Perlak yang terletak di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hal itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Namun demikian, kitab yang dijadikan sumber satu-satunya tersebut juga menyisakan keraguan. Sebagian sejarawan meragukan keabsahan dari kitab tersebut, apalagi kitab yang diperlihatkan dalam sebuah seminar penetapan bahwa Perlak itu kerajaan Islam pertama di Nusantara tersebut bukan dalam bentuk asli dan sudah tidak utuh lagi, melainkan hanya lembaran lepas.
Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya sehingga ada yang mengatakan bahwa kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu, Perlak adalah benar-benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara. Banyak peneliti sejarah yang secara kritis meragukan Perlak sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh.
Hal itu juga diperkuat dengan belum ditemukannya artefak-artefak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah Kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya, seperti mata uang dirham Pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan Kerajaan Islam Samudra Pasai. Keraguan para sejarawan tentang Kerajaan Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak perlu ditelaah lebih jauh lagi. Namun demikian, pembahasan tentang Kerajaan Perlak kali ini bukanlah perdebatan tentang status ketertuaan Kerajaan Perlak di Nusantara, melainkan uraian tentang Kerajaan Perlak itu sendiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bersejarah dan sebagai bukti bahwa Islam ketika itu sudah memiliki akar kuat untuk menancapkan pengaruh serta ajaran-ajarannya di Nusantara.
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yg terkenal sebagai pembuat kayu Perlak yang adalah kayu yang berkualitas bagus buat bahan standar pembuatan kapal. Tidak mengherankan bila para pedagang dari Gujarat, Arab, dan India tertarik buat tiba ke daerah Perlak.
Karena poly disinggahi sang para pedagang, pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Hal ini tidak terlepas menurut letak yang strategis juga pada ujung utara pulau Sumatra atau berada di bibir masuk selat Malaka. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat. Dengan demikian, empiris seperti itu mendorong perkembangan Islam yg pesat & pada akhirnya memunculkan Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam di Nusantara.
Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan relatif panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir dalam tahun 1292 karena bergabung menggunakan Kerajaan Samudra Pasai. Sejarah Kerajaan Perlak tidak terlepas menurut kisah seorang Sayid Maulana Ali Al-Muktabar yg tiba ke Perlak beserta orang-orang Arab dari Bani Hasyim atau keturunan Rasulullah saw lainnya yang tiba ke Aceh & wilayah Nusantara lainnya. Mereka datang ke Aceh dalam rangka melakukan perdagangan sekaligus menyiarkan agama Islam. Mereka lalu berbaur & menikah menggunakan penduduk setempat.
Seperti diketahui dalam sejarah Islam, setelah masa AlKhulara Al-Rasyidun berakhir, secara politik muncullah dua dinasti besar, yakni Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Berangkat dari perbedaan politik, pada waktu yang sama, muncul pula banyak aliran pemahaman dan pengamalan Islam, seperti aliran Sunni, Syiah, Khawarij dan lain sebagainnya. Sementara itu, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abi halib yang juga menantu Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak mengherankan aliran Syiah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syiah terpaksa harus menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada masa Khalifah AlMakmun bin Harun Al-Rasyid (167-219 H/813-833M), salah satu keturunan Ali bin Abi halib di Mekkah yang bernama Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq menentang pemerintahan yang berpusat di Baghdad. Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq adalah Imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah saw. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah saw adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq bin Muhammad AlBaqir bin Ali Muhammad Zain Al-Abidin bin Husain Al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad saw.
Khalifah Al-Makmun akhirnya mengirim pasukan ke Mekkah buat meredakan pemberontakan kaum Syiah yang di pimpin oleh Muhammad bin Ja?Far Al-Shadiq tersebut. Kaum pemberontak dapat ditumpas, tetapi Muhamad bin Ja?Far AlShadiq & para penganutnya tidak dibunuh, namun disarankan oleh Khalifah Al-Makmun buat berhijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara, & daerah sekitarnya. Sebagai tindak lanjut, maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang kemudian hari dikenal di Aceh dengan sebutan ?Nakhoda Khalifah? Yg memiliki misi berbagi Islam.
