...Monument Construction System: Cultural Heritage of Agricultural Kingdoms in Java
Kerajaan agraris sudah tentu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah panjang Indonesia. Hasil bumi yang membawa kerajaan-kerajaan ini menjadi jaya juga adalah hal yang membuat nama mereka terkenal hingga ke Eropa. Di samping kerajaan maritim yang sungguh tersohor, kerajaan agraris adalah permata yang tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan. Posisi mereka yang berada di hinterland membuat mereka terlindung dari pengaruh asing. Salah satu wilayah terpenting dalam perkembangan kerajaan agraris ini sudah tentu adalah Pulau Jawa. Sejak masa kerajaan-kerajaan yang pertama, Jawa telah dikenal sebagai penghasil padi yang termasyur.
Selain hal-hal fisik misalnya hasil bumi, kerajaan agraris jua telah tentu terkenal akan agama mereka. Ketergantungan pada tanah sebagai hal yang paling penting pada kehidupan ekonomi menciptakan mereka mengenal poly junjungan yang melindungi kesuburan tanah. Hingga kini , efek itu masih terasa pada poly aspek kebudayaan Jawa.
Dapat disebutkan di antara junjungan yang dipuja itu: Vashudara (Dewi Sri), Prtivi (Dewi Pertiwi) hingga kepercayaan akan Kanjeng Ratu Kidul. Junjungan ini sebagian besarnya tentu adalah sosok wanita, karena sosok wanita dianggap dekat dengan kesuburan. Kepercayaan mereka ini tentu nantinya akan sangat berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan masyarakat agraris.
Ada satu karakteristik berdasarkan warga agraris yg masih sebagai bahan pertentangan pakar-ahli agraris di dunia: warga agraris hampir selalu meninggalkan peninggalan yg monumental. Warisan budaya masyarakat agraris Jawa memperlihatkan adanya dukungan yg penuh atas pendapat pada atas. Di daerah Indonesia terbaru, kiranya pulau Jawa mewakili bukti yang paling penting pada sejarah kebudayaan masyarakat agraris ini.
Kompleks Candi Prambanan (Foto: indoglobaltours.Com) |
Mataram misalnya, meninggalkan produk budaya yang nir bisa dibantah: Borobudur dan kompleks candi Prambanan sampai sederetan candi & tempat pemujaan lain di wilayah dataran rendah hingga dataran tinggi. Bila melihat kerajaan lain yg sezaman dengan Mataram dan berorientasi dalam kemaritiman seperti Sriwijaya, tidak bisa kita temukan produk budaya yang se-monumental Borobudur atau kompleks candi Prambanan. Hal ini memperlihatkan bahwa memang ada faktor penunjang yang istimewa dalam kehidupan dan pengorganisasian warga agraris.
Faktor penunjang yang istimewa ini kiranya bisa kita lihat mulai dari aspek yg paling dekat dengan kebutuhan masyarakat agraris. Masyarakat agraris membutuhkan teknologi yang mendukung bisnis mereka, pada hal pertanian mereka membutuhkan pengairan sebagai akibatnya mereka membangun sistem irigasi. Terlepas apakah mereka mengadopsinya berdasarkan kebudayaan lain atau menciptakannya. Dalam pembuatan sistem irigasi ini diperlukan sistem pemerintahan yg birokratis-patrimonial sebagai akibatnya dapat diorganisasikan pembangunan sistem irigasi ituSistem ini merupakan sistem birokrasi yg berpusat dalam satu pemimpin untuk menaruh komando & seluruh loyalitas mengalir pada pemimpin ini.
Sistem yg demikian memungkin satu kekuatan atau penguasa buat memberikan komando tanpa gangguan menurut adanya komando lain semacam tuan tanah dan kekuatan lainnya. Dengan demikian, pengorganisasian yg rumit pada pembangunan sistem irigasi bisa dilakukan tanpa adanya dualisme komando.
Hal ini juga berlaku pada kasus pembangunan monumen-monumen besar seperti Borobudur, Mendut dan Sewu. Dari sini kita dapat melihat bahwa pada masa itu dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi sudah ada organisasi sederhana yang bersendikan sistem patrimonial karena dalam pembangunan monumen besar itu dibutuhkan interaksi bidang teknik, ekonomi dan pemerintahan. Hal ini hanya mungkin tercapai bila pengorganisasian yang dilakukan penguasa berjalan baik. Hal yang pada masa ini saja demikian rumit, dapat direalisasikan dengan baik oleh masyarakat agraris kala itu.
Selain menjadi bukti yang menggembirakan bahwa ada suatu sistem yang telah begitu sukses untuk membangun monument hebat dalam masyarakat kala itu, sistem ini agaknya juga sangat sukses dalam membuat masyarakat berlaku in-order. Hal yang pada masa kini agaknya susah diwujudkan.
