Indonesia punya bermacam warisan prasasti. Tetapi, lantaran jumlah epigrafi terbatas, poly prasasti belum terbaca atau diurai informasinya buat berbagai kepentingan. Dengan ilmu epigrafi, kita sanggup menyelidiki prasasti sebagai akibatnya lebih mengenal Nusantara dan meneguhkan kedirian kita menjadi bangsa dengan majemuk budaya. (Foto: Kompas)
Indonesia mempunyai kekayaan sejarah yang termaktub pada banyak prasasti. Namun, masih sedikit epigraf alias orang yang pakar membaca prasasti. Salah satunya adalah Ninie Susanti Tedjowasono, yang tekun mendorong lahirnya generasi epigraf baru.
Ninie Susanti Tedjowasono (59) adalah pengajar epigrafi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Setiap tahun, ia mengentaskan epigraf baru. Itu pun, setiap angkatan, jumlahnya tidak lebih dari enam orang."Untuk sebagai epigraf, syaratnya gampang. Asal tekun & punya rasa ingin memahami yg besar saja lantaran kemampuan lain, misalnya bahasa, dapat dipelajari," istilah Ninie-sapaan akrab perempuan itu-di FIB UI, Depok, Jawa Barat, Jumat (6/1).
Prasasti pada Indonesia tertulis pada banyak sekali alfabet & bahasa. Ada huruf Pallawa, Dewanagari, Jawa Kuna, Arab, dan Pegon. Bahasa yang dipakai antara lain Melayu Kuna, Bali Kuna, Jawa Kuna, Sunda Kuna, Sanskerta, dan Arab.
Ninie belum terlalu terpikat dengan epigrafi ketika masuk Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI. Saat menyusun skripsi, "Struktur Birokrasi Zaman Balitung: Data Prasastidanquot;, untuk menyelesaikan studi tahun 1981, dia kian tertarik menekuni epigrafi menggunakan bimbingan ahli epigrafi ternama, M Boechari.
"Begitu poly data & warta berdasarkan prasasti. Kita nir hanya tahu tentang penanggalan atau nama raja yg berkuasa, tetapi juga kehidupan sehari-hari yang relevan pada masa kini , yg orang lain tidak tahu," ujar Ninie.
Soal pajak
Sejumlah prasasti mencatat soal pajak. Pada masa lalu sudah berlaku berbagai jenis pajak, mulai dari pajak ayam, bebek, padi, tanah, ububan (tungku pintar besi), sampai jembatan, jua pajak buat orang asing. Bahkan terdapat pajak output bumi, pajak penjualan, dan pajak profesi. Semua itu dikenal sebagai drawya haji, milik raja. Pajak merupakan asal penghasilan kerajaan.
"Untuk pajak ayam dan bebek, batas tidak kena pajak adalah sekandang. Lebih dari itu, wajib bayar pajak. Tapi, berapa persis jumlah ayam & bebek itu tidak diketahui," ucapnya.
Prasasti pula merekam perilaku curang petugas, termasuk pemungut pajak. Salah satunya, mereka memakai ukuran tidak sinkron buat memutuskan pajak tanah. Si petugas gunakan berukuran satuan tampah yg lebih mini sebagai akibatnya pemilik tanah membayar pajak yg lebih besar . Pemilik tanah protes & kasus tadi diteliti ulang sang tim independen yg kemudian tetapkan menerapkan berukuran satuan tampah yg benar. Jumlah pajak yang wajib dibayar pun berkurang.
"Sebagian besar prasasti pada Indonesia berisi penetapan sima, yakni wilayah bebas pajak. Ini bukti, pada zaman dahulu pun rakyat keberatan bayar pajak," kata Ninie.
Prasasti juga mencatat silsilah, jenis kuliner & minuman, nama tempat, beragam profesi, & kegiatan perekonomian. Ada juga soal pelaksanaan sistem hukum, stratifikasi sosial, administrasi & birokrasi kerajaan, pembagian kerja, keagamaan, seni, norma tata cara, bahkan batas wilayah, termasuk batas wilayah negara ini.
"Itu sebabnya, saya senang membaca prasasti. Prasasti merupakan sumber sejarah primer, bukti otentik dari masa kemudian yg bermanfaat pada masa kini ," katanya penuh semangat.
Ninie menyebut bukti tentang batik yg tercantum pada prasasti menurut zaman Raja Balitung dalam abad IX. "Prasasti pula menyebut wdihan & kain menjadi hadiah dalam upacara penetapan sima," pungkasnya.
Sebagai model, wdihan dipakai golongan tertentu, termasuk raja. Wdihan untuk raja antara lain ganjar haji, ganjar patra sisi, & bwat pinilai. Wdihan untuk pejabat tinggi seperti tapis burkak, bwat kling putih, & alapnya salari kuning. Sementara wdihan buat pejabat rendahan misalnya siwakidang, hamarawu, dan takurang.
Hafal istilah kuno
Terbiasa membaca prasasti membuat Ninie hafal aneka macam kata kuno, yang sebagian besar tidak dikenal lagi di daerah dari prasasti. Namun, kata itu justru masih dipakai pada wilayah yg pernah berada di bawah kekuasaan kerajaan yg dulu menguasai wilayah tadi.
Ketika melakukan penelitian pada Banjarmasin, Ninie terkejut mendengar penduduk menyebut hantlu buat telur. "Kata hantlu tak jarang ada dalam poly prasasti, terutama prasasti upacara sima. Di Jawa, istilah hantlu tidak dikenal lagi. Namun, pada wilayah bekas Kesultanan Banjar, istilah itu masih digunakan menjadi hantalu. Kesultanan Banjar dulu wakil Kesultanan Demak pada Kalimantan," tuturnya.
Walau sebagian akbar prasasti berisi penetapan sima & mempunyai struktur dan isi hampir sama, selalu ada hal unik terselip, seperti jenis huruf yg digunakan. Pada masa Raja Airlangga berkuasa, contohnya, seluruh prasastinya memiliki alfabet indah.
"Penulis prasasti diklaim citralekha, yg harus pandai dan berpendidikan. Airlangga suka keindahan sehingga huruf-alfabet prasastinya bagus," istilah Ninie.
Tradisi menulis tumbuh di lingkungan pelajar pada istana atau di mandala (keguruan), yakni loka kediaman komunitas sisya (siswa) yg ingin belajar pendidikan keagamaan. "Kebiasaan ini berlanjut sampai kini kita mengenal pesantren yang nir dikenal di Timur Tengah," ungkapnya.
Bukan berarti para anak didik selalu mematuhi guru. Ada saja di antara mereka yang menyempal dengan menulis semaunya sendiri. Padahal, prasasti umumnya merupakan maklumat yang ditulis tegas & ringkas.
"Sama misalnya sekarang, anak muda senang menulis apa saja, termasuk kegalauannya. Dulu pun demikian. Prasasti Tempuran, yg berangka tahun 1388 Saka, berisi catatan seseorang pemuda yg ingin berbuat 100 kebaikan kepada gadis baik hati yang dilihatnya ketika perayaan. Prasasti nyeleneh yang berisi ungkapan perasaan, he-he-he," ujar Ninie geli.
Kebiasaan menulis singkatan misalnya kini melalui pesan pendek, WhatsApp, atau surat elektronika pula lazim pada masa lalu. Mereka senang menyingkat kata, seperti nama hari daur tujuh, yakni raditya/aditya (Minggu), soma (Senin), anggara (Selasa), budha (Rabu), wrhaspasti (Kamis), sukra (Jumat), & sanaicara (Sabtu), ditulis menggunakan ra/a, so, ang, bu, wr, su, sa. Siklus 5 hari juga disingkat, yakni pahing (pa), pon (po), wagai/wage (wa), kaliwuan yg sekarang dikenal sebagai kliwon (ka), & umanis/cantik atau legi (u/ma).
Setiap semester ganjil , Ninie mengajak para mahasiswa ke Museum Nasional buat membuat akblats atau salinan prasasti dari kertas. Caranya, kertas ditempel & ditekan pada beberapa lapis prasasti batu sehingga kertas mengisi torehan alfabet . Setelah kemarau, kertas baru dilepas menurut prasasti. Umumnya cara ini memakai kertas singkong.
Para mahasiswa pun ujian menggunakan membaca prasasti pada museum. "Mereka boleh pilih prasasti yg diinginkan, niscaya seluruh nir bisa mencontek," katanya tertawa.
Indonesia punya bermacam warisan prasasti. Tetapi, karena jumlah epigrafi terbatas, poly prasasti belum terbaca atau diurai informasinya buat banyak sekali kepentingan. Dengan ilmu epigrafi, kita bisa menilik prasasti sehingga lebih mengenal Nusantara dan meneguhkan kedirian kita menjadi bangsa menggunakan majemuk budaya.
"Epigrafi berfungsi buat memeriksa diri sendiri, dalam hal ini Indonesia. Jangan sampai kita belajar menurut orang lain tentang diri sendiri," ucapnya tegas.
Sumber:Kompas edisi 12 Januari 2017, di halaman 16 dengan judul "Membaca Prasasti, Mengenal Nusantara".
0 comments:
Post a Comment