Menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada Balatentara Jepang dalam lepas 8 Maret 1942 pada Kalijati Subang berarti berakhirlah pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk menjaga ketertiban dan mengatur pemerintahan, Pendudukan Militer Jepang membagi daerah bekas Hindia Belanda menjadi dua bagian pemerintahan, yaitu:
1. Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Madura yg berada di bawah kekuasaan pemerintah militer Angkatan Darat (Rikugun). Di dalamnya dibagi lagi atas dua wilayah pemerintahan, yaitu:
(1) Pulau Sumatera di bawah kekuasaan Tentara ke-23 yg berkedudukan di Bukittinggi,
(dua) Pulau Jawa dan Madura pada bawah kekuasaan Tentara ke-16 yang berkedudukan di Jakarta.
2. Pulau Kalimantan dan wilayah Timur Besar yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan militer Angkatan Laut (Kaigun) & berkedudukan di Makasar. Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, penguasa militer Jepang berpegang dalam beberapa prinsip utama, yaitu:
1) Mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat (buat memenangi perang) & mempertahankan ketertiban generik;
2) Memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang telah terdapat;
3) Meletakkan dasar supaya daerah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutahan penduduknya sendiri.
Panglima Tentara ke-16 yg pertama pada Pulau Jawa adalah Letena Jenderal Imamura Hitoshi dengan ketua stafnya Mayor Jenderal Seizaburo Okazaki. Mereka ditugasi membentuk pemerintahan militer ad interim pada Jawa. Pemerintahan militer tingkat sentra dinamakan Gunseikanbu; sedangkan pemerintahan militer setempat (wilayah) diklaim Gunseibu,5 yg dibuat pada Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menggunakan pusatnya mesing-masing pada Bandung, Semarang, & Surabaya.
Di daerah Jawa Barat masih ada pemerintahan Gunseibu dengan loka kedudukan pemimpinnya di Bandung. Yang diangkat menjadi Kepala Gunseibu (Gubernur) Jawa Barat merupakan kol Matsui. Ia diwakili seseorang wakil berbangsa Indonesia, yaitu R. Pandu Suradiningrat dan Atik Suardi sebagai pembantu wakil gubernur.
Pada tanggal 29 April 1942 diangkat empat orang sebagai residen pada daerah Jawa Barat, yaitu:
(1) R.A.A. Hilman Jayadiningrat menjadi residen Banten berkedudukan pada Serang.
(dua) R.A.A. Suyajayanagara menjadi residen Bogor berkedudukan pada Bogor.
(3) R.A.A. Wiranatakusumahnsebagai residen Priangan berkedudukan pada Bandung.
(4) Pangeran Aria Suriadi sebagai residen Cirebon berkedudukan pada Cirebon.
Pemerintah militer sementara itu berlangsung hingga bulan Agustus 1942. Pada bulan tadi dikeluarkan Undang-Undang No. 27 dan No. 28 yang mengakhiri eksistensi Gunseibu. Berdasarkan Undang-Undang No. 27, struktur pemerintahan militer pada Jawa & Madura terdiri atas Gunsyireikan yg membawahi syucokan (residen) dan dua kotico (kepala daerah istimewa). Di bawah syucokan adalah kenco (bupati) dan syico (walikota). Di bawah kenco adalah gunco (wedana); di bawah gunco merupakan sonco (camat), & pada bawah sonco merupakan kunco (ketua desa).
Di wilayah Jawa Barat terdapat lima syucokan, yaitu Syucokan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon. Sejak itu jabatan syucokan (residen) dipegang oleh orang Jepang. Beberapa di antarnya adalah Onokuchi, Matsui, Ichibangase, masing-masing sebagai residen untuk Banten, Priangan, dan Cirebon.
Cirebonsyu dikepalai oleh Syucokan Ichibangase; wilayahnya meliputi kabupaten-kabupaten Cirebon, Kuningan, Indramayu, & Majalengka. Sejak 1 Desember 1944 Ichibangase diganti oleh R.M.A.A. Suriatanubrata. Adapun para bupati yg memerintah Cirebonsyu ketika itu merupakan:
1) Di Kuningan: R. Umar Said (1940 ? 1942) dan Rifai (1942 ? 1945);
dua) Di Majalengka: R.M.A. Suriatanubrata (1922 ? 1944) & R.A. Umar Said (1944 ? 1945);
tiga) Di Indramayu: R.A.A. Moh. Sediono (1933 ? 1944) dan Dr. Mujani (1944 ? 1945).
Sumber: Makalah Cirebon Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) sang Mumuh Muhzin Z.
Bourbon