Kondisi politik Kesultanan Banjar memanas akibat kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di awal abad 19. Konfl ik intern perebutan tahta Kesultanan Banjar berubah menjadi perang saudara antara Pangeran Tamjidillah dengan Pangeran Hidayatullah. Pangeran Tamjidillah mendapat restu Belanda, ia berhasil memenangkan pertarungan, sedangkan Pangeran Hidayatullah yang sempat melakukan perlawananan bersama rakyat segera diasingkan ke Cianjur.
Pada tahun 1859, Pangeran Tamjidillah diangkat menjadi Sultan Kerajaan Banjar oleh Belanda. Paska pembuangan Pangeran Hidayatullah, perjuangan melawan “kompeni” diteruskan kemenakannya, Pangeran Antasari. Semenjak lahir di bumi Banjarmasin pada 1809, Antarasari yang berdarah biru tidak pernah hidup dalam lingkugan istana. Ia dibesarkan di tengah-tengah rakyat sehingga dengan cepat mendapat dukungan rakyat Banjar. Guna menambah kekuatan, Antasari menjalin sekutu dengan kepala-kepala daerah di Hulu Sungai, Marthapura, Barito, Pleihari, kahayan, dan Kapuas. Mereka bersepakat untuk bersama mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. Antasari beserta pendukungnya mengobarkan perang, yang kemudian dikenal dengan Perang Banjar.
Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 18 April 1859 ketika pasukan Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara di Pengaron. Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan semangat mereka sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Belanda mengajukan penawaran, Antasari akan mendapat imbalan setimpal jika ia mau berdamai dan menyerah kepada Belanda. Melalui surat tertanggal 20 Juli 1861 yang dilayangkan kepada Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin, Antarasari menolak tegas bujukan Belanda. Berikut cuplikan surat tersebut “ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)..”
Bulan Oktober 1862, saat pertempuran sedang berlangsung hebat-hebatnya, wabah cacar melanda daerah Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari tak luput dari serangan penyakit tersebut. Di samping itu, ia juga menderita penyakit paru-paru. Karena semakin parah, ia meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 lalu dimakaman di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah.
Sekira 96 tahun setelah meninggalnya Pangeran Antasari, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari pada 11 November 1958. Kerangka tersebut dimakamkan kembali di Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin. Karena perjuangannya, Pemerintah Indonesia memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 27 Maret 1968. Namanya diabadikan pada Korem 101/Antasari. Karena perjuangan Pangeran Antasari, Kalimantan Selatan kemudian mendapat julukan “Bumi Antasari”..
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional Oleh Kuncoro Hadi & Sustianingsih
0 comments:
Post a Comment