Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara pada Pemilu 1971, tanggal 5 Juli 1971. HENDRANTO/Arsip Kompas
Harian Sejarah - Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto permanen menggunakan MPRS & DPR-GR bentukan Soekarno, hanya saja dia melakukan pembersihan forum tertinggi & tinggi negara tersebut menurut sejumlah anggota yg dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya, Pemilu ke 2 baru mampu diselenggarakan lepas lima Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada pada kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan mengenai kepartaian (tanpa UU) sekitar sama dengan yg diterapkan Presiden Soekarno.
UU yg diadakan adalah UU tentang Pemilu & susunan dan kedudukan MPR, DPR, & DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah beserta DPR GR merampungkan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu & UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan saat hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yg tidak sama menggunakan Pemilu 1955 merupakan bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yg dari berdasarkan partai sanggup ikut menjadi calon partai secara formal. Namun dalam prakteknya dalam Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada galat satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar misalnya memutuskan seluruh pegawai negeri sipil wajib menyalurkan aspirasinya kepada keliru satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan pada Pemilu 1971 tidak selaras dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yg menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 menjadi dasar, seluruh kursi terbagi habis pada setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata bisa sebagai mekanisme tidak langsung buat mengurangi jumlah partai yg meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Namun, kelemahannya sistem demiki-an lebih poly mengakibatkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
"Stembus Accord: konvensi kotak suara. Sebuah kerjasama atau kesepakatan antara 2 atau lebih partai politik peserta pemilu untuk saling membantu menggunakan cara pemanfaatan residu suara yg tidak habis dibagi pada sapta pembagi pemilihan (BPP), pada mana kemungkinan jumlah bunyi yang diperoleh partai tersebut dapat membuat kursi tambahan. Pada pemilu 1998 beberapa partai Islam menyepakati adanya stembus accord sehingga sisa bunyi dapat dimanfaatkan dan nir hilang secara sia-sia."
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.
Sumber: KPU.Go.Id
Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Tetapi demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan nir selarasnya hasil perolehan bunyi secara nasional menggunakan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang merupakan bias perolehan kursi antara PNI & Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar berdasarkan Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk detail lihat tabel di bawah ini.
Rujukan: KPU.Go.Id. 21 Februari 2008. "Pemilu 1971danquot;
0 comments:
Post a Comment