Dalam cerita masyarakat yg berkembang di Madura, disebutkan bahwa suku Madura berasal berdasarkan keturunan Raden Sagara.(Raden Sagoro). Raden Sagoro sendiri adalah anak seorang putri dari kerajaan pulau Jawa. Dari penuturan ini maka berkesimpulan bahwasannya orang-orang Madura adalah orang-orang yg dari berdasarkan pulau Jawa. Tapi penuturan asal usul cerita tersebut adalah cerita masyarakat saja, menurut kisah yang diceritakan turun temurun.
Ada pula yang menduga bahwa asal nama dan suku Madura adalah menurut India. Tepatnya berdasarkan daerah yg sama namanya, Madura atau Madurai di Tamil Nadu, India Selatan. Sekitar 4000 tahun yang kemudian sebelum Masehi, bangsa menurut utara dan berkebudayaan neolithik sudah berdatangan dan mendiami Pulau Madura.
Mereka sudah mampu bercocok tanam & memanfaatkan kekayaan laut. Seiring dengan masuknya para pedagang menurut India dan Tiongkok awal abad Masehi, sedikit-sedikit kebudayaan dan agama Suku Madura berubah. Tetapi pada perdagangan, orang Madura hanya menjadi perantara. Lantaran keterbatasan asal daya alam.
Dalam perjalanannya Madura nir pernah tidak pernah mampu sejajar dengan kerajaan Jawa. Kerajaan-kerajaan Jawa lebih unggul secara sumber daya alam & asal daya insan kala itu, bisa memimpin kepulauan-kepulauan yang berada di Nusantara, termasuk pulau Madura yg adalah wilayah bawah kerajaan Jawa, baik kerajaan Jawa yang bercorak Hindu Buddha seperti Majapahit atau pun kerajaan bercorak Islam misalnya Mataram.
Dalam perjalanannya sebagai bawahan kerajaan Jawa Madura sering kali mengadakan pembrontakan terhadap kekuasaan pusat. Dari yang perlawan kecil sampai perlawanan Trunojoyo yang berhasil mengalahkan Amangkurat I dari Mataram.
Secara geografis Pulau Madura dekat menggunakan Pulau Jawa, namun secara bahasa, bahasa orang madura tidak sinkron jauh menggunakan bahasa yg ada di Pulau Jawa. Namun terdapat daerah Tapal Kuda Jawa Timur yang meliputi sebagian Malang, Pasuruan Timur, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, dan Banyuwangi, yang penduduknya banyak dari Madura & bercampur baur menggunakan penduduk Jawa.
Pengaruh Madura amat kental di wilayah Tapal Kuda tersebut, pada hal ini meliputi bahasa jua. Bahasa Madura mempunyai kecenderungan menggunakan bahasa yg terdapat pada Jawa meliputi adanya strata bahasa. Bahasa tertinggi merupakan Bahasa Keraton, ke 2 merupakan Bahasa Tinggi, ketiga merupakan Bahasa halus, keempat Bahasa Menengah, dan terakhir merupakan Bahasa Rendahan atau kasar sama halnya bahasa ngoko pada Jawa.
alam hal pembagian masyarakat, Madura mengenal 4 golongan. Golongan pertama adalah golongan bangsawan atau ningrat, kedua adalah Ponggebe yang merupakan golongan PNS kalau saat ini, ketiga dume yang merupakan orang biasa, yang keempat adalah golongan agamawan yang dibagi lagi kelas-kelasnya. Kelas yang tertinggi adalah kyai, dalam hal ini kyai sering diposisikan tinggi oleh masyarakat karena dikenal sebagai guru agama dan bapak(sepuh) bagi masyarakat madura.
Sumber: jawatimuran.Wordpress.Com
Yang kedua adalah Bindere orang yang telah mengenyam pendidikan agama juga namun tidak mendalam seperti kyai, kerap kali mereka sering diminta dalam hal nasihat masalah agama. Ketiga adalah kaum Santre, mereka merupakan orang yang sedang menuntut ilmu agama di pondok pesantren yang ada. Keempat adalah Benne Santre, mereka tidak pernah mengenyam pendidikan agama atau tidak pernah mondok sekalipun.Sebagian orang memandang etnis Madura menggunakan sifat negatif. Penilaian yang demikian ini kemudian tersebar pada khalayak, sebagai akibatnya terbentuklah suatu pandangan umum(stereotip) terhadap etnis Madura Seperti asumsi umum bangsa Eropa pada zaman kolonial, yg menyatakan bahwa orang Madura itu kasar, mudah tersinggung, nir mempunyai sopan santun, dan keras kepala.
Namun semua itu tidak selalu benar, kita harus melihat bahwasannya orang Eropa dalam masa Kolonialisme dimanapun, selalu menganggap orang-orang jajahannya tidak beradab. Bukan hanya orang Madura namun suku-suku lain juga kerap kali dipandang rendah oleh orang Belanda kala itu.
Pembentukan sifat erat kaitannya dengan syarat-syarat geografis lingkungan wilayah loka tinggalnya. Orang Madura cenderung keras karena wilayah Madura sendiri merupakan daerah yang kurang subur, sehingga membuat orang Madura wajib bersifat keras karena kondisi alamnya.
Hal yang paling menonjol pada orang madura adalah masalah ?Harga Diri?. Orang Madura memiliki filosofi yang selalu dipegang & diturunkan kepada anak-anaknya yaitu ?Ketambheng pote mata, angok pote tolang?, yg bisa diartikan menjadi ?Ketimbang putih mata, lebih baik putih tulang?.
Dalam hal ini orang madura mempunyai prinsip daripada hidup menanggung malu dan aib lebih baik mati saja. Hal ini yang melahirkan tradisi budaya “carok” pada orang-orang madura. Budaya carok sendiri lebih dititik beratkan kepada penebusan harga diri dengan nyawa, bukan sekedar tawuran semata antar kampung. Bagi orang Madura harga diri adalah segalanya dan harus dibela
Sumber:
- Latief Wijaya. Corak: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
- Samsul Ma'arif. The History of Madura: Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme sampai Kemerdekaan.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment