapa yang berusaha melawan sistem yang ada, akan dituduh sebagai upaya pembangkangan negara. Orde Baru menggunakan kekuatan militernya untuk menindas siapapun yang berbeda dengan pandangan dengan dia.
Sumber:
- Militer dan politik kekerasan orde baru: Soeharto di belakang peristiwa 27 Juli? oleh Ikrar Nusa Bhakti.
- Gus Dur versus militer: studi tentang hubungan sipil-militer di era transisi oleh Fortuna Anwar
Bourbon
0 comments:
Post a Comment