Adam Ma’rifat (1982) Karya Sastra Adam Ma'rifat merupakan kumpulan enam cerita pendek karya Danarto, seorang pengarang yang dibesarkan dalam suasana dan alam berpikir kejawen atau tasawuf kejawen. Keenam cerpen yang terhimpun bertitimangsa antara tahun 1975 hingga tahun 1981. Buku kumpulan cerpen ini pertama kali diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, 1982, setebal 72 halaman dengan ukuran 15 x 21 cm. Sampul buku bergambar kuda bersayap berkepala perempuan berambut panjang yang bermahkota. Dengan kumpulan cerpennya ini, Danarto menjadi penerima Hadiah Sastra DKJ 1982.
Judul kumpulan cerpen Adam Ma'rifat diambil dari salah satu cerpen di dalamnya. Enam judul cerpen yang ada dalam kumpulan ini adalah "Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat" (11 Maret 1975), "Adam Ma'rifat"(3 September 1975), "Megatruh"(28 Maret 1978), "Lahirnya sebuah Kota Suci"(17 September 1980) "Bedoyo Robot Membelot"(7 April 1981), dan cerpen yang berjudul gambar not balok dengan tanda-tanda bunyi 'ngung-ngung' dan 'cak-cak-cak' yang tidak bertitimangsa. Kandungan isi keenam cerpen itu berhubungan dengan dunia gaib dan sejenis pengalaman mistik yang diungkap dalam bentuk dongeng tentang malaikat Jibril, Adam Ma'rifat sebagai wujud pengetahuan tentang kehidupan hakiki, kota suci di dunia dalam penafsiran, serta tentang hakikat tarian Bedoyo.
Semua cerpen itu sarat dengan sebutan benda dan gambaran peristiwa berwujud dongeng yang mengandung makna simbolik. Ada juga cerpen yang menampilkan dunia anak-anak, seperti dalam cerpen tentang Jibril. Dalam cerpen yang berjudul simbol gambar not balok dengan tanda-tanda bunyi 'ngung-ngung' dan 'cak-cak-cak', kita saksikan bahwa bukan hanya roh yang dapat merasuki para penari kecak, juga komputer bisa mengakibatkan orang kesurupan.
Kalau bunyi 'ngung' dan 'cak' diucapkan akan terdengar seolah bunyi mobil yang digas yang menimbulkan bunyi 'ngung' kemudian kalau dipelankan injakan pedal gasnya akar terdengar bunyi 'cak-cak-cak'. Dalam cerita itu juga digambarkan bahwa waktu dan kejadian dapat bertukar tempat seakan-akan tidak ada urutan-urutan—detik demi detik atau peristiwa demi peristiwa. Dalam cerita itu peristiwa sungguh-sungguh dan tak sungguh-sungguh terjadi membaur bersamaan secara rancu. Subagio Sastrowardoyo (1989) menyebut cerpen-cerpen Danarto yang terhimpun dalam kumpulan cerpen ini sebagai dongeng buat orang dewasa.
Dongeng hasil renungan Danarto ke dalam cermin batinnya yang membayangkan dirinya sebagai manusia Indonesia yang dibesarkan dalam suasana dan alam berpikir kejawaan. Bukan jiwa kejawaan yang sudah membeku dalam pola-pola ketat adat dan tata cara, melainkan yang masih resah bergerak untuk menemukan kembali wawasan hidup yang kekal dan menginti. Cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku tersebut menampilkan ragam bercerita yang mengembalikan kesusastraan pada bentuk pengucapan yang paling sahaja untuk mengungkapkan tanggapan hidup pada tahap yang paling awal dan purba sehingga kita mendapat kesan seperti sedang menghadapi dunia dongeng.
Bukan dongeng yang diperuntukkan bagi anak-anak, melainkan untuk ditangkap oleh jiwa yang dewasa yang sudah tersepuh oleh kegetiran pengalaman dan kegoncangan budaya. Subagio Sastrowardoyo lebih lanjut menyatakan bahwa, seperti dalam dongeng, di dalam cerita-cerita Danarto kategori-kategori berpikir menurut garis logika dan rasio tidak berlaku. Batas yang memisahkan individu dengan identitas dirinya menjadi kabur, bahkan lenyap. Demikian juga alam gaib dan alam kasat mata saling berbaur menjadi satu. Para pelaku terdiri atas manusia, hewan, benda-benda mati, juga zat kimia semua bergaul menyatu dan saling tegur-sapa, bahkan Tuhan turut terlibat sebagai individu pelaku dalam dongeng-dongeng ini.
Tanggapan pengarang terhadap dunia sekeliling seperti dikemukakan di atas, menurut Subagio Sastrowardoyo, merupakan aspek dan kelanjutan dari pandangan filsafat-religius yang lebih pokok, yaitu pandangan pantheistis yang beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini—baik benda mati maupun hidup, tampak-tak tampak—adalah perwujudan dan penjelmaan Yang Mahatunggal. Alam pantheisme Danarto, yang menampilkan segala yang ada turut berperan, mengalir, dan berkembang merupakan bagian dari kepercayaan mistik Jawa berkenaan dengan kopsep manunggalnya Kawula-Gusti, yang diceritakan dengan cara yang memikat.
Lebih lanjut ditegaskan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa seperti dalam sebuah hikayat atau mitologi, yaitu tempatnya para dewa berperan dan berinteraksi dengan manusia, begitu juga halnya dalam cerpen-cerpen Danarto, Tuhan masih berakrab-akrab dengan makhluk-makhluknya yang berpijak di bumi. Bahkan, terhapus sudah batas-batas identifikasi antara Khalik dan makhluk. Wieranto (1984) menyatakan bahwa Adam Ma'rifat sebagai wirid modern karena di dalamnya terungkap hakikat Adam Ma'rifat dengan pengenalan yang melebar. Dinyatakan pula bahwa teknik penyajian yang luar biasa dalam cerpen-cerpen Danarto harus dilihat sebagai tanda yang harus diberi makna yang jelas. Hal itu diperkuat oleh penjelasan Danarto, yang dalam salah satu wawancaranya berkata bahwa apa yang telah disajikannya itu merupakan simbol-simbol. Agaknya memang Danarto sudah memiliki perhitungan bahwa cerpen-cerpennya tidak mungkin disajikan dengan cara lain.- Harian Sejarah
Sumber:
- Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
0 comments:
Post a Comment