Harian Sejarah -Penyerangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara besar ke Ibu Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 atau biasa dikenal Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan sebuah peristiwa heroik TNI dalam upaya menunjukan kekuatan Tentara sebagai bagian Republik Indonesia.
Ditengah desas-desus yang dibuat oleh Belanda yang menyatakan bahwa Pemerintahan Republik Indonesia sudah musnah pasca agresi Agresi Militer Belanda II menggunakan ditangkapnya & diasingkannya para Pemimpin Republik Indonesia dari Ibu Kota Yogyakarta sesudah berkhianatnya Belanda atas isi Perjanjian Renville.
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia menggunakan Belanda. Perundingan dimulai dalam lepas 8 Desember 1947. Serta lalu yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 pada atas geladak kapal perang Amerika Serikat menjadi tempat netral, USS Renville, yg berlabuh pada pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Hasil perjanjian tersebut dievaluasi relatif merugikan Indonesia secara territorial, tetapi dievaluasi relatif menguntungkan bagi posisi Diplomasi Indonesia. Isi perjanjian tadi diantaranya mengharuskan masyarakat, Tentara Nasional Indonesia, & Pemimpin Indonesia Hijrah menuju wilayah yang diakui Belanda sesuai isi Perjanjian Renville yaitu Jawa Tengah, Sumatera dan Yogyakarta. Selain itu, Ibu Kota negarapun harus dipindahkan ke Kota Yogyakarta.
Pada hari tanggal 19 Desember 1948, tersebar pada radio, bahwa Belanda tidak lagi terikat menggunakan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera siap dilakukan. Dalam mengatasi upaya yg nir diduga-duga. Waktu dimulainya Agresi Militer II Belanda tidak berlangsung usang . Terjadi Pertemuan antara Soekarno & Panglima Besar Soedirman pada Istana Negara dalam 19 Desember 1948.
Pertemuan penting itu hanya berlangsung lebih kurang 15 mnt. Setelah itu, dua tokoh penting ini menyebutkan posisi masing-masing, Soekarno tetap di Istana Negara & Soedirman akan bergerilya, Soediman yang masih sulit berdiri apalagi berjalan, meminta biar buat meninggalkan Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang gerilya.
Presiden dan wapres menggunakan segera mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara pada Bukittinggi, bahwa dia diangkat ad interim membangun satu kabinet & merogoh alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini lalu dikenal menggunakan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia menggunakan adanya serangan Belanda ini yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.
Para Pemimpin Republik kemduian sang Belanda diasingkan menurut kekuasaanya. Pengasingan pemimpin republik dilakukan secara terpisah: Soekarno, Sjahrir, dan Agus salim diasingkan di Brastagi, ad interim Moh. Hatta, MR. Assaat, dan MR. AG. Pringgodigdo diasingkan di Pangkal Pinang.
Sebelum meninggalkan Istana Negara, Panglima Besar Jenderal Soedirman masih sempat mengeluarkan Perintah Kilat No.1. Perintah Kilat No.1 itu secara langsung kepada semua Angkatan Perang RI buat melaksanakan siasat yg telah ditentukan sebelumnya, yakni Perintah Siasat No.1 Panglima Besar. Dengan perintah menjadi berikut :
- Kita telah diserang.
- Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo.
- Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
- Semua Angkatan Peran menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan dalam bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan pulang terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan tetapkan telepon, menghambat jalankereta api, menyerang konvoi Belanda, dan tindakan sabotase lainnya.
Pada lepas 19 Februari 1949, Letnan Kolonel Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda menurut Magelang ke Yogyakarta. Perwira Teritorial Letnan Kolonel. Dr. Wiliater Hutagalung bersama ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah buat mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949.
Untuk membangun jaringan Tentara Nasional Indonesia maka di tugaskan Letkol. Dr. Wiliater Hutagalung dalam awal Februari 1948 yg lalu semenjak September 1948 diangkat sebagai Perwira Teritorial & ditugaskan buat membentuk jaringan pesiapan gerilya pada wilayah Divisi II & III.
Pada pertemuannya menggunakan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tadi & melancarkan propaganda yg menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah nir ada lagi.
Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar jua sudah mendengar keterangan tadi. Panglima Besar menginstruksikan buat memikirkan langkah-langkah yang wajib diambil guna mengcounter propaganda Belanda.
Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “Grand Design” adalah:
- Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan melibatkan Wehrkreise I, II dan III
- Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
- Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
- Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
- Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar -besaran yang serentak dilakukan secara masif menggunakan penekanan serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta. Dalam penyerangan ini Letnan Kolonel Soeharto eksklusif memimpin pasukan berdasarkan sektor barat hingga ke batas Malioboro.
Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan buat sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki menjadi pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,semua pasukkan TNI mundur.
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki sang AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat. Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Dalam agresi ini siaran radio ini berhasil mengudarakan keberhasilan agresi 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang banyak diterima oleh pemirsa pada luar negari, sehingga menaruh simpati para pejuangan TNI.
Tujuan utamanya adalah Bagaimana memberitahuakn keberadaan TNI dan dengan demikian juga memperlihatkan eksistensi Republik Indonesia kepada global internasional. Untuk memperlihatkan keberadaan TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing dan para pengamat militer wajib melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.
Sumber Kepustakaan :
Hutagalung. R. Barata.2016. “Serangan Umum 1 Maret” Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat. Yogyakarta : Matapadi
DR. A.H. Nasution. 2006."Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau Bertempur Yogyakarta 19 Desember 1948, Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman.”
Wijaya Kusuma. 1 Maret 2016 . "Dari Gunungkidul Serangan Umum 1 Maret 1949 Mendunia."
CNN Indonesia. 25 Agustus 2015. "Perintah Kilat No. 1 Soedirman, Tulisan di Secarik Kertas."
0 comments:
Post a Comment