Akhir-Akhir ini banyak yang menyampaikan bahkan ada yg mulai mempersoalkan balik posisi Pancasila sebagai dasar & ideologi negara kita. Diskursus & situasi tersebut tentu akan sebagai tidak terkendali dan membangun dikotomi di tengah-tengah masyarakat bila pemahaman masing-masing pihak hanya berdasar dalam sudut pandang langsung, kelompok, juga golongan, & mengabaikan proses pembentukan Pancasila menjadi dasar negara sang para Pembentuk Negara.
Upaya pendikotomian tersebut hendak memutus rangkaian proses kelahiran Pancasila & membentuk opini seolah-olah Pancasila 1 Juni merupakan milik grup Soekarnois, Piagam Jakarta milik kelompok Islam, dan 18 Agustus milik rakyat Indonesia dalam umumnya. Sehingga setiap ada ihwal Pancasila 1 Juni dianggap sebagai romantisme sejarah dan hanya milik kelompok eksklusif.
Pendikotomian dan cacat romantisme sejarah tersebut tentu tidak sempurna jika diuji pada informasi-liputan sejarah proses kelahiran Pancasila sebagai dasar negara. Penulis telah meneliti berita-fakta historis & yuridis sejarah proses kelahiran Pancasila & sudah mempertanggungjawabkan secara akademis melalui disertasi doktoral di Universitas Diponegoro.
Dua berdasarkan sembilan penguji desertasi tadi adalah Ketua & mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni Arief Hidayat dan Mahfud MD.
Merujuk pada kabar-keterangan sejarah yang telah penulis teliti maka pendikotomian tersebut tidak menerima kebenaran sejarah. Kenapa demikian?
Pertama, Pancasila yg disampaikan Soekarno sebagai anggota resmi BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) melalui pidato tanpa teks pada 1 Juni 1945 adalah jawaban terhadap pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPK tentang apa dasarnya apabila Indonesia merdeka kelak. Soekarno merupakan pencetus pertama Pancasila Dasar Negara dan pembicara terakhir menurut 40 orang yg menyatakan pendapat (A.B. Kusuma, 2009 : 16).
Kedua, selesainya Soekarno terselesaikan menyampaikan pidatonya, pidato Pancasila tadi diterima secara aklamasi sang semua anggota BPUPK. Menurut kesaksian Panitia Lima, hal tadi terjadi dikarenakan Pidato Pancasila Soekarno satu-satunya yg tegas mengusulkan filosofische grondslag buat negara yang akan dibuat. Panitia Lima terbentuk atas anjuran Presiden Soeharto dalam tahun 1975 buat meneliti sejarah kelahiran Pancasila. Panitia Lima tadi terdiri berdasarkan lima orang tokoh pendiri bangsa yakni Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Mr. Sunario, dan Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo. (Panitia Lima, 1980 : 25 dan 60).
Dengan diterimanya Pancasila 1 Juni 1945 menjadi dasar falsafah negara secara aklamasi sang BPUPK, maka Pancasila 1 Juni 1945 telah sebagai keputusan BPUPK yang bersifat mengikat, nir lagi sebatas pendapat pribadi Soekarno. Bahkan pidato steno-grafisch verslag tadi, sang Panitia Kecil yg dibuat BPUPK dijadikan menjadi bahan baku buat membentuk rumusan final Pancasila.
Pengakuan Pancasila 1 Juni juga ditegaskan Notonegoro yang menyatakan bahwa pengakuan Pancasila 1 Juni bukan terletak pada bentuk formal yang urut-urutan sila-silanya tidak sinkron dengan sila-sila Pancasila yg masih ada pada Pembukan Undang-Undang Dasar 1945, namun terletak dalam asas & pengertiannya yg permanen menjadi dasar falsafah negara (Notonegoro, 1988 : 8).
