Nama Supriyadi diumumkan & dilantik menjadi Menteri Pertahanan Indonesia Pertama pada tanggal 2 September 1945. Tetapi, beliau tidak pernah ada ke publik, beberapa hari lalu jabatan tadi diserahkan pada Jenderal Sudirman. Dimanakah Supriyadi ketika itu? Hingga kini kontroversi akhir hayat Supriyadi masih menjadi misteri. Beberapa sumber menuliskan bahwa beliau masih hayati paska kemerdekaan, namun ada juga yg mengabarkan bahwa Supriyadi sudah meninggal dibunuh tentara Jepang.
Lelaki klimis belah tepi ini lahir di Trenggalek, Jawa Timur pada 13 April 1923. Saat muda, ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang dan diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia mendapat bertugas mengawasi para romusha membangun benteng-benteng pertahanan di pantai selatan dan Tuban. Dalam tugas tersebut, para anggota PETA kerap menyaksikan penderitaan rakyat, bahkan tidak jarang mereka menemui kerabat sendiri dalam gerombolan romusha. Banyak pekerja yang mati karena sakit juga kekurangan makanan. Melihat kondisi tersebut Supriyadi dan beberapa perwira sepakat merencanakan pemberontakan terhadap Jepang.
Pada awal tahun 1944 Supriyadi cs mulai melakukan rapatrapat rahasia. Gelagat mereka diketahui tentara Jepang yang kemudian menggagalkan rencana latihan bersama anggota PETA pada Tuban dalam lima Februari 1945. Usai gagalnya latihan beserta tadi, aktivitas pasukan PETA Blitar selalu diawasi. Namun Supriyadi beserta beberapa pimpinan PETA lain (Shodanco Muradi; Shodanco Suparjono; Bundanco Halir Manguedidjaja dan Bundanco Sunanto) berhasil menggelar kedap rahasia terakhir pada Kamar Halir Mangkoedidjaja dalam 13 Februari 1945. Hasil rapat merupakan dilakukan pemberontakan esok harinya. Sebelumnya Supriyadi jua sempat berdiskusi menggunakan Soekarno yg tengah berkunjung ke rumah orang tuanya, kala itu Soekarno memegang jabatan menjadi pemimpin PUTERA.
Dini hari pukul 03.00 pada 14 Februari 1945 rencana Supriyadi dimulai, senjata peluru dibagikan, dan barisan-barisan dipersiapkan. Serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang tinggal. Jaringan hubungan telepon diputus. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu pun segala jurusan. Selanjutnya pasukan PETA Blitar berhasil mengibarkan bendera merah putih di lapangan PETA Blitar (kini menjadi TMP Kota Blitar). Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar, membebaskan para tahanan, lalu menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Karena koordinasi yang kurang rapi, beberapa pimpinan salah menentukan sasaran.
Pasukan PETA berhasil diperdayai Jepang melalui sebuah perjanjian di Ngancar pada lepas 19 Februari 1945. Isi berdasarkan perjanjian tersebut diantaranya; Pemerintah Jepang akan mempercepat kemerdekaan Indonesia, nir akan melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar, & membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar. Akan namun, sekembalinya berdasarkan Hutan Ngancar, kurang lebih 67 anggota PETA ditangkap dan dibawa ke pengadilan Jakarta buat mendapat hukuman. Enam orang pimpinan, yakni Shodanco Muradi, Cudanco Ismangil, Shodanco Suparjon, Bundanco Halir Mangkudidjaja, Bundanco Sunanto, & Bundanco Sudarmo dieksekusi mati. Dalam persidangan nir tercatat nama Supriyadi, & sampai kini berita mengenai kondisi Supriyadi ketika itu tidak diketahui.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Nasional
0 comments:
Post a Comment