Pengorganisasian yang baik dalam sistem kemasyarakatan agraris ini mampu dijelaskan menggunakan kenyataan bahwa pada pengusahaan pertanian terdapat jeda saat yg relatif lama selama masa penanaman & masa panen. Waktu jeda itu dipakai untuk pengorganisasian sehingga rakyat yang dalam masa jeda itu nir melakukan poly aktivitas membuatkan kehidupan mereka di bidang lain yaitu budaya.
Hal ini mengakibatkan rakyat agraris memiliki banyak sekali produk budaya yang tidak terlihat pada masyarakat maritim. Selain digunakan untuk pengorganisasian masyarakat, masa jarak ini jua digunakan secara politis & militer sebagai masa yang paling tepat pada kampanye militer atau penaklukan. Kerajaan agraris begitu sibuk ketika masa penanaman dan masa panen. Hal ini merusak kampanye militer lantaran sebagian akbar pasukan yang dimiliki kerajaan agraris dari berdasarkan masyarakat mereka.
Tidak heran bahwa mereka terlihat menjadi sepasukan petani yang dipersenjatai. Namun, kekuatan mereka pada masa itu nir kalah hebat dengan pasukan lain lantaran kecintaan yg kuat pada sosok penguasa. Hal ini sekali lagi dikarenakan sistem sosial yg begitu bertenaga.
Di sisi lain, pembangunan monumen-monumen yg hebat itu nir jua terlepas menurut faktor geografis. Pada masa Mataram misalnya, pembangunan monumen Borobudur & monumen lainnya itu dilakukan sepanjang aliran sungai yang lagi-lagi mengukuhkan posisi sungai sebagai hal yang penting dalam warga agraris.
Dalam pembahasan tentang ini baik pula kita melihat bahwa terdapat kemiripan geografis antara Jawa bagian tengah dan India yaitu lembah Progo-Elo yang mirip dengan Gangga-Yamuna. Stutterheim mengemukakan terdapat enam utama kesesuaian antara lembah Gangga-Yamuna dan Progo-Elo: Tukmas menjadi asal sungai Elo merupakan tiruan Kunjarakunjadesa asal Sungai Gangga, lembah Progo-Elo menggantikan Lembah Gangga-Yamuna untuk Jawa bagian tengah, lokasi desa Progowati di dekat rendezvous sungai Progo-Elo mencerminkan lokasi kota Prayoga, lokasi monumen Borobudur seperti menggunakan lokasi stupa besar kuno Bharut, lokasi desa Canggal mirip dengan lokasi kota Kaci pada tepi sungai Gangga, nama Yogyakarta (Ngayogya) pada Timur hilir sugai Progo, berasosiasi dengan kota Ayodya di mana raja Rama bertakhta.
Khusus pembangunan Borobudur misalnya: haruslah dekat dengan daerah sungai karena menurut pendapat Nieuwenkamp, Borobudur itu seharusnya berdiri di atas sebuah telaga. Telaga itu tentu mengambil air dari sungai yang dialirkan kepadanya. Borobudur diproyeksikan sebagai bangunan berbentuk teratai untuk menghormati Boddhisattva Maitreya yang pada waktu itu masih menghuni alam Tusita.
Maitreya nantinya akan datang ke dunia sebagai Buddha pengganti Sakyamuni (Siddharta Gautama). Terlepas dari itu, Nieuwenkamp menggambarkan dalam Algemeen Handelsblad bahwa di sekitaran Borobudur terdapat hamparan sawah yang luas sehingga mengukuhkan posisi Mataram sebagai sebuah kerajaan agraris.
Apabila kita menyelidiki kebudayaan yg berkaitan menggunakan tarian, dapat pula kita kaitkan menggunakan faktor spiritual. Seperti yg telah disinggung sebelumnya bahwa rakyat agraris sangat terikat dengan sosok junjungan wanita buat memberikan kesuburan dalam tanah yg mereka olah, mereka pula sangat terikat menggunakan simbol-simbol lain yang mereka anggap mampu menunjang produktivitas pertanian mereka berdasarkan sisi spiritual.
Tari Bedaya Ketawang (Foto: ytrisenibudaya) |
Tarian-tarian yang berkembang di dalam masyarakat agraris adalah simbol penghormatan kepada junjungan yang memberikan kesuburan itu. Seperti Bedaya Ketawang dari Kasunanan Surakarta untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul.
Penulis : C. Reinhart | Peneliti Sejarah Agraris dan Buddha (Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia)
Chandrasekaran, B, K. Annadurai & E. Somasundaram. 2010. A Textbook of Agronomy. New Delhi: New Age International Ltd.
__________. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Mohammad. Masyarakat dan Kerajaan Agraris. Wawancara sang C. Reinhart dalam 29 September 2016 di Gedung 3 FIB UI.
Iskandar, Mohammad. Masyarakat dan Kerajaan Agraris. Wawancara sang C. Reinhart dalam 29 September 2016 di Gedung 3 FIB UI.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
0 comments:
Post a Comment