Esensi dari sistem ini adalah mengenakan kurs bagi ekspor lebih rendah daripada kurs bagi impor dan perbedaan kurs ini merupakan penerimaan APBN. Jadi, sistem ini pada hakikatnya nya merupakan perpajakan atas transaksi ekspor dan impor. Dalam perkembangannya, sistem ini menjadi semakin kompleks, penuh lubang-lubang potensial bagi penyelewengan dan akhirnya tidak efektif, berikut ini sebuah contoh perhitungan bagi Seorang eksportir Pada tahun 1966 yang menggambarkan betapa kompleksnya pelaksanaan sistem itu ($ = USD).
- Sebagai contoh, ia mengekspor 1.000 unit komiditi tertentu dengan harga yang ia terima $10 per unit. Ia memperoleh $10.000 hasil ekspor yang menurut undang-undang wajib ia serahkan seluruhnya kepada bank sentral (BLD--Biro Lalu Lintas Devisa).
- Dari jumlah itu, ia memperoleh kembali devisa dari rupiah. Devisa itu ia terima berbentuk 2 macam: Bukti Ekspor (BE) yang dapat digunakan (oleh ia sendiri atau orang lain) untuk mengimpor barang-barang tertentu, dan Devisa Pelengkap (DP) yang dapat digunakan (oleh ia sendiri atau orang lain) untuk mengimpor apa saja untuk tujuan lain apa pun (tidak ada pembatasan pemakaian).
- Berapa yang ia terima dalam. BE dan DP tergantung pada dua hal yang dari waktu ke waktu ditentukan dan diumumkan oleh pemerintah untuk komoditi tersebut. yaitu: harga patokan (atau "check price") dan persentase yang ia terima dalam bentuk devisa BE. Sebagai ilustarasi, seandaiknyacheck priceuntuk komoditi tersebut adalah $9 per unit dan persentase BE sebagai komiditi itu adalah 10%, perhitungannya adalah sebagai berikut: Dari total nilai $10.000, ia akan menerima 1.000 x 9$ = $9.000 dalam bentuk rupiah dan BE dan sisanya ($1000) ia terima dalam bentuk devisa DP. Dari $9000 itu, akan menerima, 10% x $9.000 = $900 dalam bentuk devisa BE dan sisanya $8.100 dalam bentuk rupiah kurs resmi, yaitu pada waktu itu adalah Rp10 per $; jadi ia menerima rupiah sebesar Rp 10 x 8.100 = Rp.81.000. Ringkasnya dari hasil ekspor total $10.000 ia menerima kembali $1000 devisa DP, $900 devisa BE, dan Rp 81.000.
- Devisa DP dan BE diperdagangan di pasar DP dan pasar BE, sehingga kurs dapat naik turun sesuai permintan dan penawaran. Pada tahun 1966, kurs DP rata-rata sekitar Rp.110 per $ dan kurs BE rata-rata sekitar Rp90 per $. Sedangkan kurs pasar bebas ( di Pasar Baru, misalnya) adalah sekitar Rp130 per $. Secara efektif, kurs yang diterima eksportir tersebut adalah [Rp81.000 + (110 x 1000) + (Rp90 x 900)]/10.000 = Rp.27.2 per $. Kurs ini lebih rendah daripada kurs yang ia peroleh seandainya suatu sistem kurs tunggal dan devisa bebas diterapkan. Perbedaan merupakan "pajak" atas transaksi ekspor tersebut. Karena itu, pada waktu itu banyak penyelundupan ekspor.
- Untuk barang-barang "esensial" (beras dan bahan makanan pokok lain, impor untuk proyek-proyek pemerintah dan BUMN-BUMN yang menyangkut kepentingan orang banyak) hanya boleh dilakukan oleh pemerintah/BUMN dengan kurs resmi Rp 10 per $).
- Di luar itu, swasta boleh mengimpor: (a) untuk barang-barang yang ada dalam daftar BE, dapat menggunakan devisa BE hasil ekspornya sendiri atau dibelinya dari pasar BE; (b) di luar itu, impor barang atau jasa harus dibiayai dengan devisa DP atau yang dibeli dari pasar bebas.
- Impor oleh pemerintah biasanya tidak dikenakan bea masuk atau pungutan lain. Sedangkan impor oleh swasta umumnya terkena bea masuk dan punguntan-pungutan lain (surchargesdan sebagainya) dengan tarif yang beraneka ragam dan kompleks. Di samping itu, tergantung komoditi yang diimpor, importir swasta sering diwajibkan pula untuk menyetor uang muka (prepayment) sebelum membuka LC dengan persentase yang berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan kondisi moneter (oleh karena itu, sistemprepaymentini juga dijuluki sebagi moneterad hoc).
0 comments:
Post a Comment