...Pesan yang Tak Sampai: Refleksi terhadap Kegiatan Orientasi Mahasiswa
Kekuatan primer berdasarkan seseorang sejarawan dan orang yang bergelut di bidang sejarah tentunya merupakan tulisannya. Demikianlah yg tak jarang aku dengar berdasarkan pengajar aku , Prof. Susanto Zuhdi, yang pada setiap perkuliahan selalu dengan piawai menyampaikan konsep-konsep pada ilmu sejarah. Demikian, apabila seorang mencatat, setidaknya terdapat yg akan ditinggalkannya sehabis dia tidak lagi berkarya. Berangkat menurut pemikiran itu, setiap sejarawan haruslah menulis.
Tulisan menjadi jawaban saat ekspresi kita tak lagi didengar. Kelelahan & kejenuhan dalam bersilat pengecap acapkali menjadi jalan buntu pada setiap diplomasi. Dalam hal yang demikian inilah, pena mengambil peranan yang lebih krusial berdasarkan verbal. Demikian jua, pengertian aku dalam perasaan saudara sekalian yg mempunyai keberatan tersendiri pada proses orientasi di perguruan tinggi, baik negeri juga partikelir. Pengertian ini, tidak lain, berangkat menurut pengetahuan saya tentang budaya & rakyat di timur yg susah buat mengemukakan pendapat mereka. Untuk menyampaikan langsung maksud hati, pastilah takut salah & memalukan dan sungkan.
Pengalaman aku tentang ospek ataupun orientasi yang ada di perguruan tinggi di Indonesia tentu tidaklah banyak. Selama ini saya mengenal sistem pengajaran barat yg sangat liberal & nir mengandung intimidasi misalnya apa yang saya lihat pada sini. Namun, mengikuti beberapa rangkaiannya menjadikan aku saksi liputan yg pandangannya tentunya perlu dipertimbangkan.
Dalam kurun saat 2 tahun ini, sudah saya perhatikan apa-apa yang menurut saya kurang lagi cocok dipraktikkan dalam kehidupan akademis di Indonesia. Meskipun, senior dan pihak-pihak yang merangkai acara tadi sedemikian rupa tentulah punya alasan tersendiri yang ingin diturunkan pada para mahasiswa baru. Alasan yang berupa pesan dan pembelajaran ini pun acapkali tidak hingga ke tujuannya. Orientasi yang aku lihat selama kurun waktu dua tahun ini nir lagi mengandung kekerasan fisik seperti yg aku dengar pada era Orde Baru, namun tetap saja bentakan keras dan kekerasan secara verbal tidak jua dihilangkan.
Bolehlah saya katakan, senior dan pihak pelaksana nir dengan cermat mempelajari sejarah. Apa hubungan sejarah dengan ospek ataupun orientasi ini? Tentu berhubungan. Saat kita mengusut sejarah, dari Prof. Susanto Zuhdi, yg paling baik merupakan memeriksa dari masa sekarang sebagai akibatnya kita mempunyai cita-cita buat mempelajari masa kemudian. ?Mempelajari sejarah misalnya berjalan mundur ke belakang? Demikian katanya. Dengan pemikiran yang sama, memahami ospek ataupun orientasi ini, dapatlah kita gunakan metode yg sama. Senior nir dapat ?Berjalan ke depan? Menggunakan memaksakan apa yang terjadi pada masa mereka untuk diterapkan ke masa sekarang. Tetapi, mereka baiklah buat ?Berjalan mundur ke belakang? Menggunakan tahu dulu seperti apa jiwa zaman yg ada di pada diri mahasiwa baru yang notabene merupakan ?Masa kini ?. Dengan memahami apa zeitgeist (jiwa zaman) yang ada pada diri mahasiswa baru ini, pelaksana ospek ataupun orientasi bisa merancang menggunakan baik kegiatan seperti apa yang wajib mereka terapkan sampai sinkron menggunakan kebutuhan masa kini .
Pertanyaan balik muncul bahwa terkadang perubahan itu sudah terjadi tetapi nir juga cocok menggunakan cita-cita mahasiswa baru, lalu harus bagaimana? Berarti pelaksana tidak dengan tepat memahami ?Masa sekarang?. Ketika ?Masa kini ? Itu dipahami menggunakan sahih, nir akan terdapat penolakan dari para penghuni ?Masa kini ? Yg dalam hal ini adalah mahasiswa baru. Terkadang, para pelaksana masih menjalankan cara ?Masa orde baru? Yang dipoles sedikit atau bahkan menerapkan pemikiran masa kolonial tahun 1800an yg telah sangat ketinggalan zaman.
Revolusi mental yang selama ini digaungkan oleh pemerintahan Republik Indonesia jua terkendala karena pertarungan ospek ataupun orientasi yang kurang sahih ini. Revolusi mental itu harusnya mengganti pola pikir manusia yg tentu saja paling gampang diterapkan dalam lingkungan akademis. Namun, lingkungan akademis yg krusial itu saja telah tertutup kabut pemikiran yg ditinggalkan kaum kolonial. Penghormatan pada senior, benar-benar hal yg sangat generik kita jumpai sebagai esensi dari setiap kegiatan ospek. Hal yg aku lihat, bukan penghormatan yg didapatkan, tetapi takut dan sungkan yg nir jarang berlangsung lama sampai sebagai ketidaknyamanan.
Apabila boleh lebih gamblang, perpecahan pada setiap angkatan tidak murni lantaran adanya konflik internal antar individu. Dinding pemisah antar rekan kadang terbentuk justru karena kegiatan yang diarsitekturi oleh para senior. Ketika suatu aktivitas diikuti sebagian besar mahasiswa pada angakatan itu, namun beberapa menolak dengan berbagai alasan yang tentunya berkaitan menggunakan kepentingan masing-masing, senior akan menekan mereka yang datang buat mengusahakan kedatangan rekan-rekan yg tidak datang itu. Ketika rekan-rekan yg nir sejalan itu kokoh pada pendirian, di situlah percikan-percikan perasaan kesal sesama mahasiswa pada satu angkatan mulai membakar dan memereteli persatuan. Kesalahan siapa? Anda putuskan sendiri.
Lebih menyalahi kebebasan akademis lagi, ketika dalam aktivitas-aktivitas yg mengatasnamakan ?Pengakraban?, mahasiswa baru yg baru saja selangkah ke dalam global akademis itu bersikap in-order tanpa boleh menanyakan maksud berdasarkan setiap aktivitas yg dibebankan pada mereka. Terkadang yang lebih menarik merupakan jawaban para organizer yg menyampaikan sudah susah payah dan sedemikian lelah menyiapkan aktivitas. Namun, buat apakah sebuah kegiatan yang nir memahami jiwa zaman ini dilaksanakan dengan susah payah? Mengapa kita tidak mengadakan win-win solution menggunakan sama-sama bersenang-bahagia & akrab tanpa perlu melakukan hal yang melelahkan. Kita mampu makan-makan, menonton film, mendengarkan talkshow dan bernyanyi beserta tanpa adanya bentakan yang meninggalkan luka batin yg tidak kita ketahui batasannya.
Kekerasan mulut yang kita dengar niscaya memiliki alasan yg berupa ?Kesalahan? Yang kita lakukan. Tetapi, apakah hal ini sebagai pembenaran buat melakukan hal yg menyakiti hati mahasiswa baru? Ketegasan tidak selalu dipraktikkan dengan bentakan keras & amarah yang meledak-ledak. Para guru yang luar biasa sudah menerangkan bahwa mereka sanggup menciptakan mahasiswa berlaku in-order menggunakan kebijaksanaan yang mereka miliki, dan saya beruntung mendapatkan para pengajar semacam itu. Lebih menggelikan waktu semua itu dilakukan bak opera yang diperankan menggunakan apik. Bahwa semuanya hanyalah sandiwara dan dalam akhirnya semua akan tersenyum. Kami mahasiswa nir tiba ke sebuah kegiatan ospek atau orientasi buat melihat opera, tetapi buat menilik hal sedianya harus kami pelajari sesuai menggunakan zaman kami, bukan zaman kolonial ataupun zaman orde baru.
Orang yang mempelajari sejarah tentu akan memeriksa topik-topik di pada sejarah, namun yang lebih krusial merupakan belajar buat berpikir kritis dan bertanya mengenai suatu hal. Itulah kekuatan lain berdasarkan seseorang yg menilik sejarah. Pemikiran yang kritis itulah yg melahirkan opini ini, dan kesadaran buat tidak mengulang sejarah yang getir adalah penggerak tangan saya buat membagi sedikit pemikiran aku ini. Tanpa mengubahnya kini , sistem yg demikian ini akan terus diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya. Hal ini adalah sesuatu yang menurut aku sangat mengerikan. Membayangkan Indonesia terbelenggu dalam sistem yg tidak Mahasiswa Sejarah Universitas Indonesia dan Pemerhati Sejarah Buddhisme
Author: C. Reinhart | Mahasiswa Sejarah Universitas Indonesia dan Pemerhati Sejarah Buddhisme
0 comments:
Post a Comment