Kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas berdasarkan kiprah yang dimainkan sang Karaeng Patingalloang, mempunyai nama lengkap I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Karaeng Patingalloang adalah seseorang Mangkubumi Kerajaan yg berkuasa tahun 1639-1654. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru menginjak satu tahun. Buat ad interim diangkatlah Karaeng Pattingalloang untuk menjalankan kekuasaan sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karenanya pada beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang termasuk dalam silsilah raja Tallo menjadi Raja Tallo IX.
Karaeng Pattingalloang diangkat sebagai menjadi Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikus said, yang memerintah dalam tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik sebagai Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, lepas 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya sesudah dia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya.
Pada waktu Karaeng Pattingalloang menjabat sebagai Mangkubumi, Karajaan Makassar telah sebagai sebuah kerajaan terkenal dan poly mengundang perhatian negerinegeri lainnya. Karaeng Pattingalloang merupakan putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar dalam biasanya. Dalam usia yang relatif muda 18 tahun Karaeng Pattingalloang telah menguasai banyak bahasa, pada antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain sanggup menguasai bahasa asing Karaeng Pattingalloang jua memperdalam ilmu falak. Hingga sampai pemerintah Belanda melalui wakil wakilnya pada Batavia menghadiahkan sebuah bola global (globe) yang khusus dibentuk pada negeri Belanda dalam tahun 1652, yg diperkirakan harga globe tadi hingga f 12.000.
Karaeng Pattingolloang adalah juga seseorang pengusaha internasional, dia bersama menggunakan Sultan Malikussaid berkongsi menggunakan beberapa para pengusaha akbar Pedero La Matta, dengan konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta menggunakan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera menggunakan Figheiro. Dalam perdagangan di pada negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil menyebarkan/ menaikkan perekonomian perdagangan Kerajaan Gowa. Dengan banyaknya barang yg diperjualbelikan dikota Raya Somba Opu, diantaranya kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Para pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawakan buah tangan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap juga disesuaikan dengan pesanan yang dititipkan ketika para pedagang Eropa kembali ketempat asalnya. Pada saat diminta buah tangan apa yang Karaeng Pattingalloang inginkan, Karaeng Pattingalloang menjawab bahwa yang diinginkannya adalah buku. Darisitulah tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Pattingalloang adalah cendikiawan yg dimiliki sang Kerajaan Makassar. Kecendikiawanannya dia dapatkan karena begitu besar rasa peduli terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sampai seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawan dari Karaeng Pattingalloang & membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
?Wiens aldoor snufelende brein Een gansche werelt valt te klein?
Yang artinya sebagai berikut:
?Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sebagai akibatnya semua dunia rasanya terlalu sempit baginya?.
Karaeng Pattingalloang yg saat itu tampil menjadi seseorang cendekiawan & negarawan pada masanya. Bahkan sebelum beliau meninggal global, beliau meninggalkan pesan buat generasi yg ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada 5 hal yang menyebabkan runtuhnya suatu kerajaan akbar, yaitu:
1. Punna taenamo naero nipakainga? Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa?Rasangnga,
tiga. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa?Rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso? Pabbicaraya, &
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Jika raja yg memerintah nir mau lagi dinasehati atau diperingati,
dua. Apabila tidak terdapat lagi kaum cerdik cendikia di pada negeri,
3. Jika telah terlampau poly perkara-perkara pada dalam negeri,
4. Jika telah banyak hakim & pejabat kerajaan senang makan sogok, dan
5. Jika raja yang memerintah tidak lagi mencintai rakyatnya.
Karaeng Pattingalloang meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bonto biraeng. Sebelum meninggal Karaeng Pattingalloang telah mempersiapkan sekitar 500 buah kapal yang setiap kapal dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon. Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Kerajaan Makassar mencapai zenit kejayaannya dalam masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 ? 1669 M). Pada masa pemerintahannya, Makassar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya menggunakan menguasai wilayah-daerah fertile dan daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makassar. Perluasan daerah Makassar tersebut bahkan sampai ke Nusa Tenggara Barat & hampir menguasai semua jalur perdagangan pada Indonesia Timur.
Sultan Hasannudin adalah sosok raja yg sangat anti kepada penguasaan asing. Oleh karenanya, dia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan sang VOC yg kala itu sudah berkuasa pada Ambon. Kebencian Sultan Hasanuddin ini menggunakan sendirinya sebagai pemutus interaksi antara Batavia (pusat kekuasaan VOC pada Hindia Timur) dan Ambon. Kondisi ini pun akhirnya memunculkan kontradiksi antara Sultan Hasannudin dengan VOC yg dalam akhirnya melahirkan peperangan yg terjadi di wilayah Maluku.
Dalam peperangan tersebut, Sultan Hasannudin memimpin langsung pasukannya dan berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di Maluku. Menyadari kedudukannya semakin terdesak, Belanda yang berupaya untuk mengakhiri peperangan itu akhirnya mencoba melakukan politik adu-domba antara Makassar dengan Kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makassar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makassar akhirnya bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Perang inilah yang kemudian dikenal dengan nama Perang Makassar (1666-1669).
