Maksud Soekarno memeriksa sekulerisme adalah karena Ia ingin ?Memerdekakan? Islam berdasarkan kungkungan Negara. Sebuah gagasan yang akan dikutuk sang kaum teokratis menjadi ?Penghianatan terhadap Islam?.
Ada 2 hal yg perlu digarisbawahi lebih dahulu. Pertama, Soekarno menganggap pemisahan agama berdasarkan politik bukanlah gagasan anti-agama. Jadi, pada mata Soekarno, sekularisme itu nir berarti memusuhi agama. Malahan, jika kita baca risalah Soekarno itu, misi utamanya justru buat menyelamatkan dan memajukan kepercayaan .
Kedua, Soekarno bukan seorang anti-Islam. Sebaliknya, beliau mencintai & memeluk Islam menggunakan sesadar-sadarnya. Kalau kita baca risalahnya tentang Islam, tampak sekali Soekarno menginginkan kemajuan dan kebesaran Islam.
Sebetulnya, melalui risalah yg relatif panjang itu: 15.770 istilah, Soekarno tidak hanya menyajikan pandangan kritis terhadap Islam, tetapi pula berusaha memposisikan Islam selaras menggunakan perkembangan zaman.
Yang pertama, Soekarno mempersoalkan dua hal, yaitu penafsiran dan praktek keislaman. Dia sadar, penafsiran terhadap ajaran Islam tidaklah bebas dari subjektivitas, yakni keberadaan sosial & kepentingannya yg menghipnotis corak berpikir.
Seseorang yang menikmati posisi istimewa pada struktur sosial cenderung?Tidak seluruh?Berpandangan konservatif. Mereka sengaja memelihara tradisi, sekolot apapun itu, demi mempertahankan keadaan. Tidak jarang, mereka memakai konservatisme kepercayaan buat menghalau desakan perubahan. Konservatisme merupakan corak berpikir penjaga status-quo.
Selain soal eksistensi sosial, faktor lain yang mempengaruhi interpretasi merupakan kejelian membaca konteks kesejarahan maupun konteks sosial (partikular).
Ajaran Islam tidak keliru, tetapi kesalahan membaca konteks sanggup membuat penafsirkan terhadap ajaran Islam sanggup keliru. Penafsiran Islam yg nir kontekstual, yang mengabaikan denyut nadi perkembangan jaman, hanya akan mengorbankan Islam sebagai agama udik alias ketinggalan zaman.
Begitu pula praktik ber-Islam. Belum tentu negara Islam, yang menempatkan syariat Islam sebagai hukumnya, sahih-benar mempraktekkan Islam sejati. Ada poly negara yg dilabeli ?Negara Islam?, tetapi kehidupan ekonomi-politiknya nir mencerminkan nilai-nilai Islam sejati.
Begitu juga nasib Turki tua (Kekaisaran Ottoman). Secara ekonomi, seperti diungkapkan Soekarno, perekonomian Turki tua tidak bergairah dan berkembang karena inisiatif & penemuan dihalangi oleh penafsiran yg keliru soal takdir manusia.
?Keinisiatifan ekonomi hancur, keaktifan pada lapangan kerezekian padam, kegiatan & ketang kasan usaha-hidup sedikitpun tidak terdapat sama sekali,? Tulis Soekarno.
Belum lagi, cara penafsiran yg konservatif, yg mengharuskan praktek islam sama persis misalnya zaman Rasullah, menggunakan mengabaikan hal-hal baru yang dibawa perkembangan zaman. Hal tersebut membuat Islam seolah-olah ?Tanggul? Yang menantang arus kemajuan.
Secara politik pun demikian. Kekhalifahan, yang dianggap bentuk sistem politik Islam, nir berbeda jauh menggunakan monarki pada umumnya. Bedanya, jika dalam monarki, seorang raja hanya kepala negara atau pemimpin politik tertinggi. Sedangkan pada kekhalifahan, seorang khalifah menjabat ketua negara sekaligus kepala agama. Soekarno menyebutnya dengan kata ?Caesaro-Papisme?(ala2 vatikan).
Soekarno bukan anti-kekhalifahan. Beliau cuma tidak mau kekhalifahan hanya dalam kemasan saja. Maksudnya, secara formal mengadopsi kekhalifahan, berikut syariat Islam sebagai sistim hukumnya, tetapi prakteknya ekonomi, politik, dan sosialnya nir tidak sinkron jauh dengan sistim yg dicap kafir.
Menurut Soekarno, khalifah menjadi pemimpin tertinggi Islam haruslah dipilih sang umat Islam. Masalahnya, pada kasus kekhalifahan/kekaisaran Ottoman, jabatan khalifah itu diwariskan turun-temurun, tidak tidak sinkron menggunakan jabatan raja di sistem monarki (bahkan Ibu Suri sanggup berkuasa).
?Kekalifahan pada sini menjadilah sama sekali satu pemuaskan nafsu kedinastian orang-orang bangsawan sahaja yang mau tetap menjadi raja turun-temurun,? Tulis Sukarno mengutip pejuang perempuan Turki, Halide Edib Adivar.
Masa kegelapan dampak dominasi otoritas agama bukan hanya dirasakan oleh bangsa Turki, namun juga Eropa. Selama berabad-abad Eropa bertungkus lumus pada abad kegelapan, yg mencekik ilmu pengetahuan, logika sehat, & kemanusiaan.
Kedua, gagasan sekularisme nir bisa dipisahkan dengan perkembangan zaman, misalnya lahirnya negara bangsa (nation state) & pengaturan kehidupan publik yg demokratis. Sekularisme bukan hanya menjangkiti global islam, namun telah mewabah di kepercayaan -kepercayaan Samawi yang lain.
Soekarno, yang fasih ilmu marxisme itu, tahu bahwa negara adalah berita objektif di bawah kapitalisme. Kelahiran, perkembangan, & menghilangnya negara bangsa merupakan konsekuensi perkembangan rakyat. Karena itu, bagi dia, bangsa-bangsa Muslim tidak mampu menghindari dari tuntutan mengorganisir negara nasional. ?Karena kini adalah zaman nasionalisme, zaman bangsa-bangsa menyusun negaranya masing-masing,? Tulis Soekarno.
Begitu pula tuntutan pengorganisasian kehidupan publik yang mensyaratkan demokrasi. Kapitalisme membutuhkan konsensus publik buat melegitimasi sistimnya. Sekalipun kadar demokrasinya sangat minimum: penunjukan kepala pemerintahan & badan perwakilan melalui Pemilu reguler.
Ketiga, sekularisme tidak menutup ruang bagi aspirasi keagamaan. Seperti ditegaskan Soekarno, di negara sekuler demokratis, aspirasi keagamaan bisa didesakkan ke pada kebijakan dan politik negara melalui badan-badan perwakilan/parlemen.
?Asal sebagian besar menurut anggota-anggota parlemen politiknya politik kepercayaan , maka seluruh putusan-putusan parlemen itu bersifatlah agama juga,? Jelasnya.
Sumber: OA Historypedia Line
Bourbon
0 comments:
Post a Comment