Nama kecil Teuku Cik Di Tiro merupakan Muhammad Saman. Ia lahir dalam tahun 1836 pada Cumbok Lamlo, daerah Tiro, Pidie. Sejak mini beliau telah biasa hidup di lingkungan pesantren dan berteman dengan para santri. Beranjak dewasa, dia belajar ilmu kepercayaan pada beberapa ulama populer di Aceh. Ia jua sempat menunaikan ibadah Haji dan memperdalam pengetahuan entang usaha para pemimpin-pemimpin Islam terdahulu pada Mekah.
Semenjak Cik Di Tiro kecil hingga dewasa hubungan Belanda ? Aceh sudah tidak rukun. Kerap kali Tiro melihat para santri bergerilya pada malam hari, terkadang Tiro pun ikut dan. Puncaknya, dalam tahun 1873 Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan ekspedisi ke Aceh buat menempatkan Kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Belanda. Namun rakyat Aceh bukanlah pecundang, pasukan
pertama Belanda langsung dipukul mundur bahkan panglimanya, Mayor Jenderal JHR Kohler meninggal. Sudah menjadi norma pemerintah Belanda, mereka tidak menerima kekalahan kemudian mengirimkan bencana pasukan dalam jumlah yang lebih akbar. Dalam ekspedisi kedua Belanda, pejuang Aceh terdesak dan wilayah Aceh Besar jatuh ke tangan ?Kompeni?. Istana jua dikuasai Belanda, Sultan Aceh berhasil menyingkir, tetapi beliau mati pada evakuasi lantaran agresi kolera. Kedudukan sultan digantikan oleh putranya yg masih kecil. Sultan baru dan seluruh famili istana lalu mengungsi ke pedalaman Keumala Dalam.
Jatuhnya istana & meninggalnya sultan membuat semangat para hulubalang Aceh melemah. Tatkala Cik Di Tiro pulang berdasarkan Mekah, beliau memutar otak dan menciptakan planning bagaimana agar semangat warga Aceh mampu kembali. Secara diam-diam dia mengunjungi beberapa pemimpin-pemimpin laskar perang, salah satunya Panglima Polim. Bujukan Cik Di Tiro berhasil membuat Panglima Polim bersedia balik terjun dalam pertempuran. Kemudian mengundang Syekh Pante Hulu buat membantunya. Menggunakan syair, syekh memompa semangat warga Aceh yang sempat hilang. Syekh Syekh Pante Hulu memang mampu membacakan dan mendalami syair karangannya sendiri yang berjudul ?Hikayat Perang Sabil?. Isinya, anjuran agar masyarakat berperang melawan kaum kafr. Orang yang mati dalam perang itu akan diterima Tuhan pada surga .
Setelah semangat pejuang kembali pulih, persiapan perang pun dibuat. Dalam kondisi tersebut para tokoh Aceh berkumpul kemudian sepakat membentuk angkatan perang sabil. Dan Teuku Cik Di Tiro ditunjuk sebagai pimpinan dengan persetujuan sultan Aceh. Didirikan benteng-benteng pertahanan di Merue, senjata-senjata dikumpulkan, dan diangkat pula orang-orang yang mengepalai laskar.
Perjuangan dimulai. Rakyat Aceh memiliki double spirit melawan Pemerintah Hindia Belanda. Pertama adalah semangat kebangsaan -persatuan rakyat Aceh- menjadi bangsa/wilayah yang anti penjajahan. Kedua, semangat jihad. Rakyat Aceh merupakan pemeluk Islam yang kuat, sampai-hingga daerah Aceh mendapat sebutan ?Negeri serambi mekah?. Peperangan Belanda adalah wujud usaha melawan orang-orang kafir.
Mei 1881, Cik Di Tiro bersama pasukannya menggempur markas Pemerintah Hindia Belanda dan berhasil merebut benteng Belanda pada Indrapuri. Peperangan berlangsung lama , pada 1885 pasukan sabil mencatat kemenangan pada benteng Aneuk Galang. Tidak berapa usang, benteng Lambaro yang hanya berjarak 8 km dari Banda Aceh juga berhasil dikuasai. Belanda terdesak dan bertahan di Banda Aceh.
Untuk membunuh Ci Di Tiro Belanda memakai cara non etis. Pemerintah Hindia Belanda berhasil membujuk putra panglima polim berada pada pihak Belanda dengan iming-iming bakal diangkat sebagai Kepala Sagi. Lalu dia menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke pada kuliner dan diberikannya kepada Cik di Tiro. Akibatnya Cik di Tiro jatuh sakit & tewas global pada benteng Ancuk Galang dalam bulan Januari 1891.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional