Di tengah–tengah kekacauan Indonesia yang baru merdeka dan berkali-kali ditempa masalah dengan perjuangan melawan Belanda dan perpecahan integral, pemerintah harus segera membuat rencana
pembangunan ekonomi berkala yang matang. Pada 19 Januari 1947 dibentuklah Planning Board [badan perancang ekonomi] yang bertugas menyusun rancangan pembangunan ekonomi berjangka untuk rakyat Indonesia. Lalu tampillah ia membeberkan rencana produksi 5 tahun. Pembangunan dalam bidang pertanian, peternakan, revitalisasi tanah untuk perkebunan, serta yang terpenting: pemindahan penduduk [transmigrasi] 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatra dalam jangka 1hingga 15 tahun. Rencana ini tersendat, tapi 20 tahun berselang, pemerintah Orde Baru sukses dengan REPELITA. Presiden Soeharto tidak pernah lupa dan selalu menyebut-nyebut, “rencana Kasimo”.
“Rencana Kasimo” memang dicetuskan oleh Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono yang saat itu menjabat menteri Kemakmuran. Ia bernama kecil Kasimo Hendrowahyono putra kedua dari sebelas bersaudara pasangan Dalikem dan Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta sekaligus tokoh yang memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Sebagai putra prajurit keraton, sejak kecil ia dididik dalam tradisi Jawa.
Selepas lulus belajar di Bumi Putra Gading, Kasimo segera ke Muntilan dan masuk sekolah keguruan yang didirikan oleh Romo van Lith. Di sana, ia tinggal di asrama dan tepat pada hari Paskah, April 1913, Kasimo yang saat itu berusia 13 tahun dibaptis secara Katolik dan mendapat nama baptis Ignatius Joseph. Setelah menamatkan pendidikannya di Muntilan, Kasimo pindah ke Bogor guna meneruskan pendidikannya di Landbouwschool. Begitu lulus, Kasimo mulai bekerja sebagai guru pertanian di Tegal dan Surakarta.
Kasimo terjun ke politik dengan ikut mendirikan dan menjadi ketua pertama partai politik Katholiek Djawi. Tahun 1925, partai tersebut berubah nama menjadi Perkoempoelan Politiek Katholiek
di Djawa. Lima tahun kemudian, berganti nama lagi menjadi Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI). Pada 1931, ia diangkat menjadi anggota Volksraad, dimana lima tahun berikutnya ia ikut menandatangani petisi Soetardjo yang menginginkan kemerdekaan Hindia-Belanda. Kasimo berada dalam dewan rakyat hingga tahun 1942.
Selepas itu, saat Jepang menggantikan Belanda di Hindia, partainya, PPKI, sempat dilarang keberadaannya. Di masa awal kemerdekaan, Kasimo menghidupkan kembali PPKI yang kemudian
berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia. Kasimo sekali lagi memimpin partai ini hingga tahun 1961.
Kasimo masuk menjadi anggota KNIP pada 1945. Kasimo juga beberapa kali mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai menteri. Diawali pada 1947 saat ia diangkat menjadi Menteri Muda Kemakmuran [3 Juli 1947 - 29 Januari 1948], setahun kemudian di bawah Pemerintahan Darurat ia menjadi menteri Persediaan Makanan Rakyat [19 Desember 1948 - 13 Juli 1949]. Di masa inilah, saat Belanda melancarkan agresi militer kedua, Kasimo segera ikut bergerilya dengan tentara dan pergi keluar ibu kota. Selepas itu, ia kemudian menjadi menteri kemakmuran pada kabinet Hatta [4
Agustus 1949 - 20 Desember 1949] serta menteri perekonomian dalam kabinet Burhanuddin Harahap[12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956].
Setelah RIS dilebur, ia diangkat menjadi anggota DPR selama sepuluh tahun hingga 1960. Kala duduk sebagai anggota dewan, Kasimo turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.
Perjuangan lain yang ditunjukkan Kasimo adalah saat ia ikut mendukung perebutan Irian Barat. Pada 1960, ia menjabat sebagai anggota DPA [Dewan Pertimbangan Agung], yang kemudian dibubarkan pemerintah. Saat pemerintah Orde Baru mulai berkuasa pada 1967, Kasimo bergabung dalam Tim Pemberantasan Korupsi. Setahun kemudian, ia kembali duduk di DPA hingga 1973. Pada 1980, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangannya, Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Kasimo penghargaan Bintang Ordo Gregorius Agung serta diangkat menjadi Ksatria Komandator
Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung.
Enam tahun semenjak mendapat bintang penghargaan dari Vatikan, Kasimo akhirnya mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Saint Carolus Jakarta pada usia 86 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Seperempat abad setelah kepergiannya, pemerintah Indonesia memberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment