Dilatarbelakangi sang perselisihan antara kaum norma dan kaum Padri di Minangkabau. Kaum Pedri sendiri merupakan sekolompok ulama yang baru balik dari Timur Tengah & balik buat memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau. Peran ini didasari sang perseteruan antara kaum adat & kaum padre tentang perkara penerapan syariat pada Tanah Minang.
Kaum Padri berusaha untuk menghilangkan unsur tata cara karena tidak sinkron menggunakan ajaran Islam. Unsur Adat tersebut antara lain norma seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, & jua aspek hukum adat matriarkat tentang warisan, dan longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal kepercayaan Islam. Kaum Padri ini sendiri yang melakukan hal tadi merupakan suatu aliran dalam Islam. Kaum Padri sendiri beraliran Islam Wahabi (Fundamentalis).
Perang Padri sendiri terbagi sebagai 3 periode :
- 1821-1825 : Perang antara Koalisi Belanda dan Kaum Adat melawan Kaum Padri
- 1825-1830 : Masa genjatan senjata (Perjanjian Manasang)
- 1830-1837 : Perang Antara Koalisi Kaum Adat dan Padri melawan Belanda.
1821-1825 : Kaum adat bekerja sama dengan Belanda dalam usaha mengalahkan kaum padri. Namun dalam kerja sama ini, kaum adat meminta diadakannya sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut adalah bahwa jika koalisi dapat memenangkan peperangan dengan kaum padri.
Maka Belanda nir diperkenankan buat melakukan perluasan ke wilayah Sumatera Utara, Belanda hanya boleh melakukan ekspansi ke wilayah Sumatera bagian tengah & timur. Perjanjian ini pun disetujui sang Belanda yg kemudian perjajiannya ini dikenal menjadi Treaty of Sumatera.
1825-1830 : Terjadi genjatan senjata. Hal ini dilakukan oleh Belanda mengingat sedang pecahnya perang Diponegoro yang melibatkan konflik besar di seluruh jawa. Belanda melakukan mediasi dengan kaum padri untuk melakukan genjatan senjata agar menciptakan suasana damai.
Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yg saat itu sudah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol buat berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masangdanquot; dalam tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda jua kehabisan dana pada menghadapi peperangan lain di Eropa & Jawa seperti Perang Diponegoro.
1830-1837 : Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mencoba kembali untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek).
Melihat maksud dan tujuan Belanda yg terselubung. Kaum Adat kemudian mengundurkan diri dari koalisi & beralih bergabung beserta Kaum Padri buat melawan Belanda. Kaum Adat menilai bahwa Belanda nir akan mematuhi perjanjian yang pernah dibuat & akan melakukan perluasan jua ke Sumatera Barat.
Sementara ketika Letnan kol Elout melakukan berbagai agresi terhadap Kaum Padri antara tahun 1831?1832, ia memperoleh tambahan kekuatan berdasarkan pasukan Sentot Ali Prawiradirja, galat seseorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah berkhianat dan bekerja dalam Pemerintah Hindia Belanda sehabis usai perang pada Jawa.
Pada bulan Juli 1832, berdasarkan Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah akbar pada bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, buat meningkatkan kecepatan penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut dalam bulan Oktober 1832.
Koalisi Kaum Padri & Adat melakukan perlawanan menggunakan bergrilya. Tetapi selama petempuran yg berlangsung bertahun-tahun. Pasukan koalisi kewalahan & mengalami kondisi pertempuran yg melambat. Uanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap semua pasukannya yang sudah bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 10 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap buat bertempur pulang.
Dalam syarat misalnya ini, tiba-datang tiba surat tawaran menurut Residen Francis di Padang buat mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan negosiasi.
Tuanku Imam Bonjol diminta buat tiba dan berundiing tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda buat menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol pada syarat sakit langsung dibawa ke Bukittinggi lalu terus dibawa ke Padang.
Pengasingan ini dilakukan bertahap & berpindah-pindah sampai pada saatnya Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Manado. Di Manado beliau mengalami pengasingan selama 27 tahun sebelum akhirnya tewas 8 November 1864.
0 comments:
Post a Comment