Setelah Jepang menyerah nir perdaya, pada satu kesempatan, beliau segera menghimpun para pemuda bekas murid Pelayaran Tinggi. Merebut beberapa buah kapal Jepang pada Jakarta kemudian bergerak menguasai beberapa kantor pada Tanjung Priok. Mereka lalu melakukan koordinasi & menciptakan BKR Laut Pusat, kemudian jadilah TKR Laut, hingga diubah lagi menjadi TRI Laut. Inilah cikal bakal Angkatan Laut Republik Indonesia dan Martadinata sebagai orang krusial dibalik itu seluruh.
Nama lengkapnya Raden Edy Martadinata yang lahir di Bandung. Ia menempuh pendidikan HIS di Lahat pada 1934, lalu sekolah di MULO Bandung pada1938, hingga masuk AMS Batavia pada 1941. Sesudah itu, ia meneruskan pelajaran ke Sekolah Pelayaran [Zeevaart School] di Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang, bekerja sebagai aspiran dan penerjemah pada Sekolah Pelayaran Tinggi di Semarang. Setelah Indonesia merdeka, dalam masa krusial, ia ikut terlibat langsung, bahkan menjadi penggagas pembentukan BKR Laut yang kemudian berkembang menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Ia lalu memangku jabatan Kepala Staf Operasi pada Markas Besar ALRI pada Yogyakarta, selain sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan Opsir di Sarangan. Selama berlangsung Agresi Militer II Belanda, dia bertugas di Aceh. Sesudah pengakuan kedaulatan, ia diangkat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya & waktu Belanda menyerahkan peralatan perangnya pada Angkatan Perang RI, termasuk Kapal Perang HrMS Morotai, ia menjadi komandan kapal ini yg berubah nama kapal perang RI Hang Tuah. Dimasa inilah dia turut memadamkan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan.
Tahun 1953, belajar di United States Navy Post Graduate School Amerika, dan selepas itu diperbantukan pada Departemen Luar Negeri serta dikirim ke Itali untuk mengawasi pembelian 2 kapal korvet [Almirante Clemente Class] untuk ALRI, yakni kapal RI Soerapati dan RI Imam Bondjol. Ia juga sempat berkunjung ke Yugoslavia dalam tugas yang sama, mengamati pembuatan kapal perang.
Sementara itu, dalam tubuh Angkatan Laut terjadi pergolakan. Sebagian anggota tidak puas terhadap kebijaksanaan pimpinan. Pergolakan itu memuncak pada 1959 dan menjurus ke arah timbulnya bentrokan bersenjata. Golongan yang tidak dapat menerima kebijaksanaan pimpinan, menuntut supaya Kepala Staf Angkatan Laut diganti. Melihat keadaan tersebut, pemerintah memberhentikan Laksamana Subiyakto dan mengangkat Kolonel Martadinata, yang dalam pertentangan itu bersikap netral, menjadi Pejabat Kepala Staf ALRI. Setelah menjadi Kepala Staf, ia berusaha sekuat tenaga mendamaikan kembali golongan-golongan yang tadinya berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Ketika Martadinata menjabat KSAL yang kemudian diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, ALRI memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifi k, seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak, antara lain 1 Cruiser [Sverdlov Class], 8 Destroyer [Skory Class], 8 Frigate [Riga Class], 12 Submarine [Wishkey Class] dan pelbagai kapal pendukung lain. Jumlah armada kapal Angkatan Laut hampir lebih dari 100 buah. Kala itu, angkatan laut dibawah Martadinata siap berperang melawan Belanda di Irian Barat.
Pada masa pasca gerakan 1 Oktober 1965, Martadinata meletakkan jabatannya menjadi KSAL dan kemudian ditunjuk menjadi Duta Besar RI buat Pakistan. Di masa jabatannya ini, dalam 6 Oktober 1966, ketika dia membawa rombongan petinggi angkatan bahari Pakistan, ia mengalami kecelakaan pesawat helikopter pada Riung Gunung, Jawa Barat. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Sehari selepas kecelakaan itu, beliau diangkat sebagai pahlawan nasional sang pemerintah Indonesia.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional
Pengarang: Kuncoro Hadi
0 comments:
Post a Comment