Salah satu anggota dari Nakhoda Khalifah itu adalah Sayid Ali Al-Muktabar bin Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Al-Shadiq. Menurut kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, pada tahun 173 H (800 M), Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang dai yang terdiri atas orang-orang Arab dari suku Quraisy, Palestina, Persia, dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah. Mereka datang untuk berdagang sekaligus sambil berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan khusus baik di bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi, taktik perang, maupun keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai pada Perlak, rombongan Nakhoda Khalifah disambut menggunakan damai sang penduduk dan penguasa Perlak yg berkuasa ketika itu, yakni Meurah Syahir Nuwi. Dengan cara dakwah yg sangat menarik, akhirnya Meurah Syahir Nuwi memeluk kepercayaan Islam sehingga menjadi penguasa pertama yg menganut Islam pada Perlak. Di sisi lain, sembari berdakwah, mereka pula menularkan keahlian itu pada penduduk lokal secara perlahan-lahan buat diterapkan dalam kehidupan mereka.
Kegiatan-aktivitas ini rupanya menarik penduduk lokal sebagai akibatnya seiring berjalannya saat, mereka tertarik masuk Islam secara senang rela. Sebagian dan anggota rombongan itu menikah menggunakan penduduk lokal, termasuk Sayid Ali Al-Muktabar yg menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Putri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini waktu dewasa dinobatkan sebagai sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dalam tanggal 1 Muharram 225 H.
Dengan berdirinya Kerajaan Islam Perlak, semakin banyak orang Arab yang datang untuk berdagang, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam yang mereka yakini. Kalangan Sunni memengaruhi elite lokal yang juga masih kerabat istana Perlak. Sementara itu, kedua aliran ini (Syiah dan Sunni) terus menyebarkan pengaruhnya hingga sampai pada perebutan kekuasaan dan perlawanan terbuka yang terjadi pada masa sultan Perlak keempat, yakni Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M). Perebutan akhirnya dimenangkan pihak Sunni sekaligus menandai keruntuhan Dinasti Sayid atau Aziziyah dan lahirnya Dinasti Makhdum. Dengan demikian, sultan kelima Perlak sekaligus sultan pertama dari kalangan Sunni adalah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (918-922 M).
Untuk stabilitas Perlak, golongan Syiah diangkat sebagai perdana menteri. Wakil Syiah Maulana Abdullah pun diangkat menjadi perdana menteri oleh sultan Perlak keenam, yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (922-946 M). Sultan Muhammad Amin Syah sendiri merupakan seorang ulama akbar sekaligus pengasuh pondok pesantren Cot Kala. Namun demikian, ternyata pengangkatan Maulana Abdullah menjadi perdana menteri belum sanggup meredam perlawanan kaum Syiah hingga akhirnya terjadi perang saudara pada masa sultan ketujuh, yakni pada masa kekuasaan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (946-973 M).
Perang ini berlangsung sampai empat tahun dan baru berakhir setelah dibuat perjanjian damai yang dikenal dengan Perjanjian Alue Meuh pada tanggal 10 Muharram 353 H. Perjanjian tersebut mengatur pembagian Perlak menjadi dua: Perlak Baroh (berpusat di Bandar Khalifah) dengan wilayah di pesisir pantai diserahkan kepada Dinasti Aziziyah dan Perlak Tunong dengan wilayah di pedalaman diserahkan kepada Dinasti Makhdum. Sejak saat itu, tercapailah perdamaian antara kedua aliran tersebut dan Islam semakin menyebar di Sumatra bagian utara. Namun demikian, Islam Syiah tidak berkembang karena Perlak Baroh dihancurkan Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986. Pada saat itu, Perlak Baroh dipimpin Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah (976-988). Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah juga meninggal dalam usaha mempertahankan kerajaannya. Kerajaan Perlak Tunong yang dikuasai kaum Sunni selamat karena Sriwijaya terpaksa harus menarik mundur pasukannya dari Perlak karena mendapat ancaman dari Dharma Bangsa dan Jawa.