Sehingga tepatlah kebijakan Pemerintahan Jokowi yang telah menetapan 1 Juni 1945 menjadi Hari Lahirnya Pancasila melalui Keppres angka 24 Tahun 2016 mengenai Hari Lahirnya Pancasila. Keppres tadi menempatkan balik sejarah proses kelahiran Pancasila dari informasi sejarah tanpa bermaksud mengganti rumusan final sila-sila Pancasila.
Terbitnya Keppres tadi juga berarti negara sudah menyatakan eksistensinya sekaligus memberikan kepastian bagi seluruh warga Indonesia bahwa dokumen yang bisa dipelajari dan dipahami sebagai tafsir otentik sila-sila Pancasila berdasarkan Pembentuk Negara terletak pada Pidato Soekarno 1 Juni 1945.
Ketiga, Panitia Sembilan dalam sidang tanggal 22 Juni 1945 membentuk rumusan yg kita kenal menjadi Piagam Jakarta. Sejarah mencatat, Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno terbentuk atas inisiatif & prakarsa Soekarno.
Inisiatif & prakarsa tersebut dilakukan Soekarno atas penghormatan dan cita-cita menjaga ekuilibrium antara Kelompok Kebangsaan dan Kelompok Islam karena komposisi Panitia Delapan yg dibentuk BPUPK tidak proporsional.
Kelompok Islam hanya diwakili 2 orang yakni Ki Bagoes HadiKoesoemoe dan KH. Wachid Hasjim, sedangkan Kelompok Kebangsaan diwakili enam orang yakni Soekarno selaku kepala, Mohammad Hatta, Muh. Yamin, A.A. Maramis, R. Otto Iskandardinata, dan M.S Kartohadikoesoemoe.
Sehingga Soekarno membentuk Panitia Sembilan yg komposisinya lebih proporsional terdiri menurut empat orang gerombolan Kebangsaan yakni Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Muh. Yamin, A. Soebadrjo dan empat orang kelompok Islam yakni K.H. Wachid Hasjim, H. Agus Salim, K.H. Kahar Muzakkir, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Soekarno berdiri di tengah menjadi kepala Panitia Sembilan.
Hal itu sesuai menggunakan janji Soekarno pada saat Pidato 1 Juni 1945 ketika menjelaskan faham atau sila demokrasi musyawarah mufakat. Soekarno berkata pada awal penjelasannya, "Kalau saudara-saudara membuka aku punya dada, dan akan melihat saya punya hati. Tuan-tuan akan dapati nir lain nir bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam pada badan permusyawaratan. Dengan cara musyawarah konsensus, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan kepercayaan , yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat." (Pidato Soekarno, 1 Juni 1945).
Keempat, rumusan teks final Pancasila sang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada lepas 18 Agustus 1945 juga diketuai sang Soekarno. Dan sidang PPKI tanggal 18 Agustus sama sekali tidak pernah tetapkan Pancasila menjadi Dasar Negara. Lantaran PPKI hanya menghasilkan 2 keputusan yakni mengesahkan UUD 1945 & mengangkat Soekarno & Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia buat pertama kalinya.
Perubahan sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Piagam Jakarta menjadi Ketuhan Yang Maha Esa oleh PPKI dalam 18 Agustus 1945, diakui oleh Mohammad Hatta pada dalam bukunya 'Memoir Mohammad Hatta' menyatakan, "Pada pagi hari menjelang dibukanya kedap PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam agar bersedia membarui kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyadanquot; pada rancangan Piagam Jakarta menggunakan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa". Alasannya, demi menjaga persatuan bangsa.
Menurut Azyumardi Azra pada orasi ilmiahnya pada acara Sarwono Memorial Lecture, LIPI lepas 20 Agustus 2015, mengungkapkan, "dari proses penerimaan Pancasila, kentara terlihat para pemimpin Islam dalam saat itu lebih mementingkan kerukunan dan integrasi nasional daripada
kepentingan Islam atau umat Islam belaka."
Kelima, kedudukan Pancasila bukan terletak pada pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 lantaran kedudukan hukum Pancasila terletak pada atas dan menguasai UUD bukan sejajar apalagi sebagai sub bagian pada UUD. Mengingat sistematika Undang-Undang Dasar 1945 sinkron Pasal II Aturan Tambahan UUD NRI 1945, menyatakan bahwa Pembukaan adalah bagian menurut Undang-Undang Dasar NRI 1945. Hal tadi diadopsi juga oleh UU angka 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di samping itu, MK telah mengeluarkan putusan judicial review angka 100/PUU-XI/2013 mengenai pengujian UU angka 2 tahun 2011 tentang Partai Politik terkait Pancasila bukan pilar yg sejajar dengan UUD.
Sedangkan, yang masih ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah rumusan sila-sila Pancasila, ad interim pengertian akan falsafah dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila tersebut, terletak pada isi pidato Soekarno lepas 1 Juni 1945.
Pandangan tersebut mempunyai pijakan teoritis sinkron dengan teori Stufenbautheorie Hans Kelsen yang mengungkapkan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yg hierarkis, pada mana norma yg lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada kebiasaan yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ini berhenti dalam kebiasaan yang paling tinggi yang dianggap kebiasaan dasar (grundnorm).
Pancasila menjadi grundnorm dipengaruhi sang Pembentuk Negara buat pertama kalinya menjadi penjelmaan kehendak masyarakat melalui Pembentuk Negara. Grundnorm bersifat permanen dan nir berubah-ubah.
Di sisi lain, apabila kita menempatkan kedudukan hukum Pancasila terletak pada Pembukaan UUD 1945, hal itu berarti Pancasila sebagai dasar negara sudah beberapa kali mengalami perubahan. Karena pada waktu Negara Indonesia memakai UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, rumusan sila-sila Pancasila sudah berubah dan tidak sinkron berdasarkan yg terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan rangkaian kabar sejarah tersebut tergambar dengan jelas bahwa Pancasila bangsa Indonesia hanya ada satu, yaitu semenjak kelahirannya lepas 1 Juni 1945, berkembang sebagai Piagam Jakarta lepas 22 Juni 1945 hingga teks final tanggal 18 Agustus 1945 sang PPKI menjadi satu-kesatuan proses sejarah lahirnya Pancasila menjadi Dasar Negara. Dalam
ketiga proses rumusan Pancasila tersebut nir dapat dipungkiri causa prima-nya adalah Soekarno.
Di sisi lain, Pancasila sebagai ideologi bergerak maju dapat berkembang sesuai menggunakan konteks zaman serta terbuka buat didiskusikan sang setiap anak bangsa. Namun, falsafah dasarnya permanen berpedoman sesuai menggunakan maksud Pembentuk Negara.
Selanjutnya, demi menjaga kebenaran sejarah, sudah saatnya seluruh rakyat Indonesia bewust atas sejarah bangsa. Sehingga bangsa Indonesia dapat lebih mantap mengarungi gelombang samudera kehidupan menuju cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. - Harian Sejarah
Penulis : Ahmad Basarah merupakan Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Ketua Fraksi PDI Perjuangan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Ketua Badan Sosialisaai Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan. Ketua Umum DPP Persatuan Alumni GMNI. Pendiri dan Sekretaris Dewan Penasehat Baithul Muslimin Indonesia. Wakil Ketua Lazis PBNU
Editor : Tri Wahono (Kompas.com)
Penulis merupakan Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI. Ketua Badan Sosialisaai MPR RI. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan. Ketua Umum DPP Persatuan Alumni GMNI. Pendiri dan Sekretaris Dewan Penasehat Baithul Muslimin Indonesia. Wakil Ketua Lazis PBNU
Sumber : Nasional Kompas.com. Tinjauan Historis dan Yuridis Pancasila. 15 Januari 2017
0 comments:
Post a Comment