Apabila menyebut sastra generasi Pujangga Lama, nama HAMKA akan gampang dikenal. Ia memang sastrawan mumpuni. Menulis semenjak masa belia sampai masa tuanya. Ia tokoh ulama sekaligus
seorang nasionalis. Ia ikut membesarkan Muhammadiyah sekaligus penyokong kemerdekaan RI. Ia menulis novel juga ikut bergerilya di hutan waktu perang kemerdekaan berkecamuk.
Nama lengkapnya Haji Abdul Karim Amrullah adalah anak seorang ulama ternama, Abdul Karim Amrullah. Ia mendapat pendidikan rendah dalam usia 7 tahun pada SD Maninjau
selama dua tahun. Pada usia 10 tahun, beliau masuk Sumatra Tawalib, sekolah Islam terbaru pertama, yang didirikan oleh ayahnya dalam 1919 pada Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian memeriksa kepercayaan dan mendalami bahasa Arab, keliru satu pelajaran yang paling disukainya. Pada 1924, Hamka yang waktu itu masih remaja sempat berkunjung ke Jawa. Di sana beliau banyak menimba ilmu dalam pemimpin gerakan Islam Indonesia, misalnya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo, Soerjapranoto, hingga pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah buat menunaikan ibadah haji. Berbekal ilmu agama yg didapatnya menurut aneka macam tokoh Islam berpengaruh, Hamka memulai kariernya menjadi Guru Agama di Padang Panjang. Ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tadi pada tahun 1928. Pada tahun 1931, beliau diundang ke Bengkalis untuk pulang mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana beliau melanjutkan bepergian ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, menjadi mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 dia dipercayai sang pimpinan Muhammadiyah menjadi mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana beliau mulai aktif menulis menggunakan menerbitkan majalah pengetahuan Islam, Al-Mahdi.
Pada 1934, Hamka menuju Medan. Di sana dia memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Dari majalah inilah pertama kali dia memperkenalkan nama pena Hamka, melalui rubrik tasawuf
terkini, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik orang awam maupun kaum intelektual. Pada 1945, Hamka kembali ke Padang Panjang kemudian dipercaya memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya menggunakan membentuk beberapa karya tulis. Dimasa ini pula perang revolusi kemerdekaan berkecamuk. Hamka turut berjuang mengusir Belanda. Lewat pidato, beliau mengobarkan semangat pejuang merebut kedaulatan negara. Ia ikut dan bergerilya di pada hutan. Semangat perjuangan Hamka senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya, ?Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpin menuju kebenaran?
Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah menentukan Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah pada Sumatra Barat pada 1946. Setahun berikutnya, dia menjabat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional. Ia juga mendapat jujur dari Wakil Presiden Mohammad Hatta buat menjabat menjadi sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Tepatnya tahun 1949, Hamka hijrah ke Jakarta & menekuni dunia jurnalistik dengan sebagai koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Tahun 1953, Hamka terpilih menjadi penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Juga pernah sebagai Pejabat Tinggi Agama meski kemudian dia mengundurkan diri.
Dalam politik, Hamka aktif melalui Masyumi. Pada Pemilu pertama 1955, Hamka terpilih menjadi anggota Konstituante mewakili Jawa Tengah. Pada 1956, ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir. Setahun kemudian, Hamka kembali ke global pendidikan selesainya resmi diangkat sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta & Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang. Kariernya sebagai pendidik terus menanjak, sehabis beliau terpilih menjadi rektor dalam Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, lalu dikukuhkan menjadi pengajar besar pada Universitas Moestopo,
Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Di masa Orde Baru, dalam 1977, Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia [MUI]. Ia hanya bertahan empat tahun sesudah akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1981. Dua bulan selepas mundur, Hamka masuk rumah sakit Pusat Pertamina, terkena komplikasi, dan tiga hari berikutnya beliau akhirnya menghadap Sang Khalik pada usia 73. Setelah disholatkan pada Masjid Al-Azhar, jenazahnya lalu dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Atas jasa-jasanya pada negara, pemerintah RI memberi gelar Pahlawan nasional pada Hamka di tahun 2011.
Bourbon
0 comments:
Post a Comment