Islam Sunni terus berkembang bahkan dalam zaman Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (1012- 1059 M) menyatukan ke 2 daerah Perlak tadi pada satu bendera Perlak. Bahkan gerakana Sunni berhasil mengislamkan Raja Lingga, Adi Genali, melalui utusannya yg bernama Syekh Sirajuddin.
Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan kerajaan Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225–249 H/840–964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz tersebut pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Sementara itu, kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islam.
Sultan mengawinkan 2 putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) menggunakan Sultan Malik Al-Saleh dari Samudra Pasai dan Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura kini ). Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat lalu digantikan sang Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah wafat, Perlak disatukan menggunakan Kerajaan Samudra Pasai menggunakan raja Muhammad Malik Al-Dhahir, putra Sultan Malik Al-Saleh menggunakan Putri Ganggang Sari.
Para Sultan Perlak bisa dikelompokkan sebagai 2 dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah dan Dinasti Johan Berdaulat. Di bawah ini adalah nama-nama sultan yang memerintah Kerajaan Perlak:
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 ? 864) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 ? 888) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 ? 913) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 ? 918) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 ? 932) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 ? 956) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 ? 983) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 ? 1023) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 ? 1059) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur (1059 ? 1078) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 ? 1109) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 ? 1135) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1135 ? 1160) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 ? 1200) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 ? 1230) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 ? 1267) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 ? 1292). Berpaham sunni
Pergolakan
Pergolakan dalam Kerajaan Perlak lebih ditentukan sang adanya perbedaan genre Islam antara Sunni dengan Syiah. Perbedaan ini telah berlangsung usang, tatkala Dinasti Umayyah & Abbasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin sang keturunan Ali bin Abi halib.
Sejarah keislaman pada Kesultanan Perlak tidak luput menurut persaingan antara gerombolan Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara 2 kelompok Muslim ini mengakibatkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti grup yg menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syiah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari Dinasti Fatimiyah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syiah di pantai Sumatra dengan kelompok Syiah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Selanjutnya Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syiah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudra Pasai.
Sebagai kabar tambahan, raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malik Al-Saleh berpindah agama, awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam genre Syiah. Karena bujukan Syaikh Ismail, Marah Silu lalu menganut paham Syaii yang identik dengan alirah Sunni. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya & Bawa Kaya pula menganut paham Syaii, sehingga nama mereka berubah sebagai Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa, Marah Silu dikenal sebagai raja yg sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syiah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah sultan tewas dalam tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah & Sunni, yg mengakibatkan kesultanan pada kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah berdasarkan aliran Syiah lalu memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah & Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan sang kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, dan terjadilah pergolakan lagi antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya iktikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian, Perlak Pesisir (Syiah) yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986-988) dan Perlak Pedalaman (Sunni) yang dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu balik ketika galat satu dari ke 2 pemimpin wilayah tadi, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah mati. Ia mangkat saat Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yg membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yg awalnya hanya menguasai Perlak di pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan usaha melawan Sriwijaya sampai tahun 1006.
Penggabungan menggunakan Kerajaan Samudra Pasai
Setelah perdamaian antara kaum Sunni dan Syiah, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga untuk memperkuat kekuatan guna menghadapi serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sultan juga menikahkan dua putrinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga. Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Syah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudra Pasai, Malik Al-Saleh. Kesultanan Perlak berakhir setelah sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292.
Kesultanan Perlak pun dalam akhirnya menyatu menggunakan Kerajaan Samudra Pasai di bawah kekuasaan Samudera Pasai yang memerintah dalam saat itu, Sultan Muhammad Malik AlDhahir yg jua adalah putra dari Malik Al-Saleh. Pada masa ini, berakhirlah Kerajaan Perlak.
Asal: Ensiklopedia Kerajaan Islam oleh Binuko Amarseto