Nama School tot Opleiding van Inlandse Artsen atau STOVIA tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927, yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (atau Sekolah Tinggi Kedokteran).
Sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama, yaitu Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dalam masa pendudukan Jepang & Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dalam masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yg masih permanen berlaku hingga kini .
Geneeskundige Hooge-School atau Sekolah Tabib Tinggi yang dibuka pada masa pendudukan Jepang. Tentang peraturan Jakarta Ika-Daigaku secara lengkap dituangkan pada Maklumat Gunseikan No.Lima tanggal 13 April 1943. Maklumat tadi terbagi sebagai 9 bagian & terurai dalam 39 pasal.
Bagian yang menarik dari maklumat tersebut ialah tentang sistem pembayaran uang kuliah. Untuk satu tahun kuliah, dipungut empat kali masing-masing berjangka waktu triwulan. Sistem ini dianggap memperingan pembayaran dibanding kewajiban membayar sekaligus. Juga dijelaskan bahwa pembayaran bisa diangsur setiap bulan, asal tidak lebih dari jangka waktu yang sudah ditentukan untuk setiap triwulannya.
1960-1980: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada zaman kolonial gedung itu digunakan sebagai tempat pendidikan STOVIA dan Ika Daigaku. Foto: Collectie Tropenmuseum |
Pada tahun 1943, masih ada instruksi buat menggunduli rambut & menggunakan topi pet, yang ditentang sang mahasiswa pada bulan Oktober 1943. Tetapi bulan Desember 1943 secara mendadak asisten-asisten Jepang sebelum kuliah dimulai secara paksa menggunduli sebagian mahasiswa, sebagai akibatnya menimbulkan protes & perlawanan. Sehingga Empat Serangkai: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro & Kyai Mansyur ikut turun tangan meredakan suasana. Pertemuan diadakan di asrama Cikini 71 & menjadi juru bicara tampil Soedjatmoko & Soedarpo.
Setelah menerima penerangan berdasarkan keempat pemimpin Indonesia, sebagian besar mahasiswa bisa menerima dan secara beramai-ramai atas kemauan sendiri dilakukan upacara penggundulan bertempat pada Asrama Oranje Boulevard (Gedung PAMS).
Tetapi masih ada sebagian mahasiswa yg permanen konsekuen dengan pendiriannya bahwa campur tangan Pemerintah Jepang dalam perkara rambut adalah pelanggaran atas hak azasi setiap orang & tetap menolak menggunting rambut mereka, sebagai akibatnya dilakukan penangkapan sang Kenpetai. Sebanyak 25 orang mahasiswa dalam bulan Januari 1944 ditahan pada Markas Kenpeitai, Gambir Barat.
Dua puluh orang menurut yg ditangkap sesudah diperiksa & dianiaya nir diperkenankan lagi buat meneruskan kuliah di Jakarta Ika-Daigaku. Eri Soedewo & Purwoko diskors masing-masing selama setahun & 2 tahun, hanya Soedjono dan Soewadji yg diperbolehkan meneruskan kuliahnya.
Mahasiswa Kedokteran UI 1950. Foto: bataviadigital.Perpusnas.Go.Id |
0 comments:
Post a Comment