Politik adu-domba yg dijalankan Belanda ini terbukti ampuh. Sebab akibat berdasarkan komplotan itu Belanda akhirnya bisa menguasai bunda kota Kerajaan Makassar. Secara terpaksa, Kerajaan Makassar pun wajib mengakui kekalahannya & menandatangani perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya sangat merugikan kerajaan Makassar. Adapun isi berdasarkan perjanjian Bongaya itu pada antaranya adalah:
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan pada Makassar,
2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makassar,
tiga. Makassar wajib melepaskan wilayah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makassar,
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone, & lain-lain.
Walaupun perjanjian sudah dibentuk, akan tetapi perlawanan Makassar terhadap Belanda tetap berlangsung. Berselang dua hari sehabis perjanjian Bongaya, Sultan Hasanuddin menyerahkan tahta kekuasaannya pada putra mahkotanya yang masih sangat belia yaitu Mapasomba yg bergelar Sultan Amir Hamzah. Meski terbilang masih belia (13 tahun), tapi semangat juang Mapasomba buat mengusir penjajah tidaklah mini . Dengan semangat yg diturunkan sang ayah, Sultan Amir Hamzah meneruskan perlawanan melawan Belanda.Belum lama memerintah menggantikan ayahnya, Sultan Amir Hamzah wafat dalam 7 Mei 1674 & digantikan sang saudaranya, I Mappaossong Daeng Mangewai Karaeng Bisei yang bergelar Sultan Ali. Sultan Ali hanya berkuasa selama 3 tahun (1674- 1677).
Sesudah mengalami kekalahan hebat pada 1669, rajaraja Gowa sesudah masa pemerintahan Sultan Hasanuddin bukanlah raja-raja yg merdeka dalam penentuan politik kenegaraan. Mereka jua tidak lagi mempunyai kekuatan tentara maupun armada kapal. Sejak waktu itu, kekuasaan Belanda mulai dipusatkan pada Kota Makassar. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besarbesaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makassar, dan Makassar pun mengalami kehancurannya
Salah satu peninggalan sejarah kerajaan Gowa-Tallo yang sebagai ikon sejarah kota Makassar adalah Benteng Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) yang sekarang lebih dikenal dikenal menggunakan nama Benteng Makassar.. Benteng Rotterdam dibangun pada tahun 1545 sang Raja Gowa ke-9 yaitu I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa?Risi? Kallonna.
Sebelumnya dibangunnya benteng ini menggunakan bahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang diambil dari Pegunungan Karst di daerah Maros. Kalau dilihat dari atas, arsitektur benteng ini mirip seperti seekor penyu (panynyua) yang seolah merangkak menuju ke lautan di sebelah baratnya. Adapun secara ilosois, bentuk penyu ini merupakan simbol bahwa Kerajaan Gowa yang mampu berjaya di daratan maupun di lautan, seperti halnya penyu yang dapat hidup di darat maupun di laut.
Tetapi dalam tahun 1667, pada Perjanjian Bongaya sebagaimana telah disinggung di atas, galat satu isinya adalah mewajibkan Kerajaan Gowa buat menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Oleh gubernur Hindia Belanda ketika itu, Cornelis Speelman, nama benteng itu lalu diubah sebagai Fort Rotterdam (menggunakan maksud buat mengenang daerah kelahirannya di Rotterdam, Belanda) dan penggunaannya dialihfungsikan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah sebelum dikirim ke Eropa.
Dalam kompleks Benteng Rotterdam itu terdapat 13 bangunan yg masih berdiri kokoh. Salah satu bangunan itu kemudian digunakan menjadi Museum La Galigo yang menampung banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) & wilayah-wilayah lainnya di Sulawesi Selatan. Selain itu, ada jua tempat yg dipakai sebagai ruang tahanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1834 sang Belanda.
Peninggalan lain dari Kerajaan Makassar adalah Mesjid Katangka yang didirikan pada tahun 1605 M. Masjid Katangka ini sudah mengalami beberapa kali pemugaran sejak pertama kali berdiri. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentiikasi bagian paling awal atau bentuk asli bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini. Di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang terdapat Makam raja-raja.???
Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai abad XIX M. Lokasi makam ini terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Berdasarkan basil ekskavasi (excavation) yang dilakukan oleh lembaga Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala semenjak 1976 hingga 1982, ditemukan gejala bahwa komplek makam itu memiliki struktur tumpangtindih. Sejumlah makam terletak di atas fondasi bangunan & kadang ditemukan fondasi pada atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibentuk dan balok?Balok hamparan pasir. Bangunan kubah yg berasal menurut pasir ternyata mempunyai keawetan menggunakan kurun ketika yang lebih cepat, kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa mempergunakan perekat. Perekat dipakai Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat & kubah dalam kompleks ini sekitar serupa dengan bangunan jirat & kubah menurut kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam lebih banyak didominasi berciri abad XII Masehi.
Bourbon