Salah satu ciri dari negara modern yang menetapkan sistem demokrasi adalah terselenggaranya pemilu. Hal ini berarti bahwa berlangsungnya pemilu di suatu negara dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi pelaksanaan sistem demokrasi, bagi Indonesia, kehidupan politik demikian merupakan cita-cita nasional sejak Proklamasi. Urgensi pemilu ini merupakan keharusan untuk memenuhi cita-cita nasional, karena pemilu adalah alat untuk menyempurnakan demokrasi yang pada akhirnya mengarah kepada tercapainya masyarakat adil dan makmur.
Pemilihan umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat menarik sebagai suatu eksperimen demokrasi. Kedua pemilihan umum itu adalah yang pertama kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit pengalaman dengan pemilihan umum propinsi dan kotapraja. Sekalipun baru pertama kali, dalam pemilihan umum nasional ini hak pilih diberikan kepada seluruh warga Indonesia yang berusia di atas 18 tahun atau sudah kawin. Karena belum ada lembaga pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan panitia-panitia yang beranggotakan wakil partai. Di tingkat desa dan yang lebih rendah lagi, pemungutan suara dipercayakan juga kepada panitia-panitia yang sebagian anggotanya masih buta huruf.
Sejarah pemilihan umum di Indonesia mulai pada awal zaman revolusi. Rencana untuk mengadakan pemilihan umum nasional sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945, dan pada 1946 diadakan pemilihan umum di Karesidenan Kediri dan Surakarta. Pada 1948 Badan Pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga negara yang berusia diatas 18 tahun.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Setelah pengakuan kedaulatan (Desember 1949) pemilu untuk membentuk DPR dan Konstituante menjadi bagian penting dari program kerja setiap kabinet. Kabinet Hatta (1949-1950) pada masa RIS ingin menyelenggarakan pemilu untuk membentuk konstituante terpilih yang berhak menentukan bentuk negara, yaitu memilih antara bentuk negara federasi atau bentuk negara kesatuan. Tetapi rencana ini di dahului oleh perkembangan politik yang mengarah kepada pembentukan negara kesatuan.
Sejak 1950 janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering dikemukakan oleh berbagai kabinet, akan tetapi langkah-langkah nyata itu selalu terhambat oleh gabungan berbagai faktor . Termasuk ke dalam hambatan itu, timbulnya urusan pemerintahan yang lebih mendesak dan gerakan menentang pemilihan umum yang dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota Parlemen sementara.
Pada 17 Oktober 1952 terjadilah peristiwa yang membuat pemilihan umum menjadi persoalan politik yang penting. Pada hari itu sekelompok besar perwira tinggi angkatan darat, yang didukung oleh demonstrasi politik hasil rekayasa tentara, gagal mendesak Presdiden untuk membubarkan Parlemen Sementara. Krisii tersebut meningkatkan penentangan terhadap Parlemen Sementara yang sudah beberapa lama menjadi sasaran utama kekcewaan umum yang samar-samar terhadap hasil kemerdekaan yang baru dicapai.
Kabinet menjalankan kebijakan ganda untuk menghadapi situasi itu. Pertama, segala upaya ditempuh untuk menemukan kompromi dalam penyelesaian masalah angkatan darat. Kedua, terus mendesak untuk mengadakan pemilihan umum secepat mungkin sebagai penyelesaian jangka panjang. Pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilhan umum yang baru.
Undang-undang baru itu menetapkan pemilihan umum yang langsung. Belajar dari pengalaman pemilihan umum Yogyakarta dan pemilihan umum di India pada 1951-1952, kabinet Wilopo memutuskan mengubah kebijakan pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang memilih sistem tidak langsung. Selian itu akan diadakan bukan satu tetapi dua pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik sebagai perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit dan karena itu lamban dan mahal. Upaya kabinet Wilopo untuk membentuk sebuah Panitia Pemilihan Umum Pusat gagal, karena tidak tercapai kata sepakat antara rekan-rekannya dalam koalisi mengenani susunan panitia itu. Baru pada Desember 1953 terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia.
Pada 1955, seperti pada 1952, pemilihan umum dianggap masyarakat pembaca surat kabar sebagai salah satu jalan keluar dari situasi politik yang sangat memuaskan. Situasi politik ini tercermin pada krisis kabinet yang berulang-ulang, wewenang pemerintah yang mendapat tentangan terus-menerus dari pihak angkatan darat, korupsi, nepotisme politik, cekcok politik, diatas segalanya, pemerintah yang lumpuh menghadapi tugas-tugas berat hampir di semua bidang. Itulah sebabnya maka pemilihan umum menjadi tumpuan harapan.
Pemilu untuk membentuk DPR berlangsung pada tanggal 29 September 1955 dan untuk membentuk Konstituante berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955 di bawah pemerintahan Kabinet Burhanudin Harapap dan Masyumi. Hasil pemilu untuk parlemen (DPR) yang berlangsung paad tanggal 29 September 1955 baru diumumkan pada tanggal 1 Maret 1956, tetapi hampir semua partai sudah mengetahui gambaran hasilnya sebelum pengumuman itu disiarkan secara resmi. Ini disebabkan anggota Panitia Pemilihan Indonesia tidak berasal dari unsur pemerintah saja melainkan juga unsur partai-partai politik peserta pemilu, organisasi pemilih dan utusan perorangan yang maju sebagai calon legislatif yang melihat langsung proses perhitungan. Dengan demikian, para peserta pemilu dapat pula secara langsung mengevaluasi cara-cara kampanye mereka untuk kemudian mengubah atau memperbaikinya pada pemilihan umum Konstituante.
