A. Latar Belakang Peristiwa
Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan keliru satu insiden yang melibatkan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), & rakyat sipil. Peristiwa ini berawal berdasarkan keadaan labil Indonesia yg baru tujuh tahun merdeka karena masih memakai sistem demokrasi liberal contoh Eropa (Belanda). Keadaan ini diperparah dengan buruknya syarat sosial-ekonomi, merebaknya praktik korupsi di pemerintahan, dan pembebasan Irian Barat yang terus tertunda. Akhirnya, hal tadi terakumulasi dan berujung pada pertentangan dan pertarungan internal antar aparatur pemerintahan Indonesia.
Source: kompas.Com
Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika itu terdiri atas pejuang-pejuang dari masa Perang Kemerdekaan. Melalui kebijakan Nederlanse Militaire Missie (NMM) dalam kabinet Perdana Menteri Wilopo, mutu teknis militer TNI akan ditingkatkan, kemudian mereka juga akan diikat oleh disiplin yang melembaga oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Angkatan perang tersebut diharapkan dapat berada di tingkatan yang sama dengan partai-partai politik di pemerintahan.
Hal tadi memancing kegelisahan menurut partai-partai politik. Mereka menganggap eksistensi Angkatan Perang kelak dapat mengakibatkan persaingan sosial-politik antar aparatur pemerintah. Internal Angkatan Darat (AD) pun merasa nir siap, apalagi masih ada berita bahwa akan dilangsungkan demobilisasi atau dipensiunkannya ex-PETA secara akbar-besaran. Upaya profesionalisme ini ditolak & oposisi didukung sang Partai Nasional Indonesia (PNI) & Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tanggal 13 Juli 1952, mantan tentara PETA bernama Bambang Supeno melayangkan surat kepada Perdana Menteri Wilopo, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Parlemen. Sebelumnya, Supeno menjabat sebagai ketua Akademi Militer Candradimuka di Bandung yang ditutup oleh Nasution dengan alasan penghematan anggaran. Sebagai counter-act dari tindakan Nasution tersebut, muncul keinginan Supeno untuk mengajukan penggantian Nasution sebagai KSAD, serta mencari dukungan bagi dirinya di beberapa daerah di Indonesia. Surat tersebut berisikan pernyataan Supeno yang telah hilang kepercayaan kepada atasannya, yaitu A.H. Nasution. Ia juga meminta parlemen untuk mengadakan perbaikan pimpinan atau reorganisasi Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Menanggapi surat Supeno, KSAP mengirim surat friksi kepada pemerintah buat menindaklanjuti surat Supeno sesuai menggunakan mekanisme militer karena Supeno dianggap melanggar disiplin. KSAP menginginkan Supeno buat dibebastugaskan melalui Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, hasrat Supeno kelihatannya didukung sang Presiden Soekarno. Indikasi dukungan tersebut terlihat dalam saat Presiden Soekarno menolak pengajuan pembebastugasan Supeno sang Hamengkubuwono IX.
Konflik Internal TNI AD ini kemudian menjadi perhatian parlemen setelah “Surat Kolonel Bambang Supeno”, sebagaimana surat tersebut disebut oleh A.H. Nasution, dimuat di media pers dan sampai ke DPRS sehingga menimbulkan perdebatan sengit di DPRS dan berujung pada sidang-sidang yang memunculkan mosi-mosi dari berbagai pihak. Pada tanggal 28 September 1952, keluar mosi tidak percaya dari Zainul Baharuddin dan Ir. Sakirman (PKI, Partai Murba, dan Partai Buruh) kepada parlemen yang menuntut reformasi dan reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan dan TNI AD atas ketidakmampuan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik internal TNI AD, serta membentuk komisi di parlemen untuk menyelidiki penyelewengan-penyelewengan administratif dan keuangan dalam Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Pada lepas 10 Oktober 1952 dilangsungkan Rapat Kolegial atas usulan kol Djatikusumo. Dalam rapat tersebut, dibicarakan mengenai perdebatan di DPRS dan mosi yang diajukan dalam Kementrian Pertahanan. Mereka putusan bulat untuk terus memantau perdebatan di DPRS dan menunggu perkembangan apakah akan timbul mosi-mosi lain.
Tidak lama setelahnya, dalam lepas 13 Oktober 1952 ada mosi dari I.J. Kasimo dan Moh. Natsir (Partai Katolik dan Masyumi) buat menyudahi program NMM dan membentuk komisi penyelidik masalah yg dikemukakan pada mosi Baharuddin sebelumnya dengan anggota berdasarkan parlemen dan kabinet. Lalu pada tanggal 14 Oktober 1952 ada mosi lain dari Manai Sophiaan, Arudji, & Idham Chalid (NU dan PSII) yg berisikan tentang peninjauan balik pimpinan Tentara Nasional Indonesia AD.
Kemunculan dua mosi lainnya inilah yg menjadi duduk perkara karena DPRS dinilai terlalu mencampuri permasalahan internal Tentara Nasional Indonesia AD & hegemoni tersebut dirasa bisa menyebabkan krisis di pemerintahan karena melanggar hak prerogatif TNI AD. Mosi Baharuddin ditolak, ad interim mosi Kasimo dipercaya lemah, & mosi Sophiaan dipertahankan sehabis memenangkan 91 bunyi melawan 54 bunyi yg tidak menyetujui.
Pasca disetujuinya mosi Sophiaan dalam lepas 16 Oktober 1952, Golongan Elang, yaitu golongan paling keras di kalangan perwira AD menggerakkan massa sebanyak 30.000 orang buat berkecimpung ke Parlemen, kemudian ke Istana Negara buat menuntut pembubaran parlemen & penyelenggaraan pemilihan generik. Golongan Elang merupakan golongan perwira yang menginginkan dilibatkannya militer pada pengambilan keputusan politik, suatu impian yg ditahan oleh Simatupang dan Nasution selaku KSAP & KSAD guna mencegah terjadinya perebutan kekuasaan.
Meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952
PNI merasa tidak bahagia terhadap setiap bisnis buat mengurangi birokrasi, sedangkan pengurangan-pengurangan yg direncanakan pada kalangan militer menimbulkan konflik yang gawat pada tubuh TNI AD. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, A.H. Nasution, T.B. Simatupang, & sebagian pendukung terdekat mereka merupakan orang non-partai. Para tokoh pada atas memiliki suatu planning sentralisasi dan demobilisasi buat mengurangi jumlah anggota tentara berdasarkan 200.000 menjadi 100.000 orang.
Usulan ini mengadu domba kelompok pusat menggunakan para panglima tentara wilayah yang bersimpati kepada Soekarno. Kritik terhadap planning tersebut menyatakan bahwa para petinggi Tentara Nasional Indonesia ini menginginkan suatu organisasi militer yang hanya setia kepadanya dan kemudian dapat melancarkan suatu perebutan kekuasaan.
Para panglima wilayah berusaha menentang usaha tadi. Mereka didukung oleh sekutu-sekutu politik mereka yang ada di Jakarta. Di DPRS sendiri, timbul tuntutan supaya kepemimpinan tentara pusat dibubarkan & Kementrian Pertahanan direorganisasikan sebagai tuntutan tandingan yg diajukan pihak militer. Menghadapi tantangan ini, maka grup tentara sentra mengadakan unjuk kekuatan pada depan Istana Negara. Pada tanggal 17 Oktober 1952, mereka membawa tank-tank beserta artileri militer & demonstran yg berjumlah lebih kurang 30.000. Demonstrasi ini berkecimpung menuju depan Istana Negara, menuntut pembubaran parlemen selesainya sebelumnya mampir pada Gedung Parlemen dan melakukan sejumlah tindakan anarkis dengan mengacak-acak isi gedung tersebut. Menanggapi hal ini, Soekarno berbicara kepada massa yang berkerumun.
Soekarno menjelaskan bahwa parlemen tidak dapat begitu saja dibubarkan karena dirinya bukanlah seorang diktator yang dapat bebas melakukan apa saja karena ia butuh pertimbangan, dan jika ia menuruti begitu saja maka akan tidak sesuai dengan ideologi negara. Presiden menolak desakan itu dan berkata akan menyelidiki lebih dahulu keinginan rakyat di luar Jakarta dan akan mendesak pemerintah agar mempercepat pemilu. Namun, presiden menyatakan menolak pembubaran DPRS karena ia bukan diktator. Dikatakannya pula bahwa para demonstran hanya merupakan sebagian dari rakyat Jakarta yang tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia. Lalu mengenai pemilu, presiden setuju bahwa pemilu akan diadakan secepatnya. Presiden lalu memerintahkan masa untuk membubarkan diri.
