Harian Sejarah -Dalam arus politik belakangan, homoseksualitas adalah hal yang cukup menjadi perbincangan di kalangan luas masyarakat Indonesia. Berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang menolak untuk memperluas pasal tentang perzinahan, perbincangan lanjutan di berbagai forum kemudian diisi dengan pembahasan tentang homoseksualitas –ada yang mendukung keputusan MK, demikian tidak kurang yang kontra terhadapnya.
Menjadi perhatian penulis waktu lalu sekian poly argumen yang muncul merujuk dalam dasar ajaran kepercayaan -kepercayaan yang diakui Indonesia. ?Semua agama di Indonesia menolak interaksi homoseksual?, demikian itulah kira-kira argumen yang muncul dalam forum-forum.
Merujuk dalam ?Seluruh kepercayaan ? Adalah membicarakan enam kepercayaan yg diakui Indonesia, yang artinya pula melibatkan Buddhisme pada dalamnya. Untuk menghindari saling duga yang tidak berdasar, kemudian tulisan ini dibentuk. Tulisan ini akan memberikan citra singkat mengenai pandangan Buddhisme terhadap hubungan homoseksualitas dan meluruskan posisinya. Demikian, supaya holistik rakyat Indonesia nir terjebak dalam karma jelek kolektif dengan menggunakan Buddhisme buat mengutuk perilaku homoseksual.
Pandangan Buddhisme tentang hubungan homoseksual secara singkat menunjukkan perilaku yg sama sekali tidak mengutuk atau menolaknya. Ajaran Buddhisme yang disusun melalui sidang pertama para Sangha sampai masa-masa selanjutnya memberikan citra bahwa hubungan homoseksual dilihat sama posisinya seperti interaksi lain yang pada dalamnya mengandung daya tarik seksual. Dalam Buddhisme, semua daya tarik seksual diawali berdasarkan motivasi dan motivasi setiap orang ?Yang unik & khusus, dihargai secara tinggi. Kecuali bila motivasi itu mencelakakan makhluk lain, baru lalu dianggap sebagai sesuatu yang dursila.
Dengan demikian, dengan pandangan Buddhis lalu dapat ditanyakan apakah hubungan homoseksual atau orientasi seksual homoseks seseorang membahayakan orang lain? Apakah interaksi mereka menimbulkan korban? Ataukah interaksi mereka menyakiti makhluk lain? Bila lalu jawabannya adalah hubungan mereka menyakiti makhluk lain, pada pandangan Buddhis dapat dikatakan bahwa memang usahakan suatu hal tidak boleh menyakiti makhluk lain. Terkadang muncul pandangan bahwa konduite homoseks bisa menular & menyebar hingga menyebabkan "korbandanquot;, lalu ada pertanyaan selanjutnya tentang apakah anda akan berubah menjadi homoseks menggunakan melihat orang lain berperilaku demikian?
Jika tidak, lalu itu berarti nir bermasalah dan mengakibatkan korban. Demikian, sekali lagi penulis tekankan bahwa Buddhisme tidak mengutuk konduite homoseksual, kecuali itu menyakiti makhluk lain. Buddhisme memandang seseorang homoseksual menjadi sebuah individu, & ini adalah memandang heteroseksual, biseksual dan selibat pada penghormatan yang sama dengan homoseksual. Ajahn Brahm, seseorang tokoh Theravada, membabarkan bahwa sebagian akbar umat Buddha di seluruh global terkini belajar berdasarkan wangsit bahwa Sang Buddha tentu tidak diskriminatif terhadap homoseksualitas.
Ajaran-ajaran primer dari Buddhisme jelas menampakan bahwa kualitas seorang tidak tentang urusan apakah seorang berorientasi heteroseksual, homoseksual atau selibat yg lalu dapat ditentukan menjadi hal yg baik atau tidak baik, tetapi justru mengenai bagaimana seseorang memakai orientasi seksual mereka buat menjadikan hukuman alam baik atau buruk. Dengan demikian jika seorang homoseks berlaku cinta kasih pada ungkap istilah & perbuatan dalam pasangan mereka, itu lebih baik menurut seorang heteroseksual yg melakukan kekerasan pada pasangannya, demikian sebaliknya.
Menilik lagi lebih pada intisari Buddhisme, bisa kita temukan tujuan sejati ajaran Buddha Sakyamuni (Siddharta Gautama), bahwa seluruh ajarannya adalah jalan buat tujuan pencapaian pencerahan. Tujuan primer ini dapat kita kenali pada Buddhisme sebagai pembebasan, terbebas berdasarkan alam samsara & lalu menjadi Buddha. Apakah lalu homoseksualitas merupakan halangan mencapai tahapan Buddha?
Hal itu ditinggalkan pada masing-masing individu. Manusia menggunakan orientasi heteroseksual dapat juga menemukan halangan dalam mencapai tahapan Buddha, demikian pula homoseksual, tetapi orientasi seksual mereka tidak diperhitungkan pada pencapaian itu sendiri. Apa yg kemudian sebagai halangan merupakan kemelekatan pada hal yg duniawi, demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang heteroseks yang melekat dalam hal duniawi nir lebih baik dari homoseks yg nir melekat. Dalam bisnis mencapai tahapan Buddha, Buddhisme sekali lagi nir mendiskriminasi orientasi seksual termasuk homoseksual.
Selain mencapai tahapan Buddha, ajaran Buddha pula bertujuan supaya semua makhluk bisa terbebas berdasarkan kesengsaraan & mencapai kebahagiaan. Dengan mengedepankan pandangan bahwa setiap kehidupan adalah unik & khusus, dan dengan demikian menghargai pula seorang homoseksual yg menentukan hayati untuk sebagai homoseks, Buddhisme nir akan mengutuk konduite itu apabila dalam arti yg sahih mereka menjalankan hidupnya tanpa menyakiti makhluk lain. Jika seseorang menjadi lebih bahagia pada pilihannya buat sebagai homoseks, lingkungannya juga hendaknya berharap buat kebaikan dan kebahagiaannya. Demikian itulah ajaran Buddha.
Pandangan yang selanjutnya pantas diberikan merupakan tentang dosa. Buddhisme nir melihat homoseksualitas sebagai dosa, bahkan kata dosa itu sendiri diartikan secara tidak selaras pada Buddhisme. Apa yang kira-kira bisa hampir disetarakan dengan istilah itu merupakan karma buruk. Demikian itupun Buddhisme nir melihat homoseksualitas sebagai hukuman alam tidak baik.
Bahkan pada penjelasan intelektual Buddhisme Tantrayana, Khenpo Sodargye, disebutkan bahwa konduite homoseksual tidak akan menyebabkan suatu makhluk (manusia termasuk di dalamnya) buat terjatuh ke pada alam yang lebih rendah pada masa hidup berikutnya. Dengan demikian sekali lagi Buddhisme memberitahuakn bahwa tidak terdapat sikap mengutuk dan menolak homoseksual pada ajarannya.
Selanjutnya penulis akan bicara tentang sila, yang akan dibahas melalui sudut pandang Buddhisme yg umum. Dalam pandangan Buddhisme generik terdapat yg diklaim menjadi embargo terhadap sexual misconduct yg poly diterjemahkan sebagai tindakan asusila. Tindakan sexual misconduct ini pada pandangan Buddhis kemudian terjadi bila terdapat empat hal: orang yang tidak patut disetubuhi, niat buat menyetubui, usaha buat menyetubui dan keberhasilan menyetubui. Kita bisa melihat bahwa hal ini berlaku secara netral, bila kita pandang hal ini untuk diterapkan dalam seseorang heteroseks, bisa saja terjadi, demikian juga terhadap homoseks.
Dengan demikian tidak terdapat jaminan bahwa kasus persetubuhan antara pria dan wanita tidak masuk dalam ranah sexual misconduct ?Demikian juga tidak ada agunan bahwa hal demikian nir berlaku pada hubungan homoseks. Buddhisme memang membedakan laki-laki & perempuan secara kentara pada hal kapasitas ?Untuk itu sila buat Sangha laki-laki tidak sama menggunakan Sangha wanita, tetapi nir memberikan pemikiran bahwa mereka harus selalu berpasangan.
Mungkin kemudian timbul argumen lain bahwa dunia berjalan menggunakan sistem yang disebut menjadi famili ?Yg secara konvensional dilihat sebagai suami, istri dan keturunan mereka. Tetapi Buddhisme nir melihat hal ini dalam batas pandang sesempit itu. Buddhisme lahir dari perpaduan Sangha yang tidak berkeluarga demikian juga kebudayaan global amat majemuk sebagai akibatnya tidak dapat digeneralisasi menjadi output dari sistem keluarga.