Hasil pemilu parlemen 29 September 1955 :
Peringkat | Partai | Jumlah Suara | % |
1. | PNI | 8.434.653 | 22,3 |
2. | Masyumi | 7.903.886 | 20,9 |
3. | NU | 6.955.141 | 18,4 |
4. | PKI | 6.176.914 | 16,3 |
5. | PSII | 1.091.160 | 2,9 |
6. | Parkindo | 1.003.325 | 2,7 |
7. | Partai Katholik | 770.740 | 2,0 |
8. | PSI | 753.191 | 2,0 |
9. | IPKI | 541.306 | 1,4 |
10. | Perti | 483.014 | 1,3 |
Kontestan Lain
3.762.969
10,0
Jumlah
37.785.299
100,0
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Akan tetapi, hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi yaitu, Masyumi, PNI, NU dan PKI. Pemilihan umum itu tidak mengahasilkan penyelesaian untuk kesulitan-kesulitan sistem parlementer dan oleh karenanya merupakan langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan sistem itu.
Pemilihan umum 1955 memperlihatkan Indonesia menghadapi sejumlah persoalan khusus dalam upayanya menyesuaikan teknik pemilihan umum sesuai kebutuhannya. Hal penting berikutnya yang membuat pemilihan umum Indonesia 1955 berbeda dari pemilihan umum di kebanyakan negara barat ialah, besarnya perbedaan antara soal-soal nasional di satu sisi dengan dengan seruan-seruan kampanye tingkat desa di sisi lainnya, dan rendahnya tingkat kepekaan pemilih terhadap perkembangan politik tingkat nasional.
Berbeda dengan pembentukan kabinet pada masa-masa sebelumnya, Presiden Soekarno tidak menunjuk perseorangan menjadi formatur, tetapi menunjuk partai pemenang pemilu dan partai itulah yang akan mengajukan calonnya kepada Presiden. Partai yang ditunjuk ialah PNI sebab partai ini memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. PNI mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo sebagai formatur, tetapi Presiden Soekarno pada tanggal 8 Maret 1956 memilih Ali Sastroamidjojo.
Personalia kabinet diumumkan tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini disebut kabinet Ali II. Ini kbinet adalah koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Pada mulanya Presiden Soekarno tidak setuju dengan susunan kabinet sebab tidak memasukkan anggota PKI ke dalam kabinet. Presiden mencoba mendesakkan keinginannya kepada tokoh Masyumi (Sukiman) dan tokoh NU K.H Idham Chalid serta tokoh PNI dan PSII. Akan tetapi, semua tokoh itu mempunyai pendapat yang sama, menolak mengikutsertakan PKI dalam kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo merupakan kabinet koalisi di mana tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi dan NU memegang peran selain beberapa partai lainnya.
Parlemen ini bertahan selama empat tahun sebelum dibubarkan. Akan tetapi, baik DPR yang baru maupun pemerintahan yang baru tidak menunjukkan banyak wewenang, dan pada waktu itu hanya sedikit rakyat Indonesia yang berpikir bahwa parlemen atau pemerintah akan berhasil. Dalam pidato pembukaannya di depan DPR, Soekarno mengutarakan harapannya akan suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia, demokrasi yang lebih di dasarkan atas mufakat daripada atas demokrasi secara barat yang bersifat memecah belah dengan persaingan antara pemerintah dan pihak oposisi di dalam parlemen.
Sukses paling mengesankan dari Kabinet Ali adalah konferensi Asia Afrika pada bulan april. Tak pernah sebelumnya perhatian kaum nasionalis Indonesia terhadap anti kolonialisme, persatuan revolusioner dan tujuan moral yang besar diperlihatkan dengan cara yang lebih atraktif. Keberhasilan Konferensi Asia Afrika tidak mengahasilkan suatu program aksi yang pasti, tapi mereka memang tidak berniat untuk mengemban misi itu. Apa yang mereka susun adalah pernyataan sederhana dan dipertimbangkan matang mengenai sentimen-sentimen bersama.
Masalah yang dihadapi Ali pada kabinetnya yang pertama agak berbeda dengan suasana kabinetnya yang kedua. Hal itu karena Ali bukan hanya menghadapi persoalan daerah, masalah kepartaian, juga munculnya Bung Karno sebagai kekuatan politim baru yang mencerca banyaknya partai-partai. Seperti juga pada kabinet Ali I, Kabinet Ali II juga tidak dijatuhkan DPR, tetapi makin menghebatnya pergolakan daerah memaksa pemerintah menyatakan SOB dan tidak lama kemudian Ali menyerahkan mandatnya.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Disadur dari: Tinjauan Kritis Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Pemilu 1955 Oleh: Esa Susanti Putri
0 comments:
Post a Comment