Selesai menghadapi para demonstran, Soekarno menerima delegasi tentara yg terdiri menurut golongan yang loyal tehadap pimpinan Tentara Nasional Indonesia yg antara lain merupakan T.B. Simatupang, Kolonel Nasution, Letkol Soetoko, kol Alex Kawilarang, kol Gatot Subroto dan beberapa Perwira Tentara Nasional Indonesia AD. Pada waktu itu, perwira-perwira senior sudah mendapat izin dari Perdana Menteri & Menteri Pertahanan buat mengungkapkan pendapat mereka pada Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Dalam rendezvous tersebut, Golongan Elang yang paling keras pada antara perwira-perwira menuntut agar Angkatan Darat diikutsertakan pada proses pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan politik. Dalih mereka adalah lantaran kemerdekaan sebagian akbar dicapai berkat perjuangan mereka sendiri, maka mereka berhak untuk ikut menentukan nasib negara pada bidang politik.
Delegasi TNI antara lain menyatakan bahwa DPRS yang ada tidaklah representatif dan merupakan sumber ketidakstabilan politik sehingga menyebabkan kabinet-kabinet tidak dapat melaksanakan program-programnya dengan tepat waktu. Selain itu, terkait intervensi yang dilakukan oleh DPRS terhadap kebijakan TNI amatlah membahayakan negara. Karena itu dinyatakan oleh mereka, Presiden agar segera mengatasi “jalan buntu” di parlemen dengan membubarkan parlemen dan membentuk kembali secepat mungkin sesuai keinginan rakyat. Oleh karena itu, pimpinan Angkatan Perang mendesak kepala negara untuk membubarkan DPRS dan membentuk DPR baru. Pernyataan itu ditandatangani oleh KSAD, para Panglima Teritorium, asisten-asisten KSAD serta inspektur-inspektur kesenjataan/jawatan sebanyak 16 orang perwira menengah.
Soetoko yang bertindak menjadi juru bicara menyatakan pada Presiden bahwa parlemen yg sekarang bertanggung jawab terhadap keadaan negara yg nir stabil karena parlemen nir mengijinkan kabinet-kabinet untuk bekerja relatif lama pada menyusun kebijaksanaan & melaksanakannya. Dia pula menyatakan bahwa parlemen yang ada tidaklah mewakili masyarakat karena angggota-anggotanya nir dipilih dan sebagian orang-orang yg berada pada parlemen pernah berhubungan menggunakan Belanda di ketika TNI sedang berjuang untuk kemerdekaan nasional dan lantaran itulah ia menyebutkan bahwa orang-orang seperti itu nir seharusnya diberi kekuasaan & juga nir berhak buat mencela & menyerang tentara.
Setelah perwira-perwira tinggi tersebut meninggalkan istana, Presiden & tokoh-tokoh politik yg hadir tetapkan untuk mereseskan parlemen. Pada sore harinya tentara menetapkan jaringan telekomunikasi & melarang terbitnya beberapa surat liputan. Enam tokoh politik ditangkap, jam malam diberlakukan, dan rendezvous yg dihadiri lebih berdasarkan 5 orang dihentikan. Namun, setelah beberapa hari lalu orang-orang sipil yg ditangkap itu dibebaskan pulang & seluruh pembatasan dicabut.
C. Pasca Peristiwa 17 Oktober 1952: Kejatuhan Kabinet & Pengunduran Diri
Implikasi yg terlihat kentara dari peristiwa ini merupakan terjadinya perpecahan pada tubuh TNI AD, sebagai akibatnya lalu timbullah gerombolan pro 17 Oktober dan anti 17 Oktober. Setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober poly timbul penafsiran terhadap insiden tadi. Para politisi sipil menganggap bahwa peristiwa itu adalah sebuah ?Perebutan kekuasaan yang gagal?. Sedangkan Presiden Soekarno & Nasution sendiri berkata bahwa peristiwa 17 Oktober sebagai suatu ?Peristiwa 1/2 perebutan kekuasaan? Atau half-coup.
Peristiwa 17 Oktober 1952 mengakibatkan banyak hal pada berbagai sektor. Akibat terbesar dirasakan secara langsung sang Angkatan Darat Republik Indonesia menggunakan adanya perpecahan yg membutuhkan waktu beberapa tahun buat mengembalikan persatuan di tubuh Angkatan Darat Republik Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal Mayor T.B. Simatupang diberhentikan & dihapuskan jabatannya menjadi Kepala Staf Angkatan Perang. Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution pun merogoh perilaku menggunakan pengunduran dirinya menjadi bentuk pertanggungjawabannya atas terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Posisi A.H. Nasution lalu digantikan oleh kol Bambang Sugeng.
Para perwira yang nir senang dengan Nasution melakukan tindakan anti Nasution dengan melancarkan aksi anti 17 Oktober. Padahal petisi yang disampaikan para pemimpin Angkatan Darat sama sekali tidak memberitahuakn sikap yang memusuhi Presiden Soekarno, sekaligus pula nir menginginkan jatuhnya Kabinet Wilopo. Tetapi, gerakan yang mereka lakukan ternyata tidak mendapatkan dukungan yang relatif, bahkan Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa akan ada aksi balasan terhadap para ?Pembaharu dalam tentara? Itu, & ia memastikan akan menepati janjinya tadi.
Perpecahan dan timbulnya kubu-kubu pada Angkatan Darat pun nir bisa dielakkan, yaitu ketika ada kubu pro & kontra. Selama beberapa waktu, masih ada suasana saling menentang antara yg pro dan yang anti gerakan 17 Oktober. Pendekatan baru terjadi antara Masyumi & PNI menghadapi PSI yang ketika perdebatan berlangsung berpihak pada golongan 17 Oktober.
Pada lepas lima Desember 1952, secara resmi A.H. Nasution diberhentikan menjadi KSAD . Selain itu Perdana Menteri pula memberhentikan Letnan Kolonel Sutoko & Letnan kol S. Parman menurut segala jabatan mereka. Kemudian dalam tanggal 16 Desember 1952, pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Sugeng menjadi KSAD menggantikan kedudukan Nasution.
Walaupun begitu, kebijakan yg diambil Perdana Menteri pada menghadapi pertarungan tersebut kurang mendapat persetujuan berdasarkan partai-partai pendukung kabinetnya. Dalam kongres partai pada Surabaya pada bulan Desember 1952, PNI menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober merupakan ?Pemerkosaan demokrasi?. Mereka lalu menuntut agar pemerintah dapat merampungkan masalah itu secepatnya, dengan pengertian bahwa cara penyelesainnya harus mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno.
Akan namun Perdana Menteri pada merampungkan perseteruan peristiwa 17 Oktober seperti yg dijelaskan dalam kedap tertutup parlemen & pada para panglima dijelaskan bahwa Perdana Menteri hanya bersedia menjalankan kebijakan sebagai berikut: (1) Penggantian pimpinan Angkatan Darat yg secara formal & obyektif dianggap bertanggungjawab atas insiden tadi; (dua) Penggantian beberapa pejabat dalam Kementrian Pertahanan; (tiga) Reorganisasi melalui Undang-Undang Pokok Pertahanan yg segera dibuat; (4) Membuka parlemen pulang selesainya direseskan beberapa waktu sementara menunggu keadaan balik tertib; (lima) Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat criminal, misalnya pengerusakan-pengerusakan pada gedung parlemen, akan diusut sang Jaksa Agung; (6) Pertikaian dalam kalangan Angkatan Darat dalam pokoknya juga hanya dapat diselesaikan oleh internal Angkatan Darat sendiri. Maka berdasarkan itu lalu, para Panglima Angkatan Darat dikumpulkan di Jakarta buat menyampaikan permasalahan tersebut & hasilnya akan diindahkan sang Perdana Menteri menggunakan benar-benar-sungguh.
Tindakan pemerintah atas pertarungan tersebut merupakan diterbitkannya Surat Keterangan dalam lepas 22 November 1952 yang menyatakan bahwa dalam tanggal 17 Oktober 1952 tidak terjadi kudeta atau percobaan kudeta apapun. Pemerintah tidak dapat mewujudkan persatuan di lingkungan Angkatan Perang, namun hanya berhasil mengusahakan Angkatan Perang balik kepada tugasnya sehari-hari . Dapat dikatakan jua insiden ini mulai menggoyahkan kabinet dalam masa itu.
Pejabat Panglima TT V/Brawijaya, Letnan kol dr. Suwondo mendukung perilaku pimpinan Angkatan Darat serta mengajukan pengunduran dirinya. Sikap ini ditentang oleh salah seseorang komandan resimennya, yakni Letnan Kolonen Sudirman, Pengunduran diri Letnan Kolonel dr. Suwondo ditindaklanjuti dengan penempatan Sudirman sebagai pejabat panglima.
Peristiwa serupa terjadi pula di lingkungan TT VII/Sulawesi. Kepala Staff TT VII Letnan kol J.F Warrouw merogoh alih pimpinan menurut tangan panglimanya, Kolonel Gatot Subroto, yg mendukung peristiwa 17 Oktober 1952. Pengambilalihan jabatan terjadi jua di TT II/Sriwijaya menurut Pejabat Panglima Letnan kol Kosasih ke tangan Letnan Kolonel Kretarto. Namun, pemerintah mengambil tindakan lain, yakni mengangkat kol Bambang Utoyo yg sudah dipensiunkan pada September 1952 menggunakan menjabat menjadi Panglima TT II yg baru.
Pada akhirnya, penyelesaian yang diupayakan pemerintah mengenai kasus 17 Oktober 1952 tidak memuaskan seluruh golongan. Namun, Perdana Menteri permanen dalam pendiriannya yg didasarkan atas pertimbangan bahwa negara kita yang masih muda ini baru mulai merintis pembangunan pada segala bidang, termasuk bidang pertahanan. Perintisan Indonesia sebagai ?Negara muda? Tadi nir bisa terealisasi dengan baik jika angkatan perangnya terpecah-belah. Sementara itu, pemerintah terus didesak sang berbagai partai dan golongan dalam rakyat yg merasa nir puas menggunakan cara penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX turut mengundurkan diri sebagai Menteri Pertahanan pada bulan Januari 1953, disusul oleh Sekjen Pertahanan Ali Boediardjo pada bulan Maret dan oleh T.B Simatupang bulan November ketika jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dihapus. Kekuasaan pimpinan pusat TNI telah dipatahkan, anggaran belanja tentara pun dikurangi.
Agar perpecahan pada Angkatan Darat dapat diselesaikan, maka dilaksanakanlah musyawarah antara golongan pro 17 Oktober dengan golongan anti 17 Oktober. Pertemuan ini dihadiri oleh 29 orang perwira senior Angkatan Darat. Yogyakarta sebagai tempat dilaksanakannya musyawarah antargolongan ini, menurut tanggal 21-25 Februari 1955. Pertemuan yang disebut Rapat Collegiaal (Raco) ini membahas 3 perkara pokok, yaitu :
1. Keutuhan dan persatuan Angkatan Darat;
2. Penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952;
tiga. Pembangunan Angkatan Darat.
Dalam rendezvous tersebut didapatkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia yang pula disebut Piagam Yogyakarta. Dengan adanya penandatanganan piagam tersebut sang 29 Perwira Senior Angkatan Darat, maka Peristiwa 17 Oktober 1952 dianggap telah selesai. Namun, pelaksanaan piagam tadi tidak bisa berjalan menggunakan baik, karena sesudah berakhirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, KSAD Kolonel Bambang Sugeng meletakkan jabatannya lantaran merasa nir bisa melaksanakan isi Piagam Yogyakarta.
Pemerintah kemudian menetapkan buat mengangkat kol Bambang Utojo, Panglima Tentara & Territorium II/Sriwijaya sebagai KSAD. Pengangkatan ini menimbulkan respon berdasarkan Wakil KSAD kol Zulkifli Lubis & kalangan Angkatan Darat sendiri. Upacara peresmian KSAD dalam lepas 27 Juni 1955 diboikot oleh para perwira senior Angkatan Darat dan Kolonel Zulkifli Lubis sendiri menolak buat melakukan serah terima dengan Bambang Utoyo, bahkan KSAD yg baru ini nir diijinkan buat memasuki Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD).
Adanya kekacauan ini mengakibatkan Ketua Seksi Pertahanan dalam Parlemen, Zainal Baharuddin, dengan dukungan B.M. Diah, Margono Djojohadikusumo, Mr. T.M. Hassan, dan Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini sempat membuat Pemerintahan Indonesia menjadi kacau.
Paper Sejarah Militer Indonesia Peristiwa 17 Oktober 1952
Oleh:
Dian Vinnie Fabyola
Katri Adiningtyas
Noor Fatia Lastika Sari
Novia Osian Ayu Pramita
0 comments:
Post a Comment