Dengan demikian kehidupan setiap makhluk tidak bisa dipaksakan buat mengikuti suatu penilaian yang dianggap generik dan dipakai buat mendikte kehidupan seorang ?Contohnya buat memulai sebuah ?Famili? Yang merupakan didiktekan menjadi persatuan antara pria dan wanita yg bertugas menghasilkan keturunan. Suatu argumen yang ada lalu merupakan bahwa hubungan heteroseks sinkron menggunakan alam dan dengan demikian mempunyai konduite yg tidak sinkron ?Misal homoseksual, merupakan merupakan melawan alam dan menggunakan demikian melawan kehendak Yang Maha Kuasa.
Master Zhao Hui dari Taiwan, lalu berkata pada satu pidatonya bahwa argumen ini secara langsung jatuh dalam jebakan naturalisme pada filsafat, bahwa apa yang diberikan kepada kita oleh alam nir selalu sempurna. Beliau memberikan contoh bahwa bila seorang anak lahir pada syarat cacat, tetapi dapat diperbaiki dalam operasi, apakah orang tuanya nir ingin memperbaiki kecacatan anaknya? Dan demikian sama halnya melawan alam? Lalu mengapa alam kemudian tidak menghukum orang tuanya?
Hukum alam, menurutnya, terkadang memberikan dalam kita ketidakberuntungan dan kecacatan sebagai akibatnya kita kemudian memiliki pilihan buat memperbaikinya. Ini merupakan nilai dari kemanusiaan. Homoseksualitas tidak misalnya sebuah kecacatan yang lalu Mengganggu seseorang memperoleh kebahagiaan, nir juga secara pasti menambah kemelekatan dalam dunia yg merusak jalan menuju pencapaian keBuddhaan.
Melanjutkan pembahasan tentang sistem keluarga, Buddhisme nir memiliki standarisasi bahwa sebuah pernikahan memiliki tugas buat membuat keturunan. Pernikahan pada Buddhisme dipandang melalui berbagai sudut pandang sehingga nir hanya memiliki fungsi prokreasi. Dalam hal ini, Master Zhao Hui sekali lagi menyerukan agar tidak tahu pernikahan menjadi persatuan antara sperma & sel telur. Persatuan antara 2 individu akan sebagai amat baik jika bisa mendukung 2 individu buat berjuang mencapai kebenaran sejati & pembebasan sejati.
Buddhisme menaruh pilihan bagi individu yang ingin bersatu dengan individu lain, atau menjalani kehidupan selibat dan menjadi viharawan. Buddhisme juga memberikan pilihan individu buat menikah atau tidak menikah dalam kultur yang mereka miliki, Buddhisme meninggalkan urusan seremonial pada masing-masing kultur sebagai akibatnya nir memaksa seseorang untuk terpaku dalam seremonial Buddhis.
Semua pilihan merupakan unik & spesifik, semua kehidupan merupakan unik & spesifik, semua motivasi adalah unik dan khusus, jika kesemuanya itu nir mencelakakan makhluk lain, Buddhisme akan menghargainya. Perilaku yg tidak menciderai Dharma & tidak menodai kebijaksaan, sekalipun itu merupakan perilaku homoseksual tidak akan dikutuk dan dihujat oleh Buddhisme.
Demikian itu juga Buddhisme hendaknya nir dijadikan indera untuk menebarkan kebencian & subordinat, yang akan menciptakan seluruh makhluk sebagai terjatuh pada kesengsaraan lewat kebencian, kesedihan & segala macam emosi negatif yg lainnya.
Penulis : C.Reinhart dapat dihubungi di christopher.reinhart@ui.ac.id.
Editor: Imam Maulana
Referensi
Dalai Lama. 2014. Dalai Lama Interview on Larry King Now Ora TV 3rd of October 2014.
Ikeda, Daisaku. 1987. Buddhisme Seribu Tahun Pertama. Jakarta: Indira.
Master Zhao Hui. 2016. Public Hearing Session on the Proposed Same-Sex Marriage Bill 24th of November 2016 at the Parliament of Taiwan.
Powers, John. 1995. Introduction to Tibetan Buddhism. New York: Snow Lion Publications.
Sodargye, Khenpo. 2015. Intellectual Conversation with Professor Eyal Aviv 2nd of January 2015.
Tsongkhapa, Je. 2013. Maha-Bodhipatha-Krama (Lamrim Chenmo), Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan Jilid I. Bandung: Kadam Choeling.
_________. 2013. Maha-Bodhipatha-Krama (Lamrim Chenmo), Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan Jilid II. Bandung: Kadam Choeling.
0 comments:
Post a Comment