?Negeri Belanda sudah menjajah Indonesia selama 350 tahun? Demikianlah suara pernyataan yg seringkali dikatakan orang di Indonesia. Efek yang luar biasa menurut pernyataan ini tentu dapat kita rasakan. Namun, apakah pernyataan itu secara historis bisa dibenarkan? Perlu kajian yg mendalam buat menandakan hal tadi. Dengan pernyataan yang demikian, nasionalisme Indonesia digembleng. Tidak ada yang mempersalahkan pernyataan itu. Tetapi, kebencian dan pandangan yang negatif, lalu diarahkan mata-mata generasi sekarang ke Den Haag.
Pada tahun-tahun belakangan, diskusi-diskusi terkini telah dilakukan. Tahun 2016, bertempat pada auditorium gedung 1, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pernyataan ini disinggung dalam diskusi ?Sejarah Lokal?. Hasil berdasarkan diskusi itu menjelaskan bahwa Negeri Belanda tidak benar-sahih menjajah Indonesia selama 3 1/2 abad. Kita selalu percaya bahwa kedatangan De Houtman yg pertama sebagai batasan paling pertama penjajahan Belanda. Apakah kunjungan De Houtman yg kurang sopan di awal itu bisa kita generalisasikan menjadi representasi Negeri Belanda? Jawabannya perlu Anda diskusikan lagi & Anda kaji secara lebih mendalam.
Berangkat dari kebisingan yg sampai ke indera pendengaran saya tentang betapa krusial buat mengangkat harga diri Indonesia menurut hegemoni asing, artikel pendek ini ditulis. Betapa nir sebagai perhatian aku , ketika perbincangan pada tengah carut marutnya syarat Indonesia yang sedang dilanda kebingungan tentang adanya dugaan hegemoni asing ini, masih jua terdapat yg percaya bahwa Belanda sudah menjajah Indonesia selama 3 setengah abad. Pernyataan ini secara eksklusif menyatakan bahwa Negeri Belanda begitu luar biasa dapat memegang kendali atas Indonesia yg luas ini selama ratusan tahun.
Penjiwaan terhadap suatu pernyataan, hendaknya kita lakukan dengan memperhatikan ketika & kondisi waktu pernyataan tadi dilontarkan. Ketika pernyataan tiga setengah abad itu dilontarkan, yang menurut banyak pihak, oleh Presiden Soekarno, kondisi Indonesia memerlukan pembakar semangat yg luar biasa melawan imperialisme asing. Namun, dalam zaman terkini ini, justru interaksi baik menggunakan segala bangsa adalah hal yang menguntungkan.
Lebih jauh, pernyataan yang demikian itu, membuat utang moral Negeri Belanda sebagai sangat akbar. Sekali lagi pertanyaan muncul, apa benar sebanyak itu? Jika iya, utang moral Negeri Belanda yang besar itu setara menggunakan begitu lemahnya Indonesia selama 3 1/2 abad. Tetapi, jika kita melihat jauh ke barat, ujung paling barat Indonesia, Aceh, masih menggelorakan perlawanan yg membuat hati kita terharu.
Cut Nyak Din, hingga ia dikhianati oleh pengikutnya pun tidak pula memiliki hati untuk menyerah. Jika kita mempertahankan utang moral Negeri Belanda yang besar terhadap Indonesia, apakah kita tidak mengkerdilkan peran Din yang luar biasa itu? Refleksi-refleksi perlu kita lakukan. Ketika kita melihat perjuangan Din yang mulia dan penuh semangat, bolehlah kita pula mengurangi beban moral yang kita berikan ke Negeri Belanda. Bolehlah kita mengangkat tinggi kepala kita dan berkata: di ujung barat sana, tempat yang sekarang menjadi Indonesia, Cut Nyak Din masih belum menyerah pada kaphe Ulanda hingga ia dijebak pada 1905.
Kembali dapat kita lihat, kepentingan suatu pernyataan dilontarkan itu sesuai dengan zeitgeist yang ada pada zamannya. Belum tentu dapat kita pertahankan semangatnya, tapi sudah tentu dapat kita pertahankan ingatan dan pengetahuannya. Tidak hanya pernyataan yang bersifat historis yang saya maksudkan dalam hal ini, namun segala pernyataan lain yang mungkin diinterpretasikan tidak sesuai dengan zamannya. Bolehlah kita meminjam pernyataan-pernyataan yang disebutkan Konfusius pada setiap kitab yang dituliskan atas pernyataannya.
Pernyataan dia, meskipun tentu bisa diterapkan dalam masa modern, tetapi merupakan suatu pernyataan yang terpengaruh dari jiwa zaman pada waktu Tiongkok terpecah menjadi banyak negara yang saling berperang. Pernyataannya paling sesuai dipakai buat mengatasi permasalahan-pertarungan yang pada masa itu terjadi. Demikian Konfusius, demikian juga tokoh yg lain. Akhir istilah, apakah insan akademis seperti Anda akan mempertahankan beban utang moral yg sedemikian besar untuk Negeri Belanda atau akan mempertinggi lebih jauh harga diri Indonesia dengan tanpa membuat malu memperbaiki pola pikir yg telah terdapat?
Memperbaiki kesalahan nir pertanda bahwa kita kurang pandai, namun menandakan kedewasaan kita buat menyelidiki lagi apa yang kita lupa atau belum ketahui.
C. Reinhart
0 comments:
